Jumat, 15 Juni 2012

KELUARGA TIANG NEGARA


Keluarga Tiang Negara
Oleh :  Anis Purwanto
           
Saudara pendengar Mimbar Agama Islam yang dirahmati oleh Allah SWT, kajian kita dalam mimbar kali ini adalah keluarga tiang Negara, yang insya Allah kajian kita akan lebih menfokuskan kepada aspek keluarga sakinah sebagai salah satu sarana untuk menjaga kelangsungan generasi pengabdi Tuhan. Hal ini sangat penting kita kaji karena didalam kehidupan modern seperti sekarang ini peranan keluarga sangat besar. Sebab selain keluarga sebagai bagian dari system bermasyarakat, dalam Islam keluarga merupakan tempat bagi terciptanya kehidupan yang bahagia bagi seluruh anggotanya baik di dunia sampai di akhirat nanti.
Oleh karena itu, sebelumnya marilah dalam kesempatan yang sangat berbahagia ini, kita panjatkan rasa syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberi rahmat serta hidayah kepada kita semua, sehingga didalam bulan Ramadhan tahun ini kita dapat melaksanakan ibadah dengan ihklas, dengan iman dan mengharap ridho Allah SWT.   Shalawat dan salam kita aturkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW.
Saudara pendengar,  keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri atau suami istri dengan anaknya atau ayah dengan anaknya atau ibu dengan anaknya. Keluarga lazimnya disebut rumah tangga yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai wadah dalam pergaulan hidup.
Karenanya, ada yang istimewa setiap 29 Juni, khususnya bagi keluarga-keluarga Indonesia mendapat atensi khusus dalam rupa Peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas). Keberadaan Harganas tak lepas dari keinginan untuk memberdayakan keluarga sebagai tiang negara.
Keluarga, yang biasa diartikan dengan ibu dan bapak beserta anak atau anak-anaknya; belakangan diartikan dengan semua dan setiap orang yang ada dalam sebuah keluarga/rumah tangga (lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tanggga, Pasal 2). Keluarga, dalam sistem hukum apapun dan di manapun, apalagi dalam perspektif hukum Islam, dipastikan memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial kemasyarakatan tingkat manapun. Terutama di tingkat rukun tetangga (RT) yang daripadanya terhimpun rukun warga, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, dan seterusnya sampai masyarakat dunia. Tanpa keluarga, yang sejatinya menjadi unit terkecil dalam sebuah komunitas, mustahil ada, apa yang dikenal dengan sistem sosial itu sendiri mulai dari sistem sosial yang sangat terbatas atau bahkan dibatasi; sampai komunitas yang bersekala nasional, regional dan intrenasional.
Sekedar untuk menunjukan arti penting keluarga, ada ungkapan yang menyatakan bahwa “Keluarga adalah tiang masyarakat dan sekaligus tiang negara; bahkan juga tiang agama.” Atas dasar ini, maka mudahlah difahami manakala agama Islam menaruh perhatian sangat serius terhadap perkara keluarga. Di antara indikatornya, dalam Al-qur’an dan atau Al-hadits, tidak hanya dijumpai sebutan keluarga dengan istilah “al-ahl” – jamaknya “al-ahluna,” atau “dzul qurba,” “al-aqarib” dan lainnya; akan tetapi, juga di dalamnya dijumpai sejumlah ayat dan bahkan surat Al-qur’an yang mengatur ihwal keluarga dan kekeluargaan.
Di antara surat yang menyimbolkan arti penting tentang peran keluarga dalam kehidupan sosial adalah surat ketiga, yakni surat Ali Imran (3) yang terdiri atas: 200 ayat, 3,460 kata dan 14,525 huruf. Secara umum dan garis besar, surat Ali Imran memuat perihal: keimanan, hukum, dan kisah di samping lain-lain. Yang menariknya lagi surat Ali Imran ini diiringi surat An-Nisa (4), yang mengisyaratkan arti penting bagi kedudukan seorang ibu khususnya dan kaum wanita pada umumnya dalam hal pembentukan dan pembinaan keluarga ideal yang disimbolkan dengan Keluarga Imran.
Masih dalam konteks peduli Al-qur’an terhadap peran keluarga, bisa difahami dari isi kandungan ayat 6 surat Al-tahrim:
 “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.                                                                           
 Ayat tersebut pada dasarnya mengingatkan semua kepala keluarga dalam hal ini Bapak dan atau Ibu bahkan para wali, supaya membangun, membina, memelihara dan atau melindungi semua dan setiap anggota keluarga yang menjadi tanggungannya dari kemungkinan mara bahaya yang disimbolkan dengan siksaan api neraka. Sebab, dalam pandangan Islam, berkeluarga itu tidak hanya untuk sebatas dalam kehidupan duniawi; akan tetapi juga sampai ke kehidupan akhirat.

Indikator lain dari peduli Islam terhadap eksistensi dan peran keluarga dalam kehidupan sosial kemasyarakatan ialah adanya hukum keluarga Islam yang secara spesifik mengatur persoalan-persoalan hukum keluarga mulai dari perkawinan, hadhanah (pengasuhan dan pendidikan anak), sampai kepada hukum kewarisan dan lain-lain yang lazim dikenal dengan sebutan “al-ahwal al-syakhshiyyah,” “ahkam al-usrah,” Islamic family law dan lainnya. Hukum Keluarga Islam benar-benar mengatur semua dan setiap urusan keluarga mulai dari hal-hal yang bersifat filosofis dan edukatif, sampai hal-hal yang bersifat akhlaqi yang teknis operasional sekalipun. Itulah sebabnya mengapa Islam memerintahkan pemeluknya agar selalu saling menyayangi dan bekerjasama antara sesama keluarga.
Ketika menikah, banyak sekali orang yang mendo'akan, "Semoga menjadi keluarga sakinah, mawadah, rahmah dan da'wah". Tapi baru setelah menikah, kita menyadari bahwa perwujudan do'a itu membutuhkan pengorbanan dan perjuangan yang sangat panjang.
Persoalan kita dalam rumah tangga berbeda dengan persoalan kita ditengah keluarga. Dalam keluarga, kita selalu diberi dan diberi.. Tapi dalam berumah tangga, maka kita yang harus memberi dan memberi.. Ada banyak pesan Rasulullah saw, mengenai wanita yang sholeh,salah satunya adalah wanita tiang negara. Dan itu benar adanya.. Bahwa istri sholehah adalah tiang rumah tangga, tiang keluarga, bahkan tiang negara. Dia yang membuat rumah dalam hati setiap anggota keluarga, rumah bagi setiap anak-anaknya, bahkan tanpa ada dia, tidak akan ada negara yang kuat kokoh dan aman..
Masya Allah.. Rasulullah begitu dalam menjelaskan fungsi dan kedudukan wanita. Bagaimana mungkin krmudian para wanita mengecilkan fungsi itu. Memang suami pemimpin rumah, tapi sesungguhnya dengan kekuatan istri yang sholehah, suami lah yang banyak dipimpin. Dia hanya membuat keputusan, tapi yang menjadi dewan syuranya adalah istri. Jika istri tidak memiliki sesuatu yang bisa diberi, maka suami juga tidak akan menghormati dia, tidak akan meminta pendapat padanya, tidak akan mempercayainya.
Ada seorang teman memiliki suami pemarah. Masya Allah setiap suaminya marah, dia sabar dan tetap terus menasehati dengan kata2 dan sifat yang baik. Dia selalu yakin dia akan bisa menyelesaikan masalah rumah tangganya. Subhanallah.. bahkan orang tuanya tidak tahu bahwa suaminya begitu pemarah, begitu buruk akhlaknya, Dia tutup-tutupi di depan mertua dan orang tua. Sampai sekian lama, ada ujian terhadap mereka, dan sungguh, akhirnya suaminya sangat menghormatinya, selalu meminta pendapat kepadanya, selalu mempercayainya.. Dia menang dalam menjadi tiang suaminya, maka dia menang menjadi tiang rumah tangganya..
Maka dari itu, rumah tangga itu adalah ibadah.. bukan diberi, tapi memberi, terus-terusan memberi.. maka Allah juga berikan pahala ratusan kali lipat untuk sholat orang yang sudah menikah, Allah juga berikan pahala untuk semua amalan ibadah ratusan kali lipat dari orang yang blm menikah. Karena rumah tangga itu kita harus terus memberi, dan khususnya perempuan, mereka harus menjadi tiang2.. jangan heran bagaimana seorang anak harus 3 kali lebih menghormati ibunya drpd bapaknya.. karena menjadi ibu itu tidak mudah, krn menjadi ibu itu butuh kekuatan yang mungkin 3 kali dari pada menjadi bapak.
Sebagai wanita harus bangun. suami harus diingatkan, dipimpin, dikuatkan, diluruskan, diayomi.. Hasil dari rumah tangga itu adalah hasil kerja bertahun2 merajut semuanya.. kita tidak akan pernah bahagia dalam rumah tangga, kalau kita hanya ingin merasakan hasil, bukan menikmati perjuangannya..untuk membangunnya, untuk menegakkannya.. Seperti dakwah yang kita rasakan bahagia, karena kita yakin pahala dari Allah walaupun mungkin kita belum atau tidak merasakan kejayaan islam sekarang. Dalam rumah tangga kita terus harus berjuang, dan menikmatinya, dan bahagia dengan perjuangan itu, bukan terus2an menjadi orang yang tidak mempunyai fungsi, tidak berdaya, tidak memberi..
Jika dalam keluarga kita, kita merasa nyaman, maka itu adalah hasil kerja keras orangtua kita,sehingga sekarang mungkin kita bisa mengerti bagaimana susahnya agar bisa memberikan hasil yang bisa dinikmati oleh anak2, dinikmati bahkan oleh tetangga.. yang merasakan hasil kerja keras sebuah rumah tangga.. Sekarang saatnya kitalah yang harus membangun itu semua..
Semua masalah rumah tangga itu tidak akan ada artinya ditangan seorang perempuan yang sholehah.. Dia akan selalu mencari jalan keluar, dan insya Allah dia akan selalu mendapatkan jalan keluar. karena Allah sendiri yang sudah menjamin, akan memberikan jalan keluar apalagi dalam masalah rumah tangga.. tapi itu semua tidak dapat diperoleh, kalau kita sendiri bukan orang yang mau berfungsi sebagai tiang penegak dalam rumah tangga.. Jangan kan masalah dengan mertua, masalah yang lebih berat saja insya Allah akan terlalui.
Oleh karena itu, disilah pentingnya membina keluarga yang sakinah, yaitu keluarga yang hidupnya damai. Seluruh anggotanya saling menghormati dan saling mencintai. Suka dan duka dihadapi bersama dengan penuh ketulusan hati. Keluarga harmonis bukan berarti tidak pernah ada masalah yang muncul didalamnya, sebab perselisihan dan perbedaan adalah manusiawi. Hanya saja perbedaan itu tidak sampai meruncing, sehingga menimbulkan pertengkaran, permusuhan atau yang lebih dari itu.
            Dalam keluarga perbedaan pasti terjadi, baik yang menyangkut kepentingan, sikap dan pikiran. Namun betapapun telah terjadi perbedaan, hendaknya kita dapat menyelesaikan secara jernih dan dingin hingga hasilnya bisa melegakan bagi siapapun dan dapat menumbuhkan rasa kasih sayang. Oleh karena itu maka masing-masing anggota keluarga hendaknya tahu akan posisi dirinya, demikian juga hak dan kewajibannya. Selain itu masing-masing anggota keluarga harus saling menghargai menyayangi, sehingga tercipta suasana yang damai dan harmonis. Dan keluarga sakinah tidak mungkin tercipta secara kebetulan dan tiba-tiba. Namun harus ada usaha yang maksimal dari semua anggota keluarga yang mendukung terciptanya suasana yang demikian.
            Sedangkan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan untuk membina keluarga sakinah adalah :
Pertama, Bahwa anggota keluarga kita semua adalah manusia. Entah itu bapak, ibu dan anakatau yang lainnya yang ada dalam keluarga. Kerena semua anggota keluarga itu manusia, maka hendaknya kita memanusiakan mereka. Mereka bukan setengah manusia, tapi manusia mahkluk Allah yang sesungguhnya. Maka masing-masing anggota hendaknya dapat hidup bersama, saling menghargai dan menghormati.
            Kedua, mereka semua adalah mahkluk hidup yang berrarti memiliki kebutuhan dan keingina. Untuk itu hendaknya diantara mereka saling memperhatikan kepentingan yang lainnya. Tidak hanya memperhatikan kepentingannya sendiri dan mengabaikan kepentingan bapak, ibu dan anak. Maka masing-masing anggota juga hendaknya tak memaksakan kehendaknya tak memaksakan kepentingannya tanpa menghiraukan kepentingan anggota lainnya.
            Ketiga,  semua anggota keluarga hendaknya mempunyai rasa tanggung jawab. Dalam kehidupan berumah tangga, ada berbagai jenis tanggung jawab. ada tanggung jawab yang harus dipikul bersama, ada pula yang harus dipikul perorangan. Semua membutuhkan tanggung jwab dari masing-masing anggota keluarga. Terutama dari ayah dan ibu, karena mereka itu pokok dari pada sebuah keluarga.
            Keempat, semua anggota keluarga harus mempunyai rasa kasih saying. Dengan adanya rasa kasih saying di dalam keluarga, maka akan membawa rasa bahagia diantara mereka. Sebab dengan rasa kasih saying, mereka akan jauh dari rasa curiga, benci, dendam dan sebagainya. Rasa kasih saying juga akan menumbuhkan rasa saling percaya dan saling membantu dengan lainnya.
Kelima, semua anggota keluarga harus sadar bahwa mereka merupakan ciptaan Allah dengan titah sifatnya masing-masing. Dengan titah dan sifat yang ditentukan oleh Allah pada setiap masing-masing itulah justru akan membuat sebuah keluarga yang lengkap. Ada laki-laki, ada perempuan. Keduanya diciptakan oleh Allah banyak kesamaan dan juga banyak perbedaan. Untuk masing-masing hendaknya tahu persamaannya dan perbedaannya. Seringkali kesalah pahaman yang timbul dan berlanjut menjadi gangguan dalam kehidupan keluarga karena antara mereka lupa akan titah dan sifatnya. Sang suami lupa kalau istri adalah seorang perempuan yang mempunyai kodrat lebih lemah dari dirinya. Atau sebaliknya istri lupa kalau suaminya adalah seorang lelaki yang bersifat keras dalam setiap gerak-geriknya. Mungkin suatu ucapan atau tingkah laku bagi laki-laki tidak berpengaruh apa-apa, tapi bagi perempuan menimbulkan sakit hati dan ketersinggungan. Ini juga salah satu contoh sebagai ciptaan atau mahkluk Allah yang mempunyai kewajiban terhadap khaliqnya yaitu Allah SWT.
Untuk itu maka mengingat manusia sebagai titah yang lemah dan tak luput dari salah, hendaknya dijadikan sebagai pegangan oleh masing-masing anggota keluarga agar saling mengingatkan pada kebenaran dan amal soleh demi menuju ridha Allah. Dan inilah puncak dari segala kegiatan manusia di dunia ini, baik yang berupa ibadah langsung maupun kegiatan sosial.
Jadi dari beberapa konsep dalam membentuk keluarga yang harmonis, sebagaimana yang telah kami sampaikan, maka harta dan kekayaan bukan faktor utama dari keharmonisan keluarga, akan tetapi saling pengertian dari masing-masing anggota keluarga yang merupakan factor yang paling dominan. Dari perasaan yang sama inilah pilar keharmonisan tumbuh dan ditegakkan. Tanpa rasa pengertian yang sama, rasanya sulit keharmonisan itu akan terwujud.                    

Firman Allah di dalam Al-Qur’an Surat Ar Rum ayat 21:                                                         “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia ciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteranm kepadanya, dan dijadikanNya  diantaramu rasa kasih dan saying. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
            Keluarga sakinah adalah keluarga yang dibina berdasarkan perkawinan yang syah.   Menurut UU No 1 Tahun 1974 pasal 1 : Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kata lain keluarga yang terbentuk dari perkawinan tersebut merupakan keluarga yang bahagia dan sejahtera lahir batin atau keluarga sakinah. Keluarga yang mampu memenuhi hajat hidup spiritual dan material yang layak’ mampu menciptakan suasana cinta dan kasih saying (mawaddah warahmah) selaras, serasi, seimbang serta mampu menanamkan dan melaksanakan nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, amal saleh dan akhlakul karimah dalam lingkungan keluarga sesuai dengan ajaran Islam.
            Suami istri mempunyai peran yang harus dipegangnya, lebih-lebih pada zaman sekarang, dimana saat ini tidak akan dapat lagi mempunyai peran seperti waktu lampau yang istri cukup berhias, bekerja sebagai ibu rumah tanggaserta melahirkan anak (peranannya hanya berkisar dikasur, didapur, diusumur). Tetapi istri pada zaman sekarang ini haruslah meningkat perannya, yang antara lain  :          
  1. Shadieq adalah sebuah peran istri sebagai sahabat yang sangat akrap dalam segala hal. Baik dalam keadaan suka maupun duka. Bukan sahabat bila suami sedang mempunyai uang, lalu kalau sudah bangkrut suami ditendang. Ada uang abang saying bila tidak ada uang abang aku tending.
  2. Samier, yaitu kawan dalam senda gurau. Bercengkrama, saling menghiburuntuk melepaskan ketegangan dan kepenatan setelah bekerja sepanjang hari.
  3. Syarieq, yaitu mitra terpercaya dalam hal memgelola keuangan dan ekonomi rumah tangga, karena cukup atau tidak cukupnya biaya hidup keluarga ada di tangan istri.
  4. Rafieq, pendamping suami menjadi teman tawa dalam suka dan penghibur dikala duka.

Selain peran tersebut, istri juga bertugas menyiapkan generasi penerus, generasi baru. Istrilah yang melahirkan, menyusui, membesarkan dan membinanya sehingga generasi baru tersebut akan menjadi penerus yang dapat diandalkan baik fisik maupun mentalnya.
Setelah rumah tangga terbentuk, kegiatan yang sangat penting adalah memelihara dan membina lembaga perkawinan tersebut, sehingga terciptalah keluarga sejahtera (keluarga sakinah). Untuk mewujudkan keluarga yang harmonis, Islam member patokan-patokan sebagai berikut :
1.      Islam meletakkan prinsip bahwa suami istri mempunyai martabat dan kedudukan yang sama, sebagai manusia hamba Allah SWT.
2.      Islam menginginkan bahwa kehidupan rumah tangga, hubungan suami istri adalah saling melengkapi dan saling mengisi, saling mengingatkan bila salah, saling memahami dari kekurangan pihak lain.
3.      Islam menekankan kepada suami istri untuk menciptakan pergaulan yang baik, member contoh ahklak yang mulia dan kemudian menurunkan kepada anak-anaknya.
4.      Islam menekankan terciptanya suasana keagamaan dalam kehidupan rumah tangga.

Allah swt memberi arahan yang sangat tepat, supaya sebuah keluarga menurunkan generasi yang lebih tangguh, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 9 :
“Dan hendaknya takut karena Allah, orang-orang yang meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka kawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
            Disinilah sebenarnya letak pentingnya selalu menjaga generasi kita, agar menjadi generasi pengabdi Tuhan yang sejati dan sejauh mungkin menghindari sesembahan-sesembahan lain termasuk didalamnya nafsu-nafsu duniawi.
Salah satu cara menjaga kelangsungan generasi pengabdi Tuhan ini adalah dengan memaksimalkan peran keluarga. Allah secara gamblang menjelaskan fungsi ini melalui contoh profil keluarga Luqman, dalam firmanNya QS Luqman ayat 13 : “Dan ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
            Hal inilah tampaknya yang seringkali kita lupakan. Kita lebih suka membekali anak-anak kita dengan ilmu-ilmu tentang bagaimana meraih kesuksesan material dari pada member bekal mereka dengan ajaran tentang tauhid dan akhlak. Akibatnya jelas, anak-anak kita piawai mencari rejeki tapi jadi lupa untuk berbagi, anak kita pandai beranalogi tapi kadang terperosok lupa diri, anak kita pandai berargumentasi tapi pandai juga menipu diri, dan anak kita sangat suka materi hingga lupa pada hati nurani.
            Gejala munculnya generasi salah asuh semacam ini mulai terasa kian nyata. Anak-anak menjadi korban kesibukan orang tuanya mencari materi. Mereka dibiarkan terasuh oleh seperangkat alat berteknologi tinggi macam internet, handphone, televise, dan media-media elektronik lain.
            Tehnologi adalah serangkaian alat yang berjalan berdasarkan program-program. Ia tidak peduli siapa yang menjalankan program dan memberikan perintah-perintah kepadanya. Anak kecilkah, remajakah, atau mungkin orang dewasa, atau bahkan orang tua ompong peyot. Sekali lagi ia tidak peduli. Selama benar cara memencet keypad atau keybordnya maka informasi apapun akan ia munculkan. Padahal ahli teknologi informasi manapun sepakat bahwa setiap informasi pasti memiliki aturan main tentang siapa yang layak mengkomsumsinya.
            Cost sosial yang harus kita tanggung atas kesalahan pemanfaatan tehnologi tentu sangat mahal dan berat kita rasakan. Tentu sudah sangat sulit menghitung tentang berapa banyak korbannya, ada anak yang nekat mencuri untuk mendapatkan HP, ada anak yang mesti drop out dari sekolah lantaran hamil setelah mempraktekkan adegan porno yang ditontonnya, ada yang terpaksa mreman untuk sekedar beli pulsa, dan lahirnya para pengangguran biaya tinggi yang semakin menambah berat beban Negara, serta akibat-akibat sosial lainnya.
            Ayat yang kami sebutkan diatas, menjelaskan tentang betapa pentingnya penanaman nilai-nilai ketuhanan pada diri anak-anak kita. Nilai tersebut terkristal dalam konsepsi taqwa yang oleh para ulama diberikan pengertian sebagai menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah SWT. Artinya, sejak dini seorang anak harus mulai dilatih untuk menjalankan perintah-perintah agama dan hal ini juga sejalan dengan sebuah hadits Rasulullah :
“Perintahkanlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat saat berumur tujuh tahun dan pukullah mereka (jika tak mau menjalankan shalat) jika sampai umur sepuluh tahun”. (HR Ahmad, Abu Daud dan Hakim).
            Disamping penanaman nilai-nilai ketaqwaan sejak dini anak-anak juga harus dilatih untuk jujur dalam perkataan-perkataan mereka. Salah satu caranya adalah dengan senantiasa memberikan contoh tauladan dalam keseharian kita. Kiat semacam ini tidak bisa ditawar-tawar lagi, apalagi dinamika zaman telah membawa anak-anak kita selalu berlaku kritis dalam menyikapi fenomena sekitarnya. Seringkali ketidakjujuran dan ketidakmampuan kita memberi suri tauladan yang baik terkadang justru menjadi momok penyebab ketidakpercayaan anak kepada orang tuanya, sehingga pendidikan keluarga menjadi tidak efektip. Menurut sebuah penelitian yang dikutib oleh DR. Zakiah Darojat, perilaku manusia itu 83 % dipengaruhi oleh apa yang dilihat, 11 % oleh apa yang didengar dan 6 % sisanya oleh berbagai stimulus campuran. Dalam perspektip ini maka nasehat orang tua hanya memiliki tingkat efektifitas 11 %, dan hanya contoh teladan orang tua saja yang memiliki tingkat efektifitas tinggi.
            Mengembalikan fungsi-fungsi keluarga sebagai tiang negara menjadi sebuah keniscayaan bila kita ingin tetap menjaga kelangsungan generasi zaman ini. Berbagai disfungsi keluarga yang menggejala dewasa ini telah jelas-jelas merugikan dinamika sosial masyarakat kita. Budaya pengejaran tak berujung pangkal pada kepentingan duniawi yang terkadang membuat kita lupa untuk memperhatikan perkembangan psikologis anak-anak kita haus kita tinggalkan. Islam tentu saja tidak melarang kita untuk berlomba-lomba mencari setinggi mungkin kesejahteraan hidup, tetapi melupakan pendidikan agama yang akan menjadi pengawal langgengnya nilai-nilai budi pekerti anak-anak kita tentu bukanlah hal yang bijaksana. Kita harus menyadari sepenuhnya, bahwa sejauh apapun kita mengejar dan setinggi apapun kita meraih kebutuhan duniawi kita semua akan tiada artinya jika anak-anak kita yang merupakan harta paling berharga kita tiba-tiba kehilangan tabiat kemanusiaannya karena kealpaan kita mendidiknya.
            Kehadiran kita sebagai profil seorang ibu dan seorang ayah yang mampu menyisihkan waktu untuk keluarga adalah kebutuhan primer yang sangat mereka perlukan. Peluk cium penuh perhatian dan kasih sayang akan menyadarkan mereka tentang arti pentingnya hidup, sehingga anak-anak kita akan terhindar dari sketsa terorganisir pihak-pihak yang menginginkan mereka terjerumus dalam lembah kesesatan, sebab senyatanya perseteruan antara haq dan batil terus akan ada selama planet bumi ini masih ada dan senyatanya juga para pembela kebatilan terus berusaha melahirkan generasi mereka sehingga jika generasi pembela kebenaran tidak kita munculkan, maka kehancuran peradaban tidak akan mampu kita hindari.
            Akhirnya di bulan Ramadhan penuh berkah inilah harapan itu kita ketengahkan kembali, semoga peranan keluarga sebagai pencetak generasi yang taat kepada Allah SWT terwujud. Generasi yang bertaqwa akan tumbuh didalam keluarga yang mawaddah wa rahmah, yakni keluarga yang sakinah, sebagai wujud dari cita-cita menjadikan keluarga sebagai tiang Negara. Demikian kajian kita kali, terima kasih atas segala perhatiannya dan mohon maaf atas segala kesalahan, billahit taufil wal hidayah, wassalamu ‘alaikum wr. Wb.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar