Selasa, 17 Juli 2012

IMPLEMENTASI AQIDAH DALAM SIFAT NABI MUHAMMAD SAW


IMPLEMENTASI AQIDAH DALAM SIFAT NABI MUHAMMAD SAW
Oleh : Anis Purwanto

            Islam adalah agama fitrah. Karenanya aqidah Islam tentu sangat serasi dengan nilai dasar dalam diri manusia. Sehingga mestinya mudah dicerna dan diserap serta dibenarkan oleh setiap manusia. Kedudukan aqidah dalam agama Islam adalah sama dengan kedudukan rukun iman yang enam dalam agama. Dan memang aqidah merupakan isi yang dituangkan dalam rukun iman itu. Jadi aqidah itu adalah pokok pangkal dan pondasi agama.
            Sedang aqidah yang paling tinggi kedudukannya adalah “laa ilaaha illallah”. Tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Allah. Dan kemudian disambung pengakuan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul Allah, “Muhammad itu utusan Allah”. Mengingkari aqidah ini secara sadar dan sengaja berarti kufur yang mengakibatkan ditolaknya amal shaleh oleh Allah :
وَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلۡإِيمَـٰنِ فَقَدۡ حَبِطَ عَمَلُهُ ۥ وَهُوَ فِى ٱلۡأَخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِينَ
“Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalnya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (QS Al Maidah : 5 ).
Karena itu aqidah harus dipegang teguh dan dipelihara dengan cermat dengan selalu memurnikan dan membersihkan dari tindakan yang dapat menggelincirkan iman ke jurang kekufuran.
            Sebagai manusia yang fitri Nabi Muhammad SAW adalah suri tauladan yang paling utama, yang kalbunya bersih. Sehingga beliau sangat mudah menyerap dan menerapkan hikmah dan aqidah didalam seluruh perjuangan menyebarkan agama Islam. Serta diimplementasikan didalam seluruh hidup dan kehidupan, baik diri pribadi, keluarga dan masyarakatnya. Kita bisa  lihat peristiwa agung yang pernah dialami oleh Nabi Muhammad SAW dalam Isro’ dan Mi’roj.
            Jadi kalbu yang bersih dan bebas dari tekanan sangat diperlukan untuk dapat menerima aqidah Islamiyah. Jika kalbu seseorang rusak dan berlumuran lumpur (dosa), maka rusaklah fitrahnya, sehingga menolak hadirnya aqidah agama. Kalbu yang sehat dan bersih itu dapat diperoleh dan ditemukan dalam sifat-sifat Nabi SAW yang sidiq (jujur, benar) dan amanah (terpercaya, tanggung jawab). Bahkan sejak remaja beliau sangat terkenal dikalangan kaumnya sebagai orang yang sangat jujur dan terpercaya. Sehingga beliau diberi gelar Al-Amin. Gelar al-amin. sifat sidiq dan amanah itu memang merupakan inti terciptanya ahklakul karimah, budi pekerti yang luhur, “ Aku diutus untuk menyempurnakan ahklak yang mulia, Dan sungguh kamu (Muhammad) benar-benar berada diatas ahklak yang agung”.
            Didalam menghadapi kaumnya yang jahiliyah itu Nabi Muhammad SAW mendahulukan proses taskiyah (penyucian diri), dengan jalan mengajak mereka meninggalkan syirik dan kemaksiyatan, terutama dosa besar yang dapat mematikan kalbu dan merusak fitrah manusia. Setelah itu barulah pembinaan aqidah yang dimantapkan dan disempurnakan. Untuk sukses tugas penyempurnaan aqidah ini Nabi Muhammad SAW harus berjuang dengan keras, tidak pernah kalah, lelah dan pantang menyerah. Walaupun mendapat hambatan yang bertubi-tubi dari kaum kafir Qurais. Bahkan sampai kepada keselamatan jiwa beliau yang setiap saat mendapat ancaman dari fihak lawan-lawannya. Namun dengan niat yang tetap tanpa pamrih dan tanpa mengharap balasan dari orang lain, dengan sabarnya beliau tetap berdo’a kepada Allah SWT agar kaumnya itu diber hidayah dan taufik oleh-Nya. Diisinilah justru letak kekuatan sifat Nabi yang diwujudkan dalam tabligh dan fatonah (pandai, bijaksana). Meskipun dalam tahun pertama kerasulannya, Nabi Muhammad SAW dibimbing oleh Allah SWT, agar memiliki dan menunaikan sifat sifat dan kepribadian dalam aqidah :
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلۡمُدَّثِّرُ (١) قُمۡ فَأَنذِرۡ (٢) وَرَبَّكَ فَكَبِّرۡ (٣) وَثِيَابَكَ فَطَهِّرۡ (٤) وَٱلرُّجۡزَ فَٱهۡجُرۡ (٥) وَلَا تَمۡنُن تَسۡتَكۡثِرُ (٦) وَلِرَبِّكَ فَٱصۡبِرۡ (٧)
“Hai orang-orang yang berselimut, bangulah lalu berilah peringatan. Dan Tuhanmu agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh balasan yang lebih banyak. Dan untuk memenuhi perintah Tuhanmu, bersabarlah”, (QS. Al-Muddatstsir :1-7).
            Dalam ayat tersebut diatas dinyatakan pentingnya perwujudan dari sifat dan kepribadian Nabi Muhammad SAW didalam bidang aqidah, yaitu selalu mentaati Allah dengan penuh kecintaan, bersih lahir batin, tanpa mengharap balasan dari orang lain (ihklas karena Allah), dan bersabar didalam menghadapi hambatan, gangguan dan tantangan dari fihak manapun.
            Selanjutnya dalam rangka mewujudkan sifat fatonah, Nabi Muhammad SAW senantiasa mengusahakan agar aqidah Islam itu masuk didalam inti kalbu manusia yang sangat dalam (hati nurani). Sebab kemampuan pokok rohani manusia, yaitu berfikir (rasio), merasa dan percaya (iman) sebagai satu kesatuan yang terseimpan dalam hati nurani. Maka agar dakwah Islam dapat lebih berhasil hendaknya agama Islam itu disampaikan dengan metode pendekatan yang dapat menggugah rasio, yang dapat menyentuh rasa dan sekaligus dapat menanamkan iman. Dan pada kenyataannya memang Nabi Muhammad SAW dikaruniai oleh Allah SWT kemampuan yang cukup. Disamping kitab suci Al-Qur’an yang merupakan mukjizat Nabi yang sangat mengagumkan dan tak dapat ditandingi dalam menghidupkan hati nurani dan kalbu pada pendengarnya (kaumnya). Kemampuan yang dianugerahkan Allah kepada Nabi SAW adalah ketajaman akal (fatonah) dan perkataan yang tepat dan faseh menyentuh kalbu (tablegh). Disinilah kunci pokok keberhasilan dakwah Nabi, yang menyebarkan dan membuktikan bahwa Islam benar-benar merupakan rohmatan lil ‘alamin, menyebar keseluruh pelosok dunia, termasuk sampai kepada kita ………. Alhamdulillah.  Wallahu a’lam.
(Bacaan pokok : Sahirul Alim, Ir. RHA, MSC, “Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dalam  Bidang Aqidah”, Yogyakarta, 1982).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar