Selasa, 06 November 2012

AL-QUR'AN DAN AS-SUNNAH LANDASAN MENCAPAI TUJUAN DAKWAH ISLAM


AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH LANDASAN MENCAPAI TUJUAN DAKWAH ISLAM
Oleh : Anis Purwanto

            Dakwah Islam di Indonesia meskipun sudah berlangsung berabad-abad, namun masih terus dihadapkan pada berbagai tantangan dan permasalahan. Hal ini, akan terus ada sepanjang sejarah kemanusiaan masih berlangsung. Baik yang bersifat eksternal dakwah, misalnya berupa upaya pendangkalan aqidah (deislamisasi) dan pemurtadan (proselitisasi) serta bentuk hambatan lain yang bersifat internal.
            Salah satu gejala disekitar tantangan dan hambatan internal dakwah adalah menyempitnya didalam memberi pengertian dakwah Islam. Pandangan sementara orang, dakwah merupakan aktivitas penyampaian informasi tentang ajaran Islam dari seorang penceramah kepada para pendengarnya. Menyempitnya pemahaman dakwah demikian itu, sedikit banyak diakibatkan sempitnya pemahaman kita tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai landasan pencapaian dakwah.
            Tetapi, lepas dari pasal sempit-menyempit ini, pada hemat kita, sebagai landasan dakwah, Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak akan dipersoalkan lagi. Akan tetapi lebih banyak melihat dari segi persoalan yang dialami oleh umat Islam sebagai pemegang tugas dakwah, yang membawa missi Al-Qur’an dan As-Sunnah.
            Telah diakui oleh umat Islam seluruh dunia, Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan pedoman dasar yang harus diikuti oleh setiap muslim. Bagaimanapun pemahaman mereka dan bagaimanapun ia tidak menjalankan syari’at Islam, ia pasti mengetahui kaidah dasar ini.
            Al-Qur’an sampai saat ini masih tetap dibaca, dipelajari dan dipahami oleh umat Islam. bahkan ada gejala yang masih menggembirakan pada akhir-akhir ini, tumbuh berkembangnya Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) dikalangan anak-anak kita. Sebagai bukti bahwa Al-Qur’an masih dicintai oleh segenap kalangan umat. Malah hampir menjadi tradisi umat Islam menyertakan muskhab Al-Qur’an sebagai mahar dalam perkawinan. Hal ini, pertanda adanya keinginan untuk memulai hidup berumah tangga sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. MTQ juga telah menjadi tradisi pereodik, setidak-tidaknya untuk umat Islam di Indonesia. Bahkan tidak sedikit masyarakat kita tertarik dengan kutipan ayat atau hiasan dinding dari ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah, terutama yang mempunyai nilai seni yang tinggi (kaligrafi).
            Kenyataan diatas memang tidak ada salahnya. Namun gejala itu belum dapat mewakili konsep kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagai usaha pemurnian ajaran agama Islam. Sebab pada umunya, kita hanya menganggap Al-Qur’an itu sebagai kitab suci, tanpa menyadari mengapa kitab itu dikatakan suci. Dan kita mengetahui As-Sunnah itu berasal dari Nabi Muhammad SAW, tanpa menyadari bahwa As-Sunnah itu merupakan ajaran yang harus diikuti. Didalam pelaksanaan ibadahpun, tidak banyak dari kalangan umat Islam yang melakukan karena pemahaman dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
            Berbicara mengenai pemahaman umat Islam terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, terutama dalam usaha pemurnian ajaran Islam, sampai saat ini ,asih terus diupayakan, meskipun pada awalnya banyak mendapat tantangan dari umat Islam sendiri. Kita masih ingat bagaimana amal usaha Muhammadiyah (Yogyakarta 1912), membuka sekolah umum dijaman penjajah Belanda, dengan konsep kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah (met de Al-Qur’an and As-Sunnah). Sayyid Quthub dalam bukunya Keadilan Sosial dan Abd. Al-Qadir Audah (Ahli Hukum Islam di Mesir) mencoba menyingkap prinsip Al-Qur’an dan As-Sunnah, juga mendapat tantangan ummat Islam. Juga tidak banyak yang mau mendukung Mauraci Bucailla, karena idenya mengenai Al-Qur’an dan Sains Modern, dalam bukunya La Bible, Le Coran et la Sciance.
            Bahkan dalam praktek, terdapat pihak yang berusaha menerangkan Islam dengan kaca mata lain, yang memberikan prioritas kepada segi yang sementara orang dianggap sekuler (Barat). Sehingga muncul berbagai konsep yang berusaha memisahkan Islam sebagai suatu Dien dengan Negara (separation/fashl) dan disisi lain berupaya untuk mereaktualisasikan ajaran Islam dalam kehidupan modern (meminjam istilah H. Munawir Sadzali MA, mantan Menteri Agama RI).
            Siapapun kita, akan berpendapat bahwa umat Islam dimana saja berpedoman kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sama, namun dalam prakteknya kita akan menemui corak umat yang beraneka ragam. Ini merupakan pertanda bahwa umat Islam mempunyai pemahaman yang tidak sama. Sedang didalam pelaksanaan dakwah islam pemahaman terhadap kedua landasan ini sangat menentukan tercapainya tujuan dakwah.
            Namun kecenderungan umum, kita masih erat berpegang kepada prinsip dasar Islam ini (salaf), yang mengacu dari pemahaman yang benar dari generasi umat pertama (As-Salafiyah). Mereka dapat menjiwai ajaran Islam, karena mereka benar-benar memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk menjiwai ajaran ini, masyarakat Islam kini tidak mempunyai pilihan lain selain memahami dari sumber asli sebagaimana adanya dan menerapkan dalam praktek. Pemahaman tanpa usaha penerapan tidaklah cukup, dan begitu pula sebaliknya.
Orientasi Dakwah Al-Qur’anik-Metodologik.
            Dakwah merupakan manivestasi dari pemahaman yang mendalam dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Melalui dakwah, diharapkan ajaran Islam, dikenal oleh umat, dihayati dan diamalkan (QS. Ali Imran:104). Sebagai rahmat seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), Islam dapat menjamin terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan umat.
            Dalam kategori social, umat Islam merupakan warga masyarakat yang memeluk Islam. Istilah “ummat” berasal dari Al-Qur’an, yakni “Ummatan wahidatan” (QS>2:213) dan “khaira ummatin” (QS.3:110). Yang pertama menunjukkan adanya pemeluk dien yang tidak terputus sejak Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad SAW dan istilah yang kedua menunjukkan adanya umat berkualitas terbaik, yang fungsinya mengajak orang lain agar hidup secara Islam (Makruf) dan mencegah dari ucapan dan tindakanyang dapat merugikan diri dan orang lain, sebagai akibat ingkar kepada Allah SWT (mungkar).
            Kedua hal tersebut mempunyai hubungan fungsional. Sebab tanpa ihtiyar realisasi dakwah islam (amar makruf nahi mungkar) yang dilakukan oleh umat yang berkualitas terbaik (khaira ummatin), ummatan wahidah tidak mungkin dapat terwujud. Dan tanpa ummatan wahidah maka tidak mungkin khaira ummatin dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
            Berangkat dari sifat dan fungsi dakwah tadi, sebagaimana pengemban missi Islam, da’I harus mampu mengejawantahkan ajaran Islam secara kaffah. Karenanya perlu dikembangkan pola orientasi dakwah yang Al-Qur’anik metodologik. Dakwah dikembangkan dari hasil pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan pendekatan keilmuan yang inter dan multi disipliner (metodologis), yang esensinya berangkat dari pemahaman tersebut.
            Perangkat yang paling mendasar, dalam hal ini adalah meneliti kembali epistemology dan teologi dakwah yang selama ini kita pakai. Karena memperbaiki epistemology dakwah (keilmuan dakwah) merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Sebab diperlukan pengkajian yang sangat mendalam. Di lain fihak kita harus memahami epistemologi Islam terlebih dahulu. Karena epistemology dakwah merupakan pengemban utama pelaksanaan dakwah.
            Sedang pada aspek lain, diperlukan perbaikan teologi dakwah Islam, sebab teologi dakwah yang berkembang dikalangan para pelaksana dakwah, dipandang tidak sesuai untuk mendinamisasikan dakwah Islam. Hanya saja, sebelumnya kita harus pula memperbaiki pemahaman kita terhadap teologi Islam.  Karena teologi dakwah merupakan bagian dari teologi Islam.
            Inilah sebabnya, kita perlu menata kerangka dakwah yang lebih dinamis, yang tetap bertumpu kepada nilai Islam (AL-Qur’an dan As-Sunnah). Sehingga dakwah memiliki sikap optimistis dalam perspektif masa depan.
Tujuan Dakwah.
            Tujuan dakwah tidak berbeda dengan tujuan Risalah Islam, yang diemban oleh para Rasul Allah. Risalah Allah menjadi sempurna dan berakhir dalam bentuk seperti yang diwahyukan didalam Al-Qur’an dan dipraktekkan seperti yang terhimpun dalam As-Sunnah, “Dialah yang mengirim Rasul_Nya dengan petunjuk dan agama (cara hidup yang benar) supaya Dia menampakkannya lebih unggul dari semua agama (cara hidup) yang ada, walaupun orang-orang musrik tidak menyenanginya” (QS At-Taubah:33), Ash-Shaf:9, dan Al-Fath:26).
            Dengan berpulangnya Rasul ke rahmatullah, umat Islam secara otomatis mendapat tugas meneruskan Risalah tersebut. Ini adalah tugas setiap muslim, yang terkandung makna tanggung jawab yang saangat dalam.
            Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, pelaksanaan dakwahnya harus berpegang pada prinsip bil hikmah (QS. An Nahl:125), dengan menghindarkan dari sifat memaksakan kehendak (QS.2:256). Sebab kebebasan beragama merupakan masalah yang fitri, disamping memang manusia sejak lahir telah mampu memilih untuk beriman kepada Allah atau mengingkari-Nya (QS.18:29). Karenanya, manusia memiliki konsekuensi logis untuk menanggung segala perbuatannya. Bila beriman akan mendapat pahala dan bila kufur mendapat siksa.
            Berangkat dari konsep tersebut, tujuan paripurna dakwah adalah terwujudnya kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Meskipun dari beberapa sarjana muslim berusaha merumuskan dari sumber Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang manfaat dakwah untuk kehidupan di dunia, misalnya Dr. Muhammad Yusuf Musa, seorang ahli hukum Islam dari Mesir, mengelompokkan menjadi : pendidikan individu, masyarakat dan perdamaian dunia.
            Disisi lain dalam Al-Qur’an terdapat sebuah prinsip umum yang jelas untuk merubah sikap, “Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu bangsa, sebelum mereka merubah nasibnya sendiri” (QS. Ar Ra’d:11). Dan dalam hadts shahih juga disebutkan bahwa amal seseorang tergantung kepada niatnya, Allah akan membukakan jalan untuk orang yang berhijrah kejalan-Nya atau kepada selain-Nya. Pilihan berada di tangan kita, hidup secara Islam atau selain Islam. Wallahu a’lam.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar