Senin, 23 Juli 2012

PUASA RAMADHAN


PUASA RAMADHAN
Oleh : Anis Purwanto

Tidak terasa, puasa Ramadhan telah datang. Alhamdulillah wasyukurillah, setahun yang lalu kita berpuasa Ramadhan, kini momentum untuk memperbanyak amal shaleh itu betul-betul kita jalani. Kita rela berlapar-lapar, menahan dahaga dan mengekang hawa nafsu, demi tercapainya tujuan akhir, yakni derajat taqwa, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. Agar kamu bertaqwa dalam akhir ayat ini merupakan nilai tertinggi yang akan ditempuh bagi orang-orang yang berpuasa. Sebab taqwa mencakup semua kebaikan serta menghilangkan seluruh keburukan, yakni melaksanakan semua yang diperintahkan oleh Allah SWT dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. Meski ibadah yang terasa berat ini, diakui oleh Allah sebagai amal milik-Nya, “Semua amal anak Adam itu kepunyaanya, kecuali puasa. Karena puasa itu milik Aku, Aku sendiri yang akan memberi pahala. Sebab puasa itu merupakan benteng bagi orang yang berpuasa dari kejahatan”.
Ibadah puasa sebagai sarana untuk mencapai derajat taqwa,  mampu membentuk jiwa yang mempunyai keyakinan teguh terhadap pelaksanaan ajaran-ajara Allah dan Rasul-Nya. Ibadah ini juga memberikan kesempatan kepada setiap mukmin untuk menyadari hakekat dirinya sebagai hamba Allah, yang tidak terlepas dari perbuatan dosa. Maka jika puasa itu dilaksanakan dengan penuh imman dan mengharap ridlo Allah akan diampuni semua dosanya, “Barang siapa berpuasa pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala Allah, maka diampuni dosanya yang terdahulu”. (Al-Hadits Mutafaqun “alaihi).
Puasa pada hakekatnya adalah menahan diri, tidak saja menahan dari rasa lapar, haus dan lain-lain yang dapat mengakibatkan batal puasanya, tetapi juga menahan diri dari segala perbuatan yang dapat merusak pahala puasa. Oleh karena itu puasa diperlukan niat yang kuat dan dengan perjuangan yang sangat berat, dengan mengharap ridlo Allah SWT. Hal mana disinyalir oleh Rasulullah SAW bahwa banyak orang yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa, kecuali hanya mendapat rasa lapar dan haus, yakni bagi orang yang tidak dapat meninggalkan perkataan dan perbuatan buruk. (Al-Hadits Ahmad dan Ibnu Majah).
Orang yang beriman yang berhasil mencapai tingkatan taqwa dengan puasanya, akan mampu mengendalikan diri secara sempurna. Bukan hanya dosa-dosanya yang telah lalu dapat terampuni, akan tetapi ia mampu menatap masa depan dengan penuh optimis, karena telah mendapat gemblengan di “kawah candra dimuka”  puasa Ramadhan sebulan penuh. Sehingga ia tidak mudah terjerembab pada laku mungkar yang merugikan diri dan orang lain, sebaliknya ia mampu merealisasikan predikat taqwa itu dalam amal shaleh.
Oleh karena itu Allah mewajibkan puasa sebetulnya untuk kemaslahatan diri kita sendiri. sehingga puasa tidak berarti pengekangan terhadap kebebasan seseorang, akan tetapi  sebetulnya malah dapat dijadikan pendorong untuk mencapai kebebasan jiwa.  Sebab jiwa yang bersih dan suci mampu menggapai martabat mulia sebagai hamba Allah SWT dan pengabdian yang tulus karena mengharap ridha Allah SWT. Sebagai contoh, orang-orang sufi yang telah mempunyai kebebasan dan kemerdekaan jiwa seluas-luasnya, sebab dalam hidup dan kehidupannya telah terlepas dari nafsu duniawiyah yang dapat mengekang jiwanya. Sehingga puasa Ramadhan akan mampu memberikan makna terhadap kebebasan jiwa, untuk ihklas beribadah dengan rasa iman. Puasa semestinya kita lakukan tdak hanya atas dasar kewajiban, akan tetapi atas dasar kesadaran yang tinggi.
Puasa Ramadhan juga melatih diri dapat mengendalikan hawa nafsu, tidak hanya terhadap perkara yang diharankan tetapi mampu mengekang keinginan meski halal baginya. Romadhan, yang diwaktu siang dilaksanakan dengan penghayatan menahan hawa nafsu, tidak makan, minum dan lain-lain mulai dari fajar hingga terbenam matahari, tetapi puasa juga di isi dengan amalan-amalan sunah lainnya, seperti salat taraweh, tadarus Al-Qur’an, I’tifah serta amalan yang lainnya. Dengan pengamalan keagamaan yang demikian itu, jiwa kita menjadi tenang penuh dengan ketundukan kepada Dzat yang menguasai jagat raya ini. Ketundukan yang tanpa pamrih inilah yang membawa kita kepada derajat taqwa yang semakin kokoh. Demikian juga, jiwa social kepada kaum dlu’afa’, kaum fuqara’ dan masakin semakin besar. Karenanya, puasa Ramadhan tidak hanya berpengaruh kepada pembinaan jiwa, tetapi di sisi lain puasa juga membawa dampak terhadap kesehatan jasmani.
Bulan Ramadhan adalah bulan yang dimulyakan oleh Allah SWT, sebab didalam bulan itu Allah SWT berkenan menurunkan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan kehidupan umat manusia, yang juga merupakan penawar jiwa yang sakit, jiwa yang kotor dari bermacam-macam penyakit hati, “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”. (QS. Al Israa’ : 82). Sebab, Al-Qur’an diturunkan merupakan hidayah untuk manusia, untuk dipedomani dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi apabila Al-Qur’an ditinggal, menyimpang dari tata aturan Al-Qur’an maka akan membawa akibat yang sangat fatal di hari akhir nanti,”Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”.(QS. Thaha:124).
Karenanya, menyadari akan hakekat ibadah puasa, maka keistimewaan, keutamaan bulan Ramadhan serta semua amalan-amalannya, merupakan rangkaian yang tak terpisahkan sebagai bukti bahwa Islam merupakan rahmatan lil ‘alamin. Agama yang penuh dengan rahmat dan kasih sayang Allah SWT, yang diperuntukkan bagi orang-orang yang dikehendaki. Dan apabila puasa merupakan bagian dari rangkaian ibadah dalam agama Islam yang bersifat sempurna , maka puasa dapat dipergunakan juga sebagai sarana membangun diri, kearah yang lebih baik dalam segala bidang.
Itulah keistimewaan umat Islam,  dimana kita setiap tahun oleh Allah diberi sarana untuk memperbaiki taqwa, memperbaiki ahklaqul karimah. Karena dengan kaidah akhlaqul karimah memberikan rambu-rambu dalam ‘prilaku’  umat manusia didalam hubungannya dengan sang Kholik (hablum minallah)dan hubungannya dengan sesama (hablum minannas). Sehingga apapun yang terjadi dikala kita melaksanakan ibadah siyam adalah merupakan syahid, karena puasa merupakan peperangan jiwa, peperangan melawan hawa nafsu.”Kita baru saja pulang dari peperangan kecil, menuju peperangan besar, yakni perang melawan hawa nafsu”.
Puasa memberikan kesempatan yang sangat luas kepada umat Islam untuk mengembangkan potensi diri, kearah perbaikan. Mengedepankan ukhuwah Islamiyah. Sebab kita umat Islam ini tinggal menunggu pengorganisasian potensi itu secara kaffah, sudah waktunya perselisihan kita tinggalkan. Bukankah kita ini satu ?. Satu dalam ikatan persaudaraan yang tauhidi. Nilai tauhidi dalam persaudaraan Islam merupakan hal yang paling sentral dan esensial, yakni persaudaraan yang dilandasi oleh satu kesatuan “la ilaha ilallah muhammadan rasulullah”.  Kita sadar bahwa kedudukannya sama dengan manusia lainnya. Tidak ada manusia yang merasa superior terhadap manusia lainnya. Setiap muslim adalah hamba Allah yang bersatatus sama dihadapan Allah. Yang membedakan satu dengan yang lainnya hanyalah tingkat ketaqwaannya kepada Allah SWT. “Sesunguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di natara kamu”.(QS. Al Hujrat :13).
Jadi sebetulnya tidak ada alasan hanya dengan gara-gara berbeda dalam mengawali pelaksanaan ibadah puasa, kita saling menyalahkan. Biarkan perbedaan ini berjalan dengan baik, bukankah perbedaan merupakan rahmat Allah SWT.  kita berjalan beriringan dalam perbedaan, kearah kebersamaan. Silakan masing-masing kita melaksanakan menurut keyakinannya. Sebab kita sesungguhnya adalah sama , seiman dan se taqwa kepada Allah SWT. Oleh karenanya persaudaraan yang hakiki adalah persaudaraan yang dilandasi dengan rasa taqwa kepada Allah, dalam satu kesatuan tauhidi. Pribadi-pribadi taqwa merupakan unsur pembentuk persaudaraan kekal, “ummatan wahidatan”.   Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 213 : “Manusia itu adalah umat yang satu “. Wllahu a’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar