Senin, 09 Juli 2012

PUASA, UPAYA MEMBENTUK UMATAN WAHIDATAN


PUASA, UPAYA MEMBENTUK UMATAN WAHIDATAN
Oleh : Anis Purwanto
            Ibadah puasa, merupakan salah satu rukun Islam yang lima, mulai diwajibkan oleh Allah SWT pada tahun ke II hijrah Rasulullah SAW di Madinah Al Munawarah. Bulan suci Ramadhan dimana umat Islam wajib melaksanakan ibadah puasa merupakan bulan yang penuh rahmat, magfirah dan keberkahan. Maka sudah sepantasnya apabila kedatangannya disambut gembira oleh insane yang beriman, untuk berfastabiqul khoirot dalam rangka membentuk kepribadian yang taqwa.  Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183, disebutkan :
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡڪُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِڪُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ (١٨٣)
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”.
            “Agar kamu bertaqwa” di akhir ayat ini merupakan nilai tertinggi yang hendak dicapai. Kata taqwa mempunyai indikasi makna yang menyeluruh, yang mencakup seluruh kebaikan serta menghilangkan seluuruh keburukan. Ibadah puasa sebagai salah satu sarana mencapai tingkat ketaqwaan seorang mukmin, mampu memberikan semangat kepada jiwa ini untuk membentuk keyakinan yang teguh terhadap pelaksanaan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ibadah ini juga memberikan kesempatan kepada setiap mukmin untuk menyadari hakekat dirinya sebagai mahkluk ciptaan Allah, yang tidak terlepas dari perbuatan dosa. Maka jika puasa itu dilaksanakan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, niscaya dosa-dosa tersebut diampuni, “Barang siapa berpuasa pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala Allah, maka diampuni dosanya yang terdahulu”. (Al-Hadits Mutafaqun “alaihi).
            Puasa pada hakekatnya adalah menahan, bukan saja menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari segala perbuatan yang dapat merusak nilai puasa. Karena mungkin orang yang sehatjasmani dan rohani dalam beberapa waktu atau jam tertentu akan mampu menahan diri dari rasa haus dan lapar. namun untuk menahan diri dari segala perbuatan yang dapat merusak nilai atau pahala puasa diperlukan niat yang ihklas karena Allah dan perjuangan yang sangat berat.  Hal mana disinyalir oleh Rasulullah bahwa terdapat banyak orang puasa yang tidak memdapatkan nilai atau pahala kecuali rasa lapar dan haus, yaitu siapa saja yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan buruk. (Al-Hadits Ahmad dan Ibnu Majah).
            Maka dalam pelaksanaan ibadah puasa haruslah dilakukan secara totalitas dalam semua aspek kehidupan manusia, yakni aspek jasmaniyah dan aspek rohaniyah. Meskipun ibadah puasa sesungguhnya merupakan ibadah yang bersifat khas. Sehingga ibadah ini tidak dapat dilihat oleh mata secara lahiri semata, sebab orang yang berpuasa dapat dipandang sama dengan orang yang tidak puasa (secara lahiri) atau boleh jadi orang yang tidak berpuasa dapat mengaku berpuasa. Akan tetapi perbedaan hakiki akan Nampak dalam aspek rohaniyah. Aspek rohani inilah sesungguhnya yang akan membentuk pribadi taqwa, yang berjiwa besar, disiplin, sabar, berkemauan dan bertekat kuat serta pandai berkoreksi diri (instros[eksi). Sehingga dengan ibadah ini manusia diharapkan mampu merefleksi nilai taqwa dalam diri dan orang lain.
Ummatan Wahidatan.
            Ibadah puasa sebagai refleksi imani merupakan ibadah yang berdimensi dunia dan akhirat. Dalam dimensi dunia, puasa mampu menumbuhkan rasa kebersamaan (kesetiakawanan social) ataupun persaudaraan yang tauhidi. Sedang dalam dimensi khiratnya adalah terbentuknya pribadi yang taqwa, yang amanu wa ‘amilush shalihat. Maka dalam ibadah puasa keduanyta tidak dapat dipisahkan, antara satu dengan yang lainnya saling melengkapi dan menyempurnakan.
            Nilai tauhidi dalam persaudaraan Islam merupakan hal yang paling sentral dan esensial, yakni persaudaraan yang dilandasi oleh satu kesatuan “lailaha ilallah”. Tauhid merupakan nilai pembebas bagi manusia dari segala system yang bebas “nilai” (materialism, humanism, atheism dan lain-lain). Yang ini berarti membebaskan diri dari menyembah sesama  manusia kepada menyembah Allah. Tauhid merupakan landasan untuk memutlakkan Allah (Esa) sebagai Khaliq (pencipta) dan menafikan selainnya sebagai yang disembah.
            Dengan tauhid manusia tidak asaja bebas dari belenggu system yang kering dengan nilai, akan tetapi juga sadar bahwa kedudukannya sama dengan manusia lainnya. Tidak ada manusia yang merasa superior terhadap manusia lainnya. Setiap muslim adalah hamba Allah yang bersatatus sama dihadapan Allah. Yang membedakan satu dengan yang lainnya hanyalah tingkat ketaqwaannya kepada Allah SWT. Sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an Surat Al Hujrat ayat 13:
إِنَّ أَڪۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَٮٰكُ
“Sesunguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di natara kamu”.
            Persaudaraan sejati tidak mungkin tumbuh dan berkembang dalam lingkaran atau pribadi yang bermutu rendah. Oleh karenanya persaudaraan yang hakiki adalah persaudaraan yang dilandasi dengan rasa taqwa kepada Allah, dalam satu kesatuan tauhidi. Pribadi-pribadi taqwa merupakan unsur pembentuk persaudaraan kekal, “ummatan wahidatan”. Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 213 :
كَانَ ٱلنَّاسُ أُمَّةً۬ وَٲحِدَةً
“Manusia itu adalah umat yang satu “.
            Gabungan manusia yang bertaqwa ini akan membentuk umat yang berkualitas tterbaik “khaira ummatan”, sebagai umat yang terbaik, yang mempunyai kesadaran akan tanggung jawab yang besar, yaitu kewajiban untuk melakukan amar makruf nahi mungkar.  Sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 110 :
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنڪَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ‌ۗ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah”.
            Ummatan wahidatan menunjukkan adanya sekelompok pemeluk dien yang tauhidiyah yang tidak terputus sejak Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad SAW dan khaira ummatin merupakan sekelompok umat yang berkualitas terbaik yang fungsinya mengajak masyarakat agar hidup dengancara yang islami (makruf) dan mencegah masyarakat agar tidak menjalankan prilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain, akibat keingkarannya terhadap Allah (mungkar). Keduanya memiliki hubungan organik dan fungsional. Tanpa ihtiar realisasi amar makruf nahi mungkar (dakwah Islam) yang dilakukan oleh orang atau umat yang berkualitas terbaik (menurut Islam), maka ummatan wahidatan (dalam arti umat yang satu taqwa) ,aka tidak mungkin khaira ummatan bias menjalankan fungsi tersebut.
            Upaya realisasi amar makruf nahi mungkar oleh umat Islam (umat yang terbaik) ini disebut dakwah Islam.  Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 104, disebutkan :
وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٌ۬ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ‌ۚ وَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ (١٠٤)
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.
            Sedang didalam pelaksanaan dakwah islam harus menggunakan metode yang baik dan efektif yang disesuaikan dengan keadaan obyek dakwah itu sendiri, harus asah, asih dan asuh.
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِ‌ۖ وَجَـٰدِلۡهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحۡسَنُ‌ۚ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka denga ncara yang baik”.
Dengan menggunakan opla orientasi dakwah yang metodologik dan antisipatif didalam menghadapi perkembangan dunia, lebih-lebih dalam masyarakat yang serba modern seperti sekarang ini (era industrialisasi dan era informasi). Dengan penyusunan atau managemen dakwah yang matang dan tersusun rapi manurut oeta dakwah.
            Karena itu, maka dakwah Islam menjadi bagian esensial yang tidak dapat dipisahkan dengan ihtiar mewujudkan ummatan wahidatan yang adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT. sebab esensi dakwah  (tujuan dakwah) itu sendiiri merupakan ihtiar realisasi Islam dalam kehidupan individual dan tata social yang adil agar memperoleh ridho Allah. Maka puasa dalam hal ini mempunyai peranan yang besar didalam membentuk umat yang terbaik, sebagai pribadi yang bertaqwa, yang mampu beramar makruf nahi mungkar sebagai upaya membentuk ummatan wahidatan. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar