Rabu, 21 November 2012

HIJRAH HATI NURANI


HIJRAH HATI NURANI
Oleh : Anis Purwanto

            Sebelum Rasulullah SAW melakukan hijrah, yang penuh dengan pengalaman, pengorbanan, penderitaan dan lain-lain, tapi kemudian ternyata menjadi titik awal dari penyebaran dan kebangkitan Islam. Maka Nabi Muhammad SAW bersama dengan para sahabat lebih dahulu melakukan sikap dan strategi, yang menurut Prof. Mahmud Syaktut dalam Min Taujihatil Islam disebut ‘hijratul qolbiyah” (hijrah hati nurani) yang merupakan pusat pendidikan dan latihan untuk menghadapai jaman dan tantangan yang lebih berat, yaitu pindah menyingkirkan diri dari tanah air yang mereka cintai, ke suatu tempat yang masih belum jelas, pada waktu itu menjadi tumpuan harapan.
            Riwayat menunjukkan bahwa kota Makkah pada saat itu dikuasai oleh rezim Quraisy yang menegakkan dan mempertahankan system jahiliyah. Mereka penuh kebatilan, kemusyrikan, fanatisme dan lain-lain. Dan mereka mempunyai posisi dan fasilitas yang lebih kuat disbanding umat Islam, baik dilihat sudut kualitas maupun kuantitas. Meski dalam keadaan yang demikian itu kurang lebih 12 tahun, Rasulullah SAW dan para sahabat dapat bertahan mengembangkan ajaran Islam walaupun dalam keadaan dan situasi yang sangat rawan,  setiap detik menghadapai bahaya yang mengancam keselamatan jiwa.
            Ditengah-tengah rezim yang dapat saja melakukan kehendaknya, Rasulullah SAW bertahan menyemaikan bibit kebenaran sampai saat turunnya perintah illahi untuk hijrah ke negeri yang memberikan harapan. Periode inilah yang kemudian oleh Prof. Mahmud Syaltut disebut sebagai hijratul qolbiyah (hijrah hati nurani). Dan selanjutnya dapat dipergunakan sebagai uswatun khasanah (iktibar yang baik) yang dapat menjiwai seluruh perjuangan kaum muslimin dari segala zaman, walaupun dalam situasi yang sulit sekalipun, dimana dakwah Islam mendapat tantangan dan hambatan yang bertubi-tubi.
            Namun Rasulullah SAW dan kaum muslimin yang masuk golongan minoritas ketika itu sanggup bertahan, tidak hanyut kedalam arus yang melanda. Sebab dalam hijratul qolbiyah itu umat Islam saat itu telah digembleng dengan ajaran tauhid yang kuat (militant) sehingga disaat hijratul badaniyah (hijrah fisik) mental mereka telah tertata baik. Kerena sebelum hijratul badaniyah mereka telah melakukan hijratul qolbiyah, hijrah dari kemusrykan kepaham tauhid, yang meliputi keihklasan, tawakal , cinta sesame, mengangkat derajat manusia dari lumpur jahiliyah yang merusak, yang setiap waktu terjadi pertumpahan darah dan penindasan terhadap kaum yang lemah.
            Hijratul qolbiyah seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW itu perlu diterapkan oleh kaum muslimin dalam setiap perjuangan. Apalagi dalam situasi dan kondisi Negara seperti di Indonesia sekarang ini. Dimana keadaan umat Islam sangat rentan perpecahan dan permusuhan. Tiap=tiap muslim harus berusaha jangan sampai terbawa arus yang dapat mengakibatkan perpecahan umat, yang dapat merugikan perjuangan dan kegiatan dakwah Islam secara keseluruhan. Tetapi sebaliknya tiap-tiap muslim harus berusaha jangan terbawa arus (hanyut) dengan keadaan yang merugikan itu, tetapi tetap berjuang menentang keadaan yang dianggap merusak. Paling tidak jangan sampai telibat atau melibatkan diri dengan sesuatu yang merugikan diri dan perjuangan. Meski yang demikian itu merupakan uapaya atau jawaban yang minimal (lemah) yang disebut Rasulullah SAW dengan “adh’aful iman”.
            Bisakah kita mewujudkan dalam abad 15 hijrah itu merupakan abad kebangkitan umat Islam ? Sudahkah ada tanda-tandabahwa Islam di Negara kita ini mulai bangkit ?.  Ataukah justru dengan adanya berbagai konflik yang berbau “SARA” diberbagai daerah di Indonesia itu menjadikan umat Islam surut “perjuangannya’?. Memang dakwah Islam kita masih ada dan tetap menggelora disetiap dada para penggiat keagamaan (da’I, penyuluh agama). Tetapi tantangan dan hambatan tetap berat dan siap menghadang didepan. Hanya kita yang mempunyai “biyadihi” kokoh dan ditambah dengan “bilissanihi” yang bil hikmah wa mau’idhotil khasanah saja yang mampu, selain didasai dengan keihklasan yang berwawasan fidun ya khasanah wa fil akhiroti khasanah”.
Umat di Indonesia.
            Walaupun kita sering berbicara tentang umat Islam Indonesia. Secara jujur perlu kita akui bahwa istilah ummat disini belum menunjukkan arti yang sesungguhnya. Terlalu banyak factor yang menyebabkan kita masih mengalami dis integrasi. Faktor-faktor yang berasal dari perbedaan kepentingan politik, perbedaan pemahaman agama yang terlalu dibesar-besarkan, dan umat yang masih harus terus dimantapkan dan didewasakan.  Yang kesemuanya ini merupakan factor internal. Sedang factor eksternal sering bersifat provokatif terhadap integrasi umat.
            Padahal bila kita dapat membangun umat yang kuat dan bersatu, maka hampir sama saja kita membangun bangsa Indonesia yang kuat dan bersatu. Sebagai bagian terbesar dari bangsa Indonesia, umat yang mengalami kerapuhan dan pecah kedalam pasti akan mempengaruhi bangsa secara keseluruhan. Oleh karena itu bila kita ingin membangun umat yang padu dan kuat, secara langsung kita juga membangun Indonesia yang stabil, padu dan sentausa.
            Satu masalah yang perlu kita perhatikan dan kita atasi adalah gejala makin merosotnya sensitivitas dan solidaritas umat, kelemahan wawasan dan kelemahan strategi dan taktik serta melemahnya ukhuwah Islamiyah (bahkan mungkin sekali kelemahan tauhid), umat Islam seperti gampang diobok-obok dan dimanfaatkan oleh berbagai kekuatan politik. Sebagai contoh bagaimana getolnya mereka merangkul umat Islam disaat menghadapi pemilihan umum. Seperti halnya merusak sesuatu lebih gampang dari membangun, maka proses pengobok-obokan yang terjadi pada umat Islam karena berbagai kepentingan, akan memerlukan kerja yang luar biasa sulit untuk memulihkan kembali. Ingatan kita langsung tertuju kepada hadits Nabi bahwa dikhawatirkan suatu ketika umat Islam akan diperebutkan orang seperti hidangan diatas meja yang diperebutkan oleh orang yang sedang lapar.
            Karena itu, dari berbagai factor umat, yang penting didalam kaitan tauhid dan pembangunan umat, kita perlu mempertajam sejarah kita supaya kita tidak mengulangi kesalahan-kesalahan dimasa lampau. Dengan pemahaman tauhid yang tumpul dan statis itulah sesungguhnya merupakan sumber awal dekadensi dan degenerasi umat. Sudahkah kita memberikan yang terbaik untuk umat, sebagai kontribusi bagi terciptanya integrasi umat. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar