Sabtu, 20 Oktober 2012

POLA ORIENTASI DAKWAH


POLA ORIENTASI DAKWAH ISLAM
Oleh : Anis Purwanto

            Dakwah merupakan manifestasi dari kecintaan yang mendalam kepada ajaran wahyu Allah, sekaligus pengamalan dari wahyu itu sendiri. (QS. Ali Imran:104). Melalui dakwah diharapkan ajaran Allah tersebut dikenal umat, dihayati, dilestarikan, dan yang akhirnya dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dakwah laksana obor tua yang tak kunjung padam, yang secara estafet dioperalihkan dari dari generasi ke generasi berikutnya, meskipun terkadang obor tersebut mengalami saat-saat redup dan terkadang sebaliknya.
            Oleh karena itu Islam sebagai agama risalah, untuk manusia seluruhnya, maka keberadaan Islam secara fitrah harus disebarluaskan, diperkenalkan dan diajarkan kepada seluruh umat manusia. Sebagai rahmat seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), Islam dapat menjamin terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan umat, bila mana ajaran Islam dijadikan sebagai pedoman hidup dan dilaksanakan dengan sesungguhnya oleh umat manusia.
            Umat Islam, sebuah kategori social yang biasanya dikategorikan dengan warga masyarakat yang memeluk Islam. Kita telah mengetahui bahwa istilah umat berasal dari Al Qur’an, yaitu “Ummatan wahidatan” (QS.2:213) dan “Khaira ummatin” (QS.3:110). Yang pertama menunjukkan adanya sekelompok pemeluk dien yang tidak terputus sejak jaman Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad SAW, dan yang kedua; umat yang berkualitas terbaik, yang fungsinya mengajak masyarakat lain agar hidup dengan cara yang Islami (makruf) dan mencegah masyarakat agar tidak menjalankan perilaku yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain sebagai akibat keingkarannya terhadap Allah SWT (mungkar).
            Kedua hal tersebut memiliki hubungan organic dan fungsional. Sebab tanpa ihtiar realisasi amar makruf dan nahi mungkar yang dilakukan oleh sekelompok orang (umat) dengan kualitas terbaik (khaira ummatin), maka ummatan wahidatan menjadi tidak mungkin, demikian pula sebaliknya, tanpa ummatan wahidatan maka tidak mungkin khaira ummatin bias menjalankan fungsi tersebut. Oleh karena itu dakwah menjadi bagian esensial yang tidak mungkin terpisahkan dengan ihtiar mewujudkan ummatan wahidatan yang adil dalam ridha Allah SWT.
            Sementara itu dakwah Islam sebagai pengejawantahan nilai-nilai imani (teologis) dalam kehidupan social, sekarang menghadapi masalah yang kompleks. Maka untuk menganalisa realita dakwah Islam yang semakin kompleks ini dibutuhkan alat analisa dengan disiplin keilmuan yang inter dan multi disipliner. Sehubungan dengan inilah, maka orientasi dakwah Islam sekarang ini perlu dikaji ulang.
Orientasi Legitimator
            Dalam usaha mewujudkan realitas kehidupan yang Islami, sebagian dari pelaksana dakwah Islam menempuh pola orientasi legitimator. Suatu pola yang mencoba mengabsahkan kebijakan tertentu, meskipun realita tersebut belum tentu benarnya. Pola dakwah ini dikalangan umat Islam umumnya didukung oleh dua kutup pemahaman Islam, yaitu:
Pertama; kelompok umat (da’i) yang berpandangan bahwa teori-teori yang dating dari Barat tidak perlu dipermasalahkan, umat Islam harus mengejar modernitas, semua ilmu bebas nilai dan ungkapan yang sering dipakai adalah Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Kebanyakan dari mereka adalah intelektual hasil didikan barat, tetapi ironisnya justru mereka kurang kritis menanggapi suatu masalah dalam kerangka keilmuan. Meski secara jujur diakui ada sebagian dari mereka yang kritis secara epestemik. Dalam hal ini sebagian dari mereka mengetahui bahwa umat Islam dilarang mengikuti sesuatu tanpa mengerti secara betul sesuatu itu atau taklit buta (QS. 17:36 dan QS. 31:15).
            Para pengemban dakwah yang berorientasikepada pengabsahan kebijakan ini, umumnya mereka mengambil teori-teori atau konsep-konsp dari barat baik social, ekonomi, politik, budaya maupun hukum-hukum agama, Bahkan dalam beberapa segi mereka mendengung-dengungkan agar umat Islam mengejar modernism. Sebab modernism merupakan indicator dari masyarakat modern, yang tentunya termasuk umat Islam sebagai bagian dari masyarakat secara universal.
            Kedua; pengemban dakwah ini didalam memahami ajaran Islam biasanya lebih banyak pada ajaran rukun Islam dan didalam memahami ayat-ayat Al Qur’an hanya diaspek ketentuan atau hukum-hukum agama dan sdikit sekali yang membahas masalah-masalah social yang mengarah kepada bangunan teoritik. Pola orientasi dakwah dengan pemikiran semacam ini, dalam aktualisasinya dibidang dakwah Islam bersifat kaku dan kurang elastic.
            Dilingkungan umat Islam, pola dakwah yang berorientasi legitimator ini umumnya didukung oleh sarana dan prasarana dakwah yang memadai. Sedang hasil dakwahnya bukan diarahkan kepada terbentuknya wawasan Islam yang komprehensip dan integralistik, akan tetapi pada semaraknya jumlah pemeluk agama (mayorita) dengan segala macam permasalahannya. Bahkan pada beberapa segi menempatkan dakwah Islam dalam kerangka politik yang tidak sejalan dengan politik Islam. Sehingga pada gilirannya dakwah Islam sebagai perintah suci, menjadi ternodai oleh ikatan politik tertentu yang tidak Islami.
            Jadi esensi dakwah pada pola ini biasanya mudah menyesuaikan dengan keadaan, walaupun mungkin keadaan itu belum dikaji secara tuntas, menyeluruh dan terpadu dalam kerangka Islam. Akan tetapi melegitimasi, yakini mengabsahkan apa yang menjadi program masyarakat umum. Bahkan tema-tema dakwah yang diangkat ataupun ayat-ayat yang dikutip adalah yang sekiranya mengarah pada pengabsahan kebijakan masyarakat umum.
Orientasi Qur’anik.
            Disamping pola dakwah tersebut diatas, dilingkungan umat Islam dikenal pula orientasi dakwah qur’anik, akan tetapi tidak disertai wawasan keilmuan Islam. Methode dakwah yang ditempuh dalam pola ini adalah mengintrodosir (memperkenalkan) ayat-ayat yang ditafsirkan secara leterlek, tidak dalam keseluruhan maksud Al-Qur’an. Sehingga ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits sering kali tidak dipandang dalam satu kesatuan berfikir. Akibatnya dalam memandang suatu masalah bersifat kaku dan hitam putih, halal haram dan seterusnya.
            Pola orientasi Qur’anik yang minus keilmuan modern ini apabila dipandang dari segi metodologi dakwah, justru menjadi tidak metodologis atau bil hikmah. Sebab ayat-ayat yang disampaaikan tidak dalam bentuk wawasan yang padu, sehingga metodologi sebagai prasyarat dalam pelaksanaan dakwah menjadi kurang diperhatikan dan bahkan terabaikan. Maka proses interaksi dengan umat dakwah menjadi kurang efektif dan efisien. meski demikian, pola dakwah yang demikian ini bukan tidak islami, tetapi untuk kepentingan dakwah tidak tepat.
            Disamping itu pola orientasi dakwah Qur’ani yang demikian, maka didalam pelaksanaan dakwahnya tidak metodik dibeberapa segi serta bersifat memaksa dan kekerasan. Pada hal Islam sebagai agama pembawa damai ataupun sebagai rahmatan lil ‘alamin disebarkan dengan cara yang hikmah (bijaksana). Tentu saja hal ini amat bertentangan dengan penegasan Al-Qur’an bahwa Islam tidak untuk dipaksakan (QS. 2:256). Sebab kemerdekaan manusia merupakan masalah yang sangat fitri dan paling asasi, disamping memang manusia sejak lahir telah mampu memilih untuk beriman kepada Tuhan atau mengingkari (QS. 18:29). Oleh karena itu manusia memiliki konsekuensi logis untuk menanggung sendiri segala perbuatan yang dipikulnya, Bila beriman akan mendapatkan pahala dan bila kufur akan memperoleh siksa (QS. 4:85).
            Jadi, pola orientasi dakwah ini apabila dikaji lebih jauh dan mendalam memiliki kecenderungan memaksakan kehendak, karena tidak memberikan wawasan keilmuan Islam yang rasional. Dalam beberapa segi dakwahnya hanya mampu mengkritik (mungkar), tetapi tidak mampu memberikan alternative pemecahan masalah (makruf). Pada hal sifat dakwah adalah mampu memberikan kritik dan mampu memberikan alternative masalah  (amar makruf nahi mungkar). Oleh karena itu apabila dakwah kehilangan fungsi ataupun sifat tadi, berarti pengemban dakwah (da’i) belum mampu memahami Islam secara kaffah.
Orientasi Metodologik.
            Selain pola dakwah legitimator dan Qur’anik, dijumpai pula pola orientasi dakwah metodologik. Dimana didalam pola ini dikembangkan dari hasil pendalaman Al-Qur’an, dengan menggunakan pendekatan keilmuan yang inter dan multi dislipiner (metodologis). Sedangkan esensi dakwahnya, berangkat dari pemahaman Islam (Al-Qur’an), sehingga diistilahkan “Islam sebagai Subyek” yang mampu menjelaskan masalah hidup yang ada (realitas social), dan tidak diterangkang dengan metodologi (ilmu social) barat.
            Pola dakwah ini sedang berkembang dengan pesat, khususnya dilingkungan kampus-kampus dan masyarakat perkotaan, yang akhir-akhir ini kajian Islam semacam itu semakin banyak diminati. Pada umumnya mereka memahami ajara Islam dengan pendekatan ilmu-ilmu social serta mencoba membedah isi Al-Qur’an dengan disiplin keilmuannya, kemudian menyatukannya dengan kerangka pemikiran Islam secara terpadu.
            Sedang masalah yang sering dihadapi oleh para pemandu dakwah (da’i) dalam pola semacam ini adalah kesulitan mencari metodologi yang tepat didalam pelaksanaan dakwah ataupun dalam memahami Islam yang Al-Qur’ani. Karena alangkah kontradiksinya apabila metodologi dakwahnya islami, tetapi esensi Islam yang didakwahkannya justru bertentangan dengan maksud Al-Qur’an. Maka tidak ada istilah dalam dakwah Islam, tujuan yang baik ditempuh dengan cara yang jelek (asal kena).
            Hanya disayangkan, pola dakwah semacam ini baru dapat berkembang dengan baik dikampus-kampus atau di perkotaan dan kurang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat, terutama masyarakat pedesaan. Pada hal kalau dikaji secara mendalam dan lebih luas, justru masyarakat pedesaan dan kaum dhu’afa amat membutuhkan wawasan keilmuan Islam yang segar, untuk meningkatkan kualitas keislamannya (khaira ummatin). Sehingga pada gilirannya mereka mampu memperbaiki hidupnya secara Islami (amar makruf dan nahi mungkar). Kita tentunya faham bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah hidup di pedesaan, yang secara statistic hidup dalam kesederhanaan dan keterbatasan. Maka sudah menjadi keharusan bagi para cendekiawan muslim (da’i), agar mengarahkan perhatian dan keilmuannya kepada masyarakat pedesaan, dengan kerangka keilmuan yang Islam (bil hikmah). Sebab selama ini masyarakat pedesaan wawasan keislamannya amat didominasi oleh ilmu-ilmu keislaman tradisional, yang tidak pernah dikaji ulang benar salahnya. Jadi, inilah sebabnya pengemban dakwah (da’i) ini mempunyai tugas sangat mendesak untuk mensosialisasikan pemikirannya kepada masyarakat pedesaan dan kaum lemah yang memiliki jumlah besar.


Memperbaiki Tatanan.
            Dengan mempelajari pola dakwah tersebut, maka benar-benar dakwah membutuhkan perhatian tatanan dakwah yang dipandang strategis dan mendasar. Perangkat dakwah yang dipandang mempunyai nilai yang mendasar adalah tatanan epistimologi dan teologi dakwah.
            Memperbaiki epistimologi dakwah (keilmuan dakwah) memang merupakan pekerjaan yang tidak mudah dan perlu pengkajian yang sangat mendalam. Sebab sebelumnya kita harus memperbaiki epistimologi Islam, sebagaimana yang selama ini kita bangun. Karena pada dasarnya epistemology dakwah sebagai pengemban utama dakwah.
            Sedang pada aspek lain, juga memerlukan perbaikan teologi dakwah Islam, sebab teologi dakwah yang selama ini mentradisi dikalangan umat Islam dipandang sudah tidak sesuai lagi untuk mendinamisasikan dakwah Islam. Hanya saja sebelumnya kita harus memperbaiki teologi Islam, karena teologi Dakwah merupakan bagian dari teologi Islam. Hanya saja yang dibutuhkan umat Islam sekarang ini adalah teologi yang direalisasikan dalam kehidupan social.
            Jadi, inilah sebabnya kita merumuskan kembali bentuk teologi baru yang lebih reflektif, dinamis dan memiliki fungsi keagamaan. Karena teologi Islam klasik memiliki efek pengerem dalam dakwah Islam, seperti melemahnya etos dakwah dikalangan pengemban dakwah (da’i), pesimistis dan sikap menyerah kepada relitas. Pada gilirannya, muncullah etos ilmu dakwah yang lembek dan berkualitas rendah.
            Itulah sebenarnya yang mengharuskan kita untuk segera melakukan perbaikan teologi dakwah Islam sekarang ini. Dengan mencoba memperbaiki bagian yang paling sentral dan esensial (teologi Islam) ini, diharapkan dakwah Islam memiliki sikap optimism dalam perspektif masa depan. Maka fungsi dakwah selanjutnya memelihara kelangsungan tatanan dengan tetap menjalankan amar mafruf nahi mungkar dalam tatanan baru tersebut. Sebab secara esensial dakwah Islam tidak memihak kepada kelompok tertentu kecuali tetap memegang dan menjalankan perintah Allah SWT. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar