Selasa, 28 Agustus 2012

MEMANDANG PERBEDAAN DENGAN KEJERNIHAN HATI


MEMANDANG PERBEDAAN DENGAN KEJERNIHAN HATI
Oleh : Anis Purwanto

            Mukmin sejati menurut pandangan Islam adalah mereka yang membenarkan keimanan dengan hatinya (tasdiqun bi al-qalb), menyatakan dengan perkataannya (taqrir bi al-lisani) dan merealisasikan keyakinannya itu dengan amal nyata (amal bi al jawarih/arhanihi). Karenanya, dalam menilai seseorang itu benar-benar beriman apa tidak, Islam lebih  menekankan kepada wujud pengabdian seseorang. Sebab yakin saja tidaklah cukup. Masih perlu pembuktian-pembuktian dengan amal nyata. Demikian pula Islam memberikan penghargaan yang setuinggi-tingginya bagi mereka yang mau melaksanakan amal kebaikan, meskipun dalam situasi tertentu niat seseorang sudah dianggap sebuah kebaikan.
            Dengan motivasi ajaran Islam tentang penting amal nyata inilah maka dalam dimensi kesejarahan umat Islam, sejak dari Rasulullah bersama sahabat, telah dikembangkan tradisi amal nyata dengan sangat ketat. Sebab salah satu bukti universalitas dan kesempurnaan ajaran Islam adalah sangat menekankan adanya pengembangan kualitas sumber daya manusia, rohaniyah dan jasmaninya, agar dapat memenuhi tugas-tugas kekhalifahannya, memimpin dan memakmurkan bumi. “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,”Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”, Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedang kami bertasbih memuji-Mu dan mensucikan nama-Mu ?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu keyahui”. (QS. Al-Baqarah:30). Untuk dapat memenuhi tugas kekhalifahan yang sangat berat tersebut maka kesucian dan kejernihan hati sangat menentukan. Sebab baik buruknya seseorang tergantung kepada hati seseorang. Bila hatinya baik maka seluruh amalnya akan lebih  baik,atau paling tidak mempunyai kecenderungan kearah yang baik. “Sesungguhnya di dalam diri manusia itu terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, maka akan baiklah seluruh tindakannya, dan apabila ia buruk, maka akan buruklah keseluruhan tindakannya. Itulah qal-bu”. (HR Al-Bukhari dan Muslim).
            Hati yang merupakan sentral kegiatan menjadi satu daya yang terdapat dalam ruhani manusia. Meskipun ruhani manuisa mempunyai dua potensi, yakni potensi pikir (akal) yang berpusat di kepala dan potensi ruhaniyah yang berpusat di qalbu. Namun potensi qolbu sangat menentukan. Sebab kesuksesan seseorang amat tergantung kepada kecanggihannya dalam memenej dan memerankan qalbu itu dalam aktifitas sehari-hari. Karenanya kejernihan potensi hati  perlu terus di pertajam melaui amal ibadah. Dan upaya pensucian qalbu (jiwa) yang merupakan            sentral kedirian manusia akan berimplikasi langsung kepada kesuksesannya didalam melaksanakan semua tugas kekalifahan. Disisi lain mempunyai ketajaman pola pikir yang cernih didalam menatap semua persoalan yang dihadapi. Sebab sebagai mahkluk sosial manusia selalu dihadapkan berbagai persoalan umatiyah. Persoalan yang ada akan dihadapi dengan pemikiran dan hati yang jernih. Tidak emosional dan menyalahkan orang lain.
            Dengan pencerahan qalbu yang didalamnya dilakukan sejumlah kegiatan pendekatan kepada Allah SWT, maka seseorang akan memperoleh ketenangan dan kearifan, “Yaitu orang-orang yang beriman hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tentram”. (QS Ar Ra’du:28). Dengan shalat seseorang akan mempunyai sifat rendah hati, puasa sebagai pengendalian diri, zakat dapat menumbuhkan dan kepedulian sosial, haji lebih kepada taqqarub illallah dan mempertajam rasa syukur, dzikir untuk selalu mendekatkan kepada Allah SWT. Di sisi yang lain kesucian hati akan berpengaruh kepada seseorang, baik didalam berbicara maupun bertindak. Sangat berhati-hati didalam berbicara. Bukankah sembarangan dalam berbicara telah banyak menimbulkan fitnah dan berbagai konflek diantara umat dewasa ini. Meskipun menurut keyakinan  sendiri sesuatu dianggap yang paling benar, namun mungkin masih ada pendapat atau keyakinan orang lain juga ada benarnya. Kita ambil saja, adanya peristiwa pelaksanaan Hari Raya Idul Fitri 1428 H tahun ini. Bagi kaca mata orang awam, dipandang pelaksanaan Idul Fitri yang berbeda itu dipandang umat Islam tidak bersatu, penuh dengan konflek dan segala macam cap yang dilontarkan. Bahkan ucapan-ucapan yang bernada sinis terdengar dari seorang tokoh yang dianggap berpengaruh disuatu lingkungan.
            Karenanya, pensucian hati ini sangatlah penting , agar kita dapat meningkatkan keharmonisan masyarakat atau meningkatkan keharmonisan amal dan melahirkan saling pengertian. Bukankah kita sering dilatih didalam ritme peribadahan ?.Apalagi baru saja umat Islam selesai melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh, dan kini telah ber Idul Fitri. Hati ini terasa ringan dan kembali kepada kesucian. Segala bentuk perbedaan seyogyanya segera diakhiri, kita buka lembaran baru, babak baru, untuk menatap kehidupan selanjutnya. Umat Islam memeng masih terus dihadapkan berbagai persoalan , baik intern maupun ektern umat beragama. Persoalan penentuan Hari Raya, pelaksanaan shalat taraweh, bacaan qunut, menjadi menu persoalan yang sering memicu adanya konflek horisontal. Kalaupun kita mempunyai hati yang lapang didalam memandang persoalan itu, persoalan itu tidak akan diulang-ulang dipertentangkan. Semua akan baik-baik saja didalam melaksanakan ibadah sesuai kemantapan dan ketetapan hatinya. Bagi yang tak sepahampun mestinya tidak usah memperuncing dengan dalih dan alasan yang justru memperbesar perbedaan.
            Didalam kehidupan sehari-hari ataupun didalam pelaksanaan ibadah sekalipun perbedaan sudah menjadi hal yang sangat biasa dan sering ditemui. Tapi memperpanjang perbedaan sungguh hal yang sangat merugikan umat Islam sendiri. Sebab dihadapan umat Islam masih terbentang persoalan yang lebih besar dan lebih dibutuhkan kebersamaan, tugas kekalifahan yang kita sandang itu sungguh sangat berat. Kita tidak akan mampu untuk memikul seorang diri, kita butuh orang lain, meskipun dia tidak sepaham dan sealiran dengan kita. Kita butuh kawan yang benar-benar mau memandang bersama ditengah-tengah perbedaan. Berkeyakinan, berucap dan bertindak dengan kejernihan hati akan lebih menguntungkan dari pada mempertahankan keyakinan dan tindakan yang dapat mempertajam persoalan umat. Kita sadar bahwa perbedaan adalah rahmat yang diberikan oleh Allah SWT, yang pengejawantahannya sungguh dibutuhkan kearifan dan hati yang jernih. Sehingga dengan pencerahan hati akan berimplikasi juga pada kesuksesan kita didalam menjawab semua persoalan yang dihadapi oleh umat. Dapat dikatakan demikian karena dengan pensucian jiwa akan menyembulkan sikap ihklas dalam diri, yang akan membuat lebih bersemangat melakukan yang terbaik untuk kepentingan bersama.Tidak sendiri-sendiri tapi bersama “Ukhuwah Islamiyah”, bersatu kita maju , “crah agawe bubrah”.
            Analisis diatas, memperhatikan bahwa pensucian jiwa merupakan salah satu jalan keluar bagi kegundahan umat didalam memandang segala bentuk perbedaan amaliyah yang sering dipertentangkan dan biperuncing oleh kita sendiri. Pensucian jiwa merupakan kunci bagi kesuksesan umat Islam dalam memandang perbedaan. Dan dalam tataran makro umat Islam dihadapkan berbagai persoalan global yang sangat komplek. Wallahu  a’lam.


PASCA RAMADHAN DAN IDUL FITRI


PASCA RAMADHAN DAN IDUL FITRI
Oleh : Anis Purwanto

Ramadhan dan Idul Fitri telah berlalu. Kenangan indah sewaktu menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh masih terpatri kuat dalam ingatan. Semarak beridul fitri juga masih kita rasakan. Akan tetapi sesungguhnya yang menjadi perhatian kita selanjutnya adalah lebih kepada bagaimana pelaksanaan ibadah puasa itu sendiri. Sebab kemampuan menahan diri ini akhirnya tidak dipahami hanya dilakukan pada bulan Ramadhan saja akan tetapi terus berlanjut pada bulan-bulan berikutnya. Kegembiraan pada Hari Raya Idul Fitri adalah hak bagi setiap orang, namun kegembiraan ini tidak hanya sekedar menunjukkan partisipasi lahiriyah yang semu ketika menyambut hari yang mulia ini. Akan tetapi kegembiraan dimaksud dapat terpancar melalui adanya suatu keyakinan bahwa puasa dan amal ibadahnya yang lain selama Ramadhan ini diterima oleh Allah SWT. “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan Ramdahan dan hendaklah kamu mengagungkan Tuhan sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan-Nya kepadamu supaya kamu bersyukur”.
Idul Fitri merupakan terminal baru yang kita singgahi setelah satu bulan penuh menjalankan ibadah puasa. Terminal ini ternyata lebih sulit bila dibanding dengan terminal sebelumnya yakni puasa itu sendiri. Karena terminal puasa hanya dijejali dengan latihan-latihan sesuai dengan namanya syhr al-riyadhah (bulan latihan). Hasil dari latihan ini akan dipertandingkan dengan masuknya hari raya Idul Fitri, untuk mengevaluasi sejauhmana kemajuan-kemajuan yang telah diperoleh sewaktu latihan, kemudian akan dipertandingkan dalam rentang waktu yang sangat panjang.
Maka kemudian yang sangat berat adalah ketika kita memasuki terminal pasca lebaran yakni memelihara dan melestarikan nilai-nilai Ramadhan dalam kehidupan sehari-hari. Setelah puasa selesai nampaknya kita harus tetap “puasa”. Sebab tugas memelihara ini justru lebih berat ketimbang melaksanakan perintah ibadah puasa itu sendiri. Selama bulan suci Ramadhan, ada faktor pendukung yang sangat menguntungkan, sehingga kita kuat menghadapi godaan dan ujian iman. Ketika itu seluruh kaum muslimin serentak melaksanakan ibadah puasa, taraweh rame-rame, tadarus bersama. Begitupun lingkungan sekitar kita , ikut menghormati bulan suci Ramadhan , warung makan tidak buka disiang hari, tempat-tempat hiburan pun diimbau tidak menyajikan acara-acara yang bertentangan dengan norma susila, para penjaja “kenikmatan sesaat” di lokalisasi banyak yang tutup, bahkan yang oprasinya dipinggir-pinggir jalan di “garuk” disingkirkan dari peredaran, meskipun bersifat sementara. Begitupula seluruh tayangan TV, sangat sarat dengan muatan dakwah. Bergagai paket acara yang bernuansa Ramadhan pun disajikan. Seakan tiada hari tanpa dakwah. Sehingga selama Ramadhan kita merasakan suasana yang sangat Islami, jauh dari aroma mungkarot yang kerap mewarnai kehidupan kita.
Sehingga setelah puasa dan Idul Fitri, kita masih harus tetap menjalankan puasa sepanjang masa. Dan Idul Fitri merupakan awal perjanjian manusia dengan Allah SWT, untuk melanjutkan tradisi positip yang telah dibangun ketika puasa Ramadhan, sehingga masuk bulan Ramadhan berikutnya, yakni mengaplikasikan amalan-amalan yang dilakukan pada bulan Ramadhan baik amalan yang berkaitan dengan pisik maupun yang berkaitan dengan mental.
            Sayangnya situasi itu hanya dalam bulan Ramadhan, setelah Ramadhan usai semuanya kembali pada posisinya masing-masing. Seakan kita tak pernah dilalui bulan Ramadhan. Ibadah puasa dan qiyamullail (shalat malam) yang kita lakukan selama satu bulan, tak nampakkan bekas sama sekali dalam diri kita. Sehingga inilah nampaknya sinyalemen Rasulullah SAW, bahwa “sesungguhnya kita baru pulang dari perang kecil menuju perang yang lebih dahsyat lagi, yaitu perang melawan hawa nafsu”, menjadi kenyataan. Kita memang masih harus puasa lagi setelah puasa usai. Buah nilai puasa satu bulan sebetulnya sudah mampu mewarnai corak kehidupan kita selanjutnya. Dengan catatan bahwa puasa yang kita lakukan itu puasa yang “imanan wah tisyaban” dan “ghufiralahu mataqodan min dambih”. Sebab ada banyak model puasa yang juga banyak dilakukan , dimana dia melaksanakan puasa akan tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa keculai hanya lapar dan haus. Kasihan tentunya orang yang model puasa seperti itu, laksana orang yang jatuh ketimpa tangga.
            Selama bulan Ramadhan pelaksanaan ibadah kita sangat baik, setidaknya menurut kita, bahkan iman dan taqwa kita terasa sangat mantap. Laksana seorang prajurit yang pulang dari medan peperangan dengan membawa kemenangan yang gilang gemilang. Kita kembali menjadi suci lahir batin,  bahkan kita terasa dilahirkan kembali dari kandungan ibu, mental kita jadi kuat, kesabaran kita menjadi tangguh, watak dan kepribadian kita berubah menjadi pribadi yang luhur, sikap kita menjadi sikap yang siap menghadapi ujian didalam menghadapi segala persoalan hidup dan kehidupan. Bahkan selama bulan Syawal, kita aktip silaturahmi ke mana-mana, berhalal bihalal, minta maaf kepada sanak kerabat dan handai taulan.
            Akan tetapi kini, kita saksikan, semua yang pernah ada hilang begitu saja. Semua kembali kepada posisinya masing-masing. Bahkan sifat kemalas-malasan beribadah kambuh lagi. Tradisi keislaman dalam bulan Ramadhan dan Idul Fitri tenggelam seakan ditelan bumi. Masjid-masjid tampak sepi. Para muballigh bahkan penyuluh agama yang selama Ramadhan dan Idul Fitri menjadi orang yang sangat sibuk mengisi berbagai kultum atau ceramah, sekarang istirahat. Meski sebetulnya tidaklah nganggur total, karena para da’I dan penyuluh agama biasanya sudah mempunyai kelompok binaan yang rutin ia lakukan sebagai upaya pembinaan umat.
            Malah yang sangat mencengangkan bagi kita warga Pacitan, adalah pasca lebaran ini justru pendaftaran cerai melonjak (Radar Pacitan, Rabu,14 September 2011). Tradisi pulang kampung (mudik lebaran) yang seharusnya hanya kita gunakan untuk silaturrahmi, rupanya dimanfaatkan sebagian warga untuk mengurus perceraian. Hal ini dibuktikan bahwa waktu sepekan saja jumlah perceraian yang didaftarkan di PA Pacitan mencapai 62 perkara. Meningkat dua kali lipat, bila dibandingkan perkara yang masuk pada bulan sebelumnya yang tercatat sekitar 20-30 perkara. Terlepas apapun alasan penyebab perceraian, namun yang pasti kita sangat sayangkan, karena disaat kita bergembira ria merayakan Idul Fitri, ada sebagaian masyarakat kita yang justru harus mempertaruhkan keutuhan keluarganya dengan mendaftarkan cerai di Pengadilan Agama. Apakah kemudian pantas apabila pasca lebaran yang seharusnya kita pergunakan untuk melanjutkan tradisi keagamaan seperti yang kita lakukan di bulan Ramadhan dan Idul Fitri menjadi tradisi  untuk cerai.
            Kenapa persoalan keluarga itu justru muncul disaat kedamaian selama bulan Ramadhan dan Idul Fitri  “Lebaran” sedang peroleh,  hingga memutuskan mendaftarkan cerai. Mestinya apabila nilai Ramadhan dan Idul Fitri betul-betul tertanam kuat dalam sanubari, apapun persoalan yang timbul akan dapat kita antisipasi dan dicarikan pemecahan yang terbaik. Akan tetapi semua memang kembali kepda kita masing-masing. Kita menyadari bahwa perceraian itu adalah diperkenankan meski di benci oleh Allah. Kita mengetahui bahwa faktor penyebab perceraian antara lain tidak ada tanggung jawab, tidak ada keharmonisan, masalah ekonomi, gangguan pihak ketiga, cacat biologis, krisis akhalak, KDRT dll, namun factor nikah usia dini juga perlu mendapat perhatian. Sebab selain perceraian yang naik tajam, pernikahan dini di Pacitan juga meningkat. Setidaknya, ada 74 dispensasi nikah karena umur mempelai perempuan kurang 16 tahun. Faktor penyebabnya didominasi kehamilan diluar nikah alias nikah kecelakaan atau marriage by accident (MBA). (Radar Pacitan, Kamis 15 September 2011).
            Jadi meraih suatu prestasi  memang sangatlah berat, akan tetapi lebih berat lagi mempertahankannya. Selama Ramadhan dan Idul Fitri kita telah diikat dengan tradisi keagamaan yang kuat dan kita berhasil meraihnya. Karena itu tak pantaslah apabila kemudian tradisi keagamaan itu kita tinggalkan. Lebih lagi kenapa ada tradiri lain (cerai) yang muncul secara mencolok justru di waktu pasca lebaran.            Sebagai salah seorang praktisi dakwah “semampu kita”, kita sangatlah prihatin. Apakah dakwah kita selama bulan Ramadhan dan Idul Fitri itu tidak mengenai sasaran ?. Apakah ada faktor lain yang menyebabkan semua ini terjadi pada umat Islam ?. ya sudahlah kita hanya menyampaikan risalah tauhid itu kepada umat. Selanjutnya terserah kepada kita masing-masing. Bagaimana merealisasikan semua yang telah diterima selama ini dalam kegiatan nyata, Sehingga pasca Ramadhan dan Idul Fitri ini nampaklah ada perubahan, dari yang negatip kepada yang positip dalam segala hal. Wallahu a’lam.
                                                                                                           



KHUTBAH JUM'AT BAHASA JAWA : SAKSAMPUNIPUN SIYAM RAMADHAN


KHUTBAH JUM’AT
 SAKSAMPUNIPUN SIYAM RAMADHAN
Dening: ANIS PURWANTO

Ma’asyiral Muslimin jamaah jum’ah rokhimakumullah.
Wonten ing kesempatan Jum’at siyang sapunika, sumangga kita aturaken puja puji syukur ing ngarsa dalem Allah SWT, awit ngantos ing detik punika Alhamdulillah kanthi karunianipun Allah SWT, kita taksih kabimbing iman lan Islam sarta kesadaran kagem nindakaken kewajiban ibadah Jumat ing siyang punika. Kita nyuwun dhumateng Allah SWT mugi-mugi ibadah kita saget katampi dening Allah SWT. Sehingga kita manggih kawilujengan ing donya dumugi ing akhirat, amin ya rabbal ‘alamin. Mugia shalawat lan salam atur dumateng junjungan kita Nabi  agung Muhammad SAW, sahabat lan sedaya penderekipun, kalebet kita sedaya. Amin.
Ma’asyiral Muslimin jamaah jum’ah rokhimakumullah.
            Alhamdulillah, taksih ing situasi Lebaran,  saksampunipun kita nindakaken siyam Ramadhan, kita taksih dipun engetaken Allah SWT kanthi piwucal-piwucal suci ingkang kadas dipun wucalaken Allah wanten ing Al-Qur’an Surat Alam Nasyrah ayat 5-8 :

فَإِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرًا (٥) إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرً۬ا (٦) فَإِذَا فَرَغۡتَ فَٱنصَبۡ (٧) وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَٱرۡغَب (٨)
 “Mangka satemene kelawan samubarang kang angel iku dumunung perkara kang gampang. Mula menawa wus rampung ngayahi sawijining perkara, padha gegancangana sira nyandhak panggawehan liyane, lan ya mung marang Pangeranira bae sira supaya nduweni pangarep-arep”.
            Ayat punika paring pitedah, ingkang supados kita tansah anggadhahi niat kangge ningkataken kualitasipun ing sedaya perkawis.  Punapa kemawon ingkang dereng sae, kedah dipun usadani murih dadas saenipun. Wondene ingkang mila sampun sae, kedah dipun tingkataken malih kesaenanipun. Pramila kanthi fa idza faraghta fanshab wa ila rabbika farghab punika, wiwit wulan syawal sapunika ngantos dumugi ing wulan-wulan saterusipun mbenjang, kesaenanipun wulan Ramadhan kepengker kedah kita dadosaken modhal kangge ngayahi tuwin ningkataken kesaenan.
            Mendhet piwucal Ramadhan ingkang ugi saget dipun maknani nahan utawi ngempet. Ingkang punika saget kita pendhet maknanipun bilih nahan utawi ngempet punika mila kedah kita ugemi kanthi saestu. Ngempet saking sifat boros, nuju dateng sifat gemi lan satiti. Ngempet saking sifat keset, nuju dhateng gita-gita ngayahi sadhengahipun ayahan ingkang utami, langkung-langkung gegancangan ing babagan ngayahi sedaya pangibadahan. Ngempet saking samukawis lampah maksiyat, nuju dhateng taat lan ngestokaken punapa kemawon ingkang dipun dhawuhaken dening Allah lan Rasulipun.
            Ewondene kados punapa penting saha wigatosipun wucalan ngempet punika, kita saget pirsani piyambak kados pundi piwucal ing tengah-tengahipun masyarakat. Kathah ing antawisipun kita ingkang dereng saget ngempet dumateng sedaya perkawis kadas ing nginggil. Sahingga kathah ing antawisipun kita ingkang nandang kapitunan ing sedayanipun,  sahingga andadosaken icalipun sedaya kesempatan kangge nindakaken ibadah lan nindakaken sedaya kesaenan. Kesenenganipun raga dipun ujo, remenipun ngumbar hawa nepsu, wondene kebetahan manah utawi ruhani jer asring dipun lirwakaken.
            Sedaya punika inggih kadereng saking anggenipun sami mboten saget ngempet utawi nahan datheng pikajengan saha kesengsem dhumateng kesenengan raga lan hawa  nepsu.  Sumangga kita gatosaken pangandikanipun Allah SWT, wanten ing Al-Qur’an Surat Al Jatsiyah ayat 23 :

أَفَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَـٰهَهُ ۥ هَوَٮٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمٍ۬ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمۡعِهِۦ وَقَلۡبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَـٰوَةً۬ فَمَن يَہۡدِيهِ مِنۢ بَعۡدِ ٱللَّهِ‌ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (٢٣)

“Mula apa sira durung tau weruh kang ndadekake hawa nefsune minangka pangerane lan Allah banjur nyasarake dheweke krana ilmune, sarta ngunci pati kupinge lan atine, lan banjur ndadekake tutup ana ing pandelenge ? Mula ya sapa to kang bisa paring pituduh sawise Allah ngenengake dheweke ana ing kahanan sasar ? Mula apa sira kabeh ora padha gelem eling ?”.
Ma’asyiral Muslimin jamaah jum’ah rokhimakumullah.
            Kita nembe kemawon medal saking wulan Ramadhan. Lan “Iedul Fitri sampun kita pahargya sesarengan. Kalih-kalihipun, pengamalanipun ibadah siyam lan pahargyanipun ‘Iedul Fitri, jelas mujudaken setunggal rerangkeaning pengibadahan dhateng Allah SWT. Tanpa pengalaman siyam ing wulan Ramadhan, kegembiraan ing ‘iedul Fitri boten badhe kaparingaken.Tanpa wanten perjuangan, boten badhe wonten kemenangan ingkang saged dipun gayuh . Lan kemenangan punika piyambak,  nembe saged dipun gayuh saksampunipun tiyang berjuang kanthi ngetog kekiyatanipun, lan ngorbanaken sedaya kemampuanipun. Pramila saking punika Ramadhan ingkang minangka sanepaning satunggalipun perjuangan, lan raos syukur kita atas dhatengipun ‘Iedul Fitri saged dipun anggep minangka lambanging kamardikan jiwa saking godaan hawa nefsu.
Ibadah siyam saestu mengku tujuan lan hikmah ingkang paripurna,  nggembleng jiwa kita dados kiyat, watak lan kepribaden kita dados luhur,  sikep kita dados sikep ingkang tansah siap ngadepi sedaya reribet, lan damel disiplin kita dados disiplin ingkang kiyat kados dene waja. Kita medal saking wulan Ramadhan dipun sanepakaken kados dene prajurit ingkang wangsul saking peperangan kanthi mbekta kemenangan. Malah dipun ibarataken kadas dene jabang bayi ingkang nembe lahir saking kandhunganipun ibu, resik lan suci jiwanipun, lepas saking sedaya kalepatan.
Ma’asyiral Muslimin jamaah jum’ah rokhimakumullah.
            Pramila saking punika sumangga piwucal Ramdhan saha Idul Fitri kita dadosaken tunggak awal kangge gegancangan nindakaken sedaya kesaenan saha kautamen. Sekedik atur punika sengaja kita tengenaken awit taksih wanten ing antawisipun umat Islam ingkang dereng nengenaken sifat gita-gita kangge nindakaken babagan kesaenan, kita taksih kesengsem dumateng keremenan kadonyan, mboten setimbang kaliyan kawigatosan dhateng babagan keakhiratan. Mugia kanthi kesadaran tuwin kawidatosan kita ingkang setimbang ing babagan kadonyan saha keakhiratan, kita tansah pikantuk siramanipun rahmat, taufiq saha hidayahipun Allah SWT. Wilujeng ing donya saha ing akhirat, amin ya rabbal ‘alamin.


Selasa, 14 Agustus 2012

KEMBALI KEPADA FITRAH


KEMBALI KEPADA FITRAH
Oleh : Anis Purwanto

            Puasa Ramadhan telah usai. Kini memasuki Idul Fitri. Kita berharap puasa, shalat dan amal lainnya diterima oleh Allah SWT. Mudah-mudahan kita kembali kepada fitrah. Sebab satu bulan lamanya, dimana umat Islam berjuang melawan hawa nafsu, mengendalikan diri dan menjaga dari hal-hal yang mengakibatkan batal bahkan rusak pahala puasanya. Bulan Ramadhan adalah salah satu bulan yang dapat dijadikan tolok ukur meningkatnya kualitas iman dan taqwa kita kepada Allah SWT.
Fitrah, mempunyai arti asal kejadian, kesucian dan agama yang benar. Fitrah dalam arti asal kejadian bermakna bebas dari noda dan dosa. Bagi orang yang berpuasa dan diterima ibadahnya itu, diampuni segala dosa-dosanya, maka ia bagaikan bayi yang baru dilahirkan dari perut ibunya. Bagaikan kertas putih yang bersih, tidak tercoreng oleh cacat dan aib. Sedangkan  fitrah dalam artian agama yang benar mempunyai pengertian bahwa orang yang kembali kepada fitrah adalah orang yang memiliki watak yang senang menerima ajaran agama, yang berarti seseorang mempunyai keinginan yang kuat untuk berupaya melaksanakan semua ajaran syariat Islam, “melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi laranga-Nya”, dalam hidup dan kehidupannya, dunia dan akhirat. Fitrah selalu cenderung kepada kebenaran dan tidak senang kepada segala bentuk kemungkaran dan berorientasi kepada “amar makruf nahi mungkar”.
 Secara fitri, manusia dengan fitrahnya selalu ingin berbuat baik, cinta damai dan menghindari permusuhan. Akan tetapi dalam kenyataannya dalam kehidupan kita sehari-hari,  kita temui berbagai penyimpangan. Kemanakah kecenderungan fitrah kita itu?. Yang pasti bahwa manusia dekat juga dengan sifat salah, sehingga aneka ragam penyimpangan terjadi karena kesalahan diri,  bukan dari dorongan naluri dasarnya, melainkan karena situasi dan kondisi yang melingkupi dirinya. Jadi, perbuatan-perbuatan buruk bisa saja terjadi, tetapi tidak berasal dari fitrahnya. Sebab secara fitrah manusia adalah baik.
Kejahatan-kejahatan sering muncul karena dorongan oleh tatanan sosial yang sesuai dengan ajaran agama, sehingga yang buruk mengakibatkan yang buruk pula, misalnya tidak tegaknya hukum mendorong orang manipulasi hukum , “main hakim sendiri. Maraknya kriminalitas, antara lain disebabkan oleh kebebasan manusia melakukan pelanggaran syariat. Semakin maraknya tindak kejahatan sekarang ini karena dorongan setan yang telah menguasai manusia dan dunia. Dalam kondisi dimana hawa nafsu telah menguasai diri, hati nurani menjadi tumpul dan sulit menerima hidayah Allah SWT. Manusia makin jauh dari fitrah. Sebab, hati tempat fitrah bersemayan dan berkembang biak, tertutup oleh noda dan dosa.
Kini fitrah itu telah terbuka kembali. Setelah kita berjuang selama satu bulan itu,  kita di “gembleng” dalam irama peribadatan yang sangat menjanjikan keindahan pahala dari Allah SWT. Sebab Syawal yang berarti peningkatan, mengandung maksud agar hamba-hamaba Allah yang beriman sadar, bahwa setelah mereka ditempa jasmani dan rohani dengan gemblengan yang sangat ketat selama bulan Ramdhan , kualitas spiritualnya akan meningkat menjadi mukmin yang sejati.
Bulan Ramadhan, Al-Qur’an dan hidayah Allah merupakan satu paket, yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT. Hidayah Allah SWT harus terus kita upayakan. Puasa, shalat tarawih, tadarus Al-Qur’an, zakat, infaq, sadaqah serta amalan-amalan lainnya, merupakan upaya untuk mendapatkan hidayah. Selain itu, juga harus bisa menjauhkan diri dari perbuatan yang mungkar. Sebab ibadah yang merupakan perwujudan dari taqwa dapat membersihkan diri dari noda dan dosa serta dapat mengembalikan manusia kepada fitrahnya. Sebaliknya dosa dapat menjauhkan manusia dari fitrahnya. Karenanya,  fitrah juga berarti hanif, maka manusia pada dasarnya lebih condong kepada al-haq. Sehingga manusia mempunyai kecenderungan berbuat baik dan menjauhkan diri dari perbuatan jahat.
Sedang fitrah yang terkait dengan agama, Tauhid menyatu dengan fitrah. Maka Rasul diutus untuk membimbing umat manusia untuk kembali kepada tauhid yang benar dan fitrahnya itu. Karenanya, agama Islam disebut juga sebagai agama fitrah, yaitu agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Kembali kepada fitrah, berarti juga kembali kepada aqidah yang benar, “Dinullah”. Manusia sebagai mahkluk yang sempurna, dikarunia oleh Allah akal dan iradah. Dengan akal dan iradah manusia mempunyai kemampuan untuk membedakan dan memilih  mana yang baik dan yang buruk. Manusia yang dilengkapi dengan iradah “kehendak bebas”, dapat berfikir kritis terhadap semua hal yang terjadi di dalam hidup dan kehidupannya. Sebab manusia tidak harus tunduk dengan kondisi sosial lingkungannya. Karena apapun yang kita lakukan akan kita pertanggungjawabkan kelak dihadapan perhitungan ilahi rabbi.
Pengaruh lingkungan memang sangat menentukan. Sehingga anak yang semula dilahirkan dalam keadaan fitrah, setelah dewasa bisa menyimpang jauh dari sifat dasarnya. Dengan kata lain dapat tersesat aqidahnya, yang mestinya menjadi insan tauhid, berubah wujud menjadi manusia yang kufur. Karena fitrah merupakan sifat universal manusia , maka sebetulnya fitrah itu tidak bisa berubah. Akan tetapi karena unsur akal dan iradah yang keliru didalam memilih dan mengambil keputusan, maka manusia terjauh dari fitrahnya dan menyimpang jauh dari aqidah yang benar.
Manusia sebagai mahkluk sosial tidak bisa terlepas dari kehidupan sehari-hari. Ia berada ditenga-tengah realitas sosial, yang sewaktu-waktu dapat menyeret dirinya menyimpang dari fitrahnya. Karenanya, ia dituntut untuk mampu beradaptasi, namun tidak boleh lebur sehingga terasing dari fitrahnya. Meski ia hidup ditengah-tengah aneka ragam paham dan perilakunya, idiologi dan agamanya, manusia dituntut juga mampu hidup rukun dengan penuh kedamaian, tanpa mengorbankan fitrah dan aqidahnya.       
            Oleh karenanya, dalam rangka memelihara dan mengembalikan fitrah, yang telah kita upayakan memalui ibadah Ramadhan, ada baiknya selalu kita sandarkan harapan itu kepada Allah SWT. “Ya Allah, tolonglah kami  (menjadi hamba) yang senantiasa selalu mengingat-Mu, dan tolonglah kami (menjadi hamba) yang senantiasa bersyukur kepada-Mu, dan tolonglah kami untuk memperbaiki ibadah kami kepada-Mu”. Dari itulah, yakin sandaran kita akan kuat dan tak mudah tergoyahkan. Nilai-nilai Ramadhan akan menyinnari kehidupan kita, dengan senantiasa mengingat Allah (dzikrullah atau zikir, bersykur akan karunia yang telah Allah berikan dan tetap beribadah dimana kita berada dan dalam suasana yang bagaimanapun. Walahu a’lam.



Sabtu, 11 Agustus 2012

KANTHI IMAN LAN TAQWA NUJU MARDIKANING JIWA SAKING JAJAHANIPUN HAWA NEPSU


KHUTBAH IDUL FITRI  BAHASA JAWA TAHUN 1433 H/2012M
KANTHI IMAN LAN TAQWA NUJU MARDIKANING JIWA SAKING
JAJAHANIPUN HAWA NEPSU
Dening : Anis Purwanto

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, laa ilaaha illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahil hamdu.
Para sederek kaum muslimin lan muslimat, rakhimakumullah. Jamaah ‘aidin lan ‘aidat ingkang minulya.
            Langkung rumiyin, sumangga kita sami nyaosaken puji syukur dhumateng Allah SWT, ingkang sampun paring nikmat, rahmat sarta hidayah dhumateng kita sedaya. Sahingga kanthi ijin Allah SWT, kita wonten ing enjangipun dinten Idul Fitri ingkang kebak kebahagiaan punika seget kempal manunggal ngupadi ridlanipun Allah SWT, kanthi nindakaken ibadah dhumateng Allah SWT, lan sekaligus minangka bukti anggen kita nglaeraken raos syukur dhumateng Allah SWT.
            Shalawat saha salam mugia katur dhumateng Gusti Rasul, Nabi besar Muhammad SAW, ingkang sampun mbimbing dhumateng sedaya kaum muslimin, tumuju margi ingkang utami. Mugi-mugi kita sedaya pikantuk syafaatipun mbenjang wanten ing yaumul kiyamah, bekja fiddun ya wal akhirah, amin ya rabbal ‘alamin.
Para sederek kaum muslimin lan muslimat, rakhimakumullah. Jamaah ‘aidin lan ‘aidat ingkang minulya.
            Wanten ing wanci enjang ingkang endah lan asri punika, kita umat Islam sedaya sami ngempal wonten ing tanah-tanah lapang, wanten masjid-masjid  lan  mushalla-mushalla utawi papan panggenan sanesipun ingkang kasediyakaken kagem nindakaken shalat Idul Fitri. Amal ritual rutin makaten punika, kita tindakaken setahun sepisan , wanten ing tanggal 1 wulan Syawal, minangka panjilmanipun raos syukur kita dhumateng Allah SWT, awit saking agengipun kanugrahan ingkang kaparingaken dhumateng kita sedaya, saksampunipun kita ngestokakaen dhuwuh nindakaken ibadah siyam ing wulan Ramadhan. Dhawuh syukur punika kadasaraken saking dhawuh pangandikanipun Allah piyambak, wanten ing Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 185, ingkang nyebadaken makaten :
 وَلِتُڪۡمِلُواْ ٱلۡعِدَّةَ وَلِتُڪَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَٮٰكُمۡ وَلَعَلَّڪُمۡ تَشۡكُرُونَ
“Lan sira kabeh padha nyampurnakna wilangane sasi Pasa, lan banjur padha ngagungna asmane Allah manut cara-cara kang wus dituduhake marang sira kabeh, lan supaya sira kabeh padha syukur marang Allah”.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, laa ilaaha illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahil hamdu.
            Kita kumandhangaken ucapan kalimah takbir, tahlil lan tahmid wiwit kala wingi sonten saksampunipun serap surya, lan terus hengga sedalu muput, kanthi cara-cara ingkang makruf,  malah wanten ingkang kanthi cara “Takbir Keliling”. Sedaya punika katindakaken kanthi boten lepas saking niat nyi’ar ing agami lan tujuanipun ugi tetep namung setunggal, inggih punika ngupadi ridlanipun Allah SWT.
            Punika Idul Fitri, Hari raya Fitrah utawi Dinten Ageng Fitri, dipun syariataken dening agami Islam setahun sepisan ing saben tahunipun, saksampunipun umat Islam rampung nindakaken ibadah siyam, setunggal wulan wetah. Selaras kaliyan dhawuh pangandikanipun junjunagn kita Nabi Agung Muhammad SAW : “Wong pasa ing sasi Ramadhan iku kaparingan kegembiraan werna loro, yaiku gembira nalika buka (rampung anggone pasa), lan gembira nalika ketemu karo Pangerane besuk ana ing dina kiyamat”.
            Kita nembe kemawon medal saking wulan Ramadhan. Lan “Iedul Fitri ing dinten punika kita pahargya sesarengan. Kalih-kalihipun, pengamalanipun ibadah siyam lan pahargyanipun ‘Iedul Fitri, jelas mujudaken setunggal rerangkeaning pengibadahan dhateng Allah, ingkang pancen boten saged dipun pisah-pinisah. Tanpa pengalaman siyam ing wulan Ramadhan, kegembiraan ing ‘iedul Fitri boten badhe kaparingaken.Tanpa wanten perjuangan, boten badhe wonten kemenangan ingkang saged dipun gayuh . Lan kemenangan punika piyambak,  nembe saged dipun gayuh saksampunipun tiyang berjuang kanthi ngetog kekiyatanipun, lan ngorbanaken sedaya kemampuanipun. Sahingga Ramadhan ingkang minangka sanepaning satunggalipun perjuangan, lan raos syukur kita atas dhatengipun ‘Iedul Fitri saged dipun anggep minangka lambanging kamardikan jiwa saking godaan hawa nefsu.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, laa ilaaha illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahil hamdu.
            Salebetipun mahargya dinten Iedul Fitri makaten punika, wanten cara kalih ingkang sampun dipun garisaken dening Allah SWT. Ingkang sepisan, awujud sesambetan antawisipun Khaliq lan makhluq, inggih punika ingkang dipun sebat “hablum minallah”, lan ingkang angka kalih, ningkataken hubungan kasih sayang ing antawisipun sesam makhluq, ingkang dipun sebat “hablum minannas”. Ingkang kapisan dipun tindakaken sarana ngegungaken asmanipun Allah :  “Allahu akbar, laa ilaaha illallah walillahil hamdu”.     
            Wondene cara ingkang kaping kalihipun, sakderengipun ngawontenaken sesambetan dhumateng Allah, kaum muslimin ingkang mampu, langkung rumiyin kedah netepti kewajiban dhateng sesami, khususupun dhumateng para fakir miskin, sarana mbayaraken zakat fitrahipun, minangka  “Tuhratan lis shaaimiin wathu’matan lil masaakiin”, pensuci jiwanipun tiyang ingkang nindakaken siyam. Zakat fitrah mujudaken simbul saking solidaritas lan kesetiakawanan sosial ing kalanganipun umat Islam, saksampunipun ngraosaken ngelak lan ngelih ing wulan ramadhan,  kanthi pangajab kaum dhuafak ing dinten punika saget ngraosaken swasono Iedul Fitri kanthi gumbiraning manah.   
Mila pancen kasinggihan, bilih ingkang ngraosaken kebahagiaan lan kegembiraan ingkang hakiki, mbaten sanes kejawi namung tiyang ingkang menghayati saha ngamalaken piyambak dhawuhipun Allah SWT. Sepindah malih, kanthi waosan Alhamdulillahi rabbal ‘alamin, kanthi pitulunganipun Allah, kanthi welas asihipun Allah lan kanthi hidayah saha taufikipun Allah, kita sedaya kaum muslimin saget ngestokaken dhawuh punika kanthi tuntas, nurut tata cara lan aturan ingkang sampun dipun syariataken dening agami Islam. Tiyang ingkang ngibadahipun makaten punika, pantes sanget lan sampun sakmestinipun manawi nalika cekap saking anggenipun nindakaken kewajiban suci, rumaos seneng, rumaos gumbira lan muji syukur dhumateng Allah SWT.
                Saking raos gumbira lan syukur punika lajeng tukul prentuling manah, wusana nyuwun dhumateng Allah SWT, kanthi satunggaling ucapan do’a :“Mugi-mugi Allah wantena keparengipun nampi pengibadahan kita, lan mugi-mugi wantena kepareingipun ndadosaken kita sedaya dadosa golonganipun tiyang-tiyang ingkang wangsul dhateng kawantenan suci, lan kalebetna golonganipun tiyang-tiyang ingkang bahagia jalaran saget ngestokaken sedaya dhawuhipun Allah, lan mugi-mugi kalebetna golonganipun tiyang ingkang katampi pangibadahipun dening Allah SWT”
Saksampunipun siyam lan nindakaken amaliyah Ramadhan, mugi-mugi kita saestu dados tiyang muttaqin, tiyang ingkang saya ningkat taqwanipun. Jer tujuan ingkang utami ibadah siyam inggih punika supados kita dados kawula ingkang taqwa kanthi saestu. Amargi siyam mengku didikan lan gemblengan kangge jasmani lan rohani. Pramila drajat taqwa ingkang kita tampi sageta kita pertahanaken lan kita lestantunaken. Sifat taqwa kedah tetep kita agem ing sadhengah wekdal lan panggenan. Awit taqwa mujudaken sumber saking sedaya kesaenan lan keutamen, ing ndonya ngantos ing akhirat.
            Ibadah siyam saestu mengku tujuan lan hikmah ingkang paripurna,  nggembleng jiwa kita dados kiyat, watak lan kepribaden kita dados luhur,  sikep kita dados sikep ingkang tansah siap ngadepi sedaya reribet, lan damel disiplin kita dados disiplin ingkang kiyat kados dene waja. Kita medal saking wulan Ramadhan dipun sanepakaken kados dene prajurit ingkang wangsul saking peperangan kanthi mbekta kemenangan, dipun ibarataken bayi ingkang nembe lahir saking kandhunganipun ibu, resik lan suci jiwanipun, lepas saking sedaya kalepatan.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, laa ilaaha illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahil hamdu.
Para sederek kaum muslimin lan muslimat, rakhimakumullah. Jamaah ‘aidin lan ‘aidat ingkang bahagia.
Swasono kita ber-Iedul Fitri ing tahun punika sami kaliyan Iedul fitri ing tahun kepengker. Wanten ing ramadhan lan Iedul Fitri tahun 1433 H punika, kita bangsa Indonesia nembe kemawon mrengeti HUT RI ingkang kaping 67.  Swasono punika ngengetaken kita kaliyan detik-detik Proklamasi Kamardikan Republik Indonesia ingkang dumadas ing wulan Ramadhan. Punika kita aturaken kanthi pangajab, mugia kaum muslimin nyadari bilih kamardikan saking penjajah Belanda mboten kamardikan ingkang final. Ramadhan mboten sekedar namung nyegah dahar lan ngunjuk kemawon, namung kita kantheni kaliyan ngendaleni hawa nefsu. Awit merdikanipun jiwa saking godaan hawa nefsu, badhe tumuju tentremipun manah. lan Idul Fitri minangka kesempatan ingkang sae kagem ndandosi diri pribadi, kangge nggayuh kamardikan ingkang sejatos. 
            kita sedaya bangsa Indonesia, khususipun kita kaum muslimin ingkang nembe kemawon mentas saking ramadhan, Kamardikan RI, tanggal 17 Agustus 1945, mbekta mawarni-warni kenangan lan harapan. Awit nikmat kamardikan menika minangka berkah lan rahmat saking Allah SWT, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan yang luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Saestu prastowo punika dados bukti kiat bilih wulan ramadhan minagka syahrul jihad. Wulan ing saat kaum muslimin kagungan ghiroh perjuangan kagem njejegaken nagari dalah agami. Sahingga Kamardikan bangsa ingkang sampun kita raosaken saking 67 tahun kepengker punika, mestinipun sampun saget ngentasaken bangsa punika saking sedaya reruwet, nuju kemajengan bangsa ing sedaya bidang, baldatun toyyibatun wa rabbun ghofur. 
Selajengipun nilai kemerdekaan saha perjuanganipun para pahlawan kusuma bangsa punika, sampun sakmestinipun kita tanemaken kagem generasi penerus bangsa milai alit, awit unggulipun ilmi pengetahuan lan tehnologi, kedah kita selarasakan kaliyan unggulipun ahklak.  Lan keseimbangan punika ingkang mangke badhe ngasilaken generasi penerus gegadhanganipun bangsa. Sahingga perjuangan kemerdekaan ingkang ing rikala samanten dipun rebut kanthi wutahipun erah saha tetesan luh, namung kangge nuju masyarakat Indonesia ingkan majeng lahir batosipun, anggadahi pagesangan ingkang sejahtera, adil lan makmur.
Temtu kemawon  kangge nuju masyarakat Indonesia ingkang majeng lahir batosipun, kita bangsa Indonesia taksih kedah ngadepi mawarni-warni pacoben ingkang awrat, ing antawisipun babagan koropsi, penegakan hukum, bencana alam, lan ugi masalah ekonomi, ingkang kedah terus kita upadi murih saget dipun raosaken hasilipun kagem sedaya masyarakat Indonesia lan terus mbetahaken partisipasi kita bangsa Indonesia secara sesarengan.
Sahingga kanthi kesadaran, saha ningkatipun raos iman lan taqwa, kita beridul fitri mbaten sarana bermewah-mewahan lan pemborosan. Satunggalipun syair nyebadaken :“Idul Fitri iku dudu hak milik kanggone wong-wong kang nyandang nganggo sarwa anyar lan mangan ngombe sarwa mewah, namging Idul Fitri iku duweke wong-wong kang wis bisa ningkatake ketaatane marang Allah lan utusane”.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, laa ilaaha illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahil hamdu.
Para sederek kaum muslimin lan muslimat, rakhimakumullah. Jamaah ‘aidin lan ‘aidat ingkang bahagia.
Kanthi sikep keteladanan lan syukur dhumateng Allah SWT, mujudaken modal dasar salebetipun kita ber-Idul Fitri. Lan salajengipun kita namung badhe ngutamekaken amalan-amalan ingkang pancen dados syariat agami Islam, mboten ngumbar hawa nefsu, ngetok kekajengan lan nuruti pepinginan ingkang lelawanan kalian tuntunan agami Islam.                                                 
Ing tengah-tengaipun swasono gumbira, kados ing saat punika, wanten kalimat ingkang asring kita aturaken, inggih punika kalimat “minal ‘aidin wal faidzin” kanthi panyuwun mugi-mugi Allah SWT ndadosaken kita kalebet golonganipun tiyang ingkang wangsul dhateng kesucian lan pikantuk kabekjan. Lan saksampunipun shalat Idul Fitri, kita nuli sami salam-salaman, ngapunten-ingapuntenan, halal bihalal lan bersilaturahmi dhumateng para sanak kadang lan sedherek.
Para sederek kaum muslimin lan muslimat, rakhimakumullah. Jamaah ‘aidin lan ‘aidat ingkang bahagia.
Akhiripun kanthi hikmah Idul Fitri kita tingkataken iman lan taqwa nuju mardikaning jiwa , sumangga kita tingkataken partisipasi kita wanten ing babagan kesaenan, kalebet partisipasi kita ing babagan pembangunan wanten ing sedaya bidang selaras kaliyan pakaryan lan profesi kita piyambak-piyambak. Sahingga kacipta masyarakat ingkang  adil makmur kanthi ridlo Allah, baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofuur, bekja fi dun ya wal akhirah. Amin ya rabbal ‘alamin.
Selajengipun kangge penutup khotbah, sumangga kita ngeningaken manah kita, nyuwun dhumateng Allah SWT kanthi ihklas karana Allah, mugi-mugi sedaya panjangka kita saget dipun kabulaken Allah SWT.