Selasa, 01 Januari 2013

MERAIH KEMULIAAN


MERAIH KEMULIAAN
Oleh : Anis Purwanto

            Islam adalah agama universal, artinya Islam diturunkan oleh Allah SWT untuk semua makhluk Allah di muka bumi, untuk dipedomani didalam menata dan mengelola bumi dan isinya. Sebagai agama rahmatan lil alamin, agama Islam tidak mengenal ras. Islam memandang semua sama. Hanya ketaqwaannya kepada Allah lah yang membedakan manusia yang satu dengan lainnya, ketaqwaan dan keimananlah yang dapat memuliakan manusia. Allah tidak memandang kaya atau miskin, pejabat atau rakyat jelata. Semua dihadapan Allah sama. Harta, tahta, dan “ta” yang lainnya adalah hiasan duniawi yang bersifat sementara. Dan kesenangan sejati adalah derajat kemuliaan di sisi Allah :
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَـٰكُم مِّن ذَكَرٍ۬ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَـٰكُمۡ شُعُوبً۬ا وَقَبَآٮِٕلَ لِتَعَارَفُوٓاْ‌ۚ إِنَّ أَڪۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَٮٰكُمۡ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu diisisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu”.  (QS. Al Hujarat::13).
            Kemuliaan seseorang tak ditentukan oleh status social dan ekonomi serta warna kulit atau factor-faktor lainnya yang bersifat keduniawian. Kalaulah boleh disebut mulia, kemuliaan itu terbatas, dibatasi waktu dan tempat. Pejabat misalnya, dimuliakan karena jabatannya, selagi memegang jabatan. Apapun yang dikatakan akan dijadikan acuan bawahannya, semua orang harus tunduk padanya. Siapa yang berani ingkar sama saja menentang bahaya, bahkan tidak akan diampuni. Namun setelah ‘lengser” jabatan, ia kembali sebagai manusia biasa, seperti lainnya. Kalau sudah tidak memegang kekuasaan dan tidak berada  di lingkungannya, tidak lagi dimuliakan. Apalagi bila selama memegang pangkat jabatan tersebut ia “adigung adiguna”, bersifat sewenang-wenang terhadap orang lain. Sebagai contoh, banyak kasus di negeri ini, sebagaimana yang banyak dilangsir di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik, yang dulunya duduk di kursi yang dimuliakan, namun setelah masa kerjanya selesai, atau bahkan masih memangku jabatan sekalipun ia menunai hinaan, diperkarakan di depan Majelis Hakim duduk di kursi pesakitan lantaran terduga tindak koropsi.
            Bila seseorang dimuliakan karena hartanya, ia Nampak gagah dan mulia selagi kaya raya. Namun setelah jatuh bangkrut, karena icabut semua yang dianggap kemuliaan itu oleh Allah, misalnya karena kebakaran hebat yang menghanguskan semua harta bendanya, maka dalam waktu sekejap kemuliaan itu akan sirna, dan tidak akan dianggap mulia lagi. Kesemuanya akan kembali sebagaimana yang lain, tidak dimuliakan karena pangkat dan jabatan, tidak dimuliakan karena seseorang konglomerat yang kaya raya. Di kendaraan misalnya, jika naik kendaraan umum sekiranya sudah penuh, ia harus mau berdiri, seperti orang kebanyakan. Di pasarpun harus mau berdesak-desak dengan mbok-mbok bakul, yang bahkan kalau tidak hati-hati bisa kecopetan atau dikutil.
            Inilah sebabnya, kalau boleh meminjam istilah kemuliaan, maka kemuliaan dibatasi oleh waktu dan tempat, yang tidak dapat dicapai hanya melalui status social, ekonomi ataupun warna kulit. Sebab apabila factor itu yang menjadi syarat untuk mencapai kemuliaan, dapat dipastikan hanya segelintir orang yang dapat memenuhi syarat untuk meraih kemuliaan, berarti tidak semua orang dapat mencapai derajat kemuliaan.
            Dalam pandangan Islam semua manusia memiliki hak yang samauntuk mencapai derajat kemuliaan. Kemuliaan yang sebenarnya adalah dengan iman dan taqwa, tanpa memandang status social ekonomi yang bersifat keduniawian. Bilal bin Rabah misalnya, seorang budak belian berkulit hitam, karena keluhuran dan kemuliaan hatinyalah ia diangkat sebagai muadzin, orang yang mengumandangkan adzan untuk melakukan shalat. Suara adzan Bilal di dengar orang termasuk Nabi Muhammad SAW.
وَلَا تَهِنُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَنتُمُ ٱلۡأَعۡلَوۡنَ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ
 “Janganlah kamu bersikap lemah, dan jangan (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang beriman”. (QS. Ali Imran:139).
            Iman dan taqwa merupakan nilai tertinggi di mata Allah, yang keduanya sebagai landasan utama didalam meraih kemuliaan. Sehingga kemuliaan seseorang di dunia, sebetulnya merupakan hiasan dan kesenangan semu, yang justru bagi orang yang beriman dan bertaqwa semuanya itu harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah, sebagai amanah. Kemuliaan di akhirat adalah kemuliaan sejati. Wallahu a’lam.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar