Rabu, 17 Oktober 2012

AKTUALISASI SEMANGAT BERKORBAN DALAM MEREDUKSI KRISIS DIMENSIONAL


AKTUALISASI SEMANGAT BERKORBAN DALAM MEREDUKSI KRISIS DIMENSIONAL
Oleh : Anis Purwanto
               
                Secara jujur kita harus berani mengatakan, bahwa sebagian dari kehidupan kita masih terlalu banyak diarahkan oleh hawa nafsu. Makanya tidak terlalu berlebihan bila kemudian kita selalu diharuskan untuk mengenang kembali peristiwa dramatik yang terurai pada sejarah Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as. Dengan harapan dapat menimba iktibar yang terkandung dalam peristiwa itu, yakni suatu peristiwa yang melukiskan, betapa iman yang dipilih secara sadar dan sengaja dapat mengalahkan segala-galanya. Dalam kasus sejarah kenabian, peristiwa yang dalami Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as merupakan peristiwa dilematis, tetapi keduanya sepakat menempuhnya karena pancaran iman.
            Kita dapat mengatakan bahwa peristiwa tersebut adalah peristiwa yang luar biasa, karena drama yang dimainkan Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, adalah  darama pertentangan antara dua nilai yang bertolak belakang secara diametral, yang dapat menghantarkan Ismail ke pintu maut.
            Dari sejarah kita mengetahui bahwa Ismail di mata Ibrahim , bukanlah semata-mata anak bagi seorang ayah, namun Ismail adalah buah hati bersulam kasih saying, yang telah didambakan Ibrahim as sangat lama, dan merupakan hadiah yang diterimanya, sebagai imbalan karena ia telah memenuhi hidupnya dengan perjuangan. Tetapi tanpa diduga, Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim as agar menyembelih buah hati yang sedang tumbuh menyenangkan itu, “Ibrahim berkata, Hai anakku, sesungguhnya aku melihat didalam mimpi bahwa aku akan menyembelihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu?. Dia (Ismail) menjawab; Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada engkau, insya Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar”.(QS As Shaffat:102).
            Petapa guncangnya jiwa nabi Ibrahim as menerima wahyu Allah tersebut, tidak lah dapat dibayangkan. Ibrahim as sebagai hamba Allah SWT yang paling muhklis dan patuhpun bias gemetar dan goyah. Batinnya bergolak. Hati kecilnya diliputi tanda Tanya. Siapakah yang lebih dicintai, Allah SWT ataukah Ismail anaknya. Inilah pilihan yang sangat dilematis itu.
            Namun getaran jiwa yang dikendalikan oleh iman, akhirnya memenangkan Ibrahim as dalam pergolakan batin itu. Langkahnya berpihak kepada Allah SWT, dan pasrah mengorbankan Ismail anak yang sangat dicintainya. Maka dilembah Mina yang sepi, sang ayah berbicara kepada putranya. Langit yang menjadi atap Jazirah Arab ikut merekam peristiwa yang sangat luar biasa itu, seakan tak sanggup menyaksikan peristiwa langka itu. Sejarah manapun belum pernah mencatat adanya peristiwa antara ayah dan anak seperti ini.
            Dari pengorbanan Nabi Ibrahim as, telah memberikan gambaran tentang adanya revolosi keyakinan yang amat besar untuk memantapkan keyakinan dan patuh hanya kepada Allah SWT, dan tidak sepantasnya manusia merendahkan diri dihadapan benda-benda atau materi yang bersifat duniawiyah, betapapun sepintas lalu tampak hebat dan mengagumkan. Maka ketundukan dan pasrah diri hanya ditujukan kepada Allah Sang Pencipta alam semesta beserta seluruh isinya. Disinilah letak konsep tauhid, dimana tauhid manusia akan terangkat derajatnya dan mampu menghadapi berbagai problema, dalam melaksanakan tugas sebagai khalifah di muka bumi.
            Kateladanan Nabi Ibrahim as hendaknya dijadikan contoh bagi kaum keluarga masa kini. Kecintaan kepada keluarga secara berlebihan dapat berakibat memudarnya keutuhan tauhid kita. Disamping dapat berakibat lahirnya sifat egoistis, ujub dan takabur hingga tidak dapat menghormati kepada orang lain. Demikian kecintaan harta secara berlebihan akan menimbulkan sikap materialistis, sebuah sikap yang dibenci oleh Islam. Begitupun mencintai agama, manakala dilakukan dengan fanatic buta akan melahirkan sifat anti pati terhadap orang yang tidak sepaham dengan dirinya, sehingga ketenteraman yang merupakan inti dari ajaran agama, tidak pernah sampai pada tujuannya. Sifat tersebut apabila kita telusuri lebih dalam, semuanya akan berpangkal kepada hawa nafsu yang tidak terkendali, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diber rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun labi Maha Penyayang”. (QS.Yusuf:53).
            Jika dibandingkan, ajaran Islam sebagaimana yang telah diperagakan dengan bagus oleh Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, dengan praktek-praktek kehidupan sekarang ini, maka secara jujur harus diakui bahwa masih terlalu lebar jarak antara cita-cita Islam, dengan kenyataan riil perilaku umatnya. Banyak diantara kita yang bukan saja enggan mengurbankan sesuatu yang dicintai, untuk sekedar turut dirasakan oleh saudara seiman, Namun lebih dari itu banyak diantara kita, yang telah membuat saudara-saudara seiman menjerit, merintih dan menangis, lantaran mereka menjadi korban perbuatan kita sendiri. Penipuan, kebohongan, pelanggaran, penindasan dan kesewenang-wenangan, sering terjadi diantara kita, hanya demi memperoleh dan memenuhi kepuasan pribadi, kelompok atau golongan. Yang lebih menyedihkan lagi adalah, bilamana ada yang sudi mengorbankan agama dan keyakinan demi kesenangan dan kenikmatan sementara. Oleh karena itu, peristiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim as yang puncaknya dirayakan sebagai Idul Adha, harus mampu mengingatkan bahwa kita tidak boleh mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan kita, tetapi yang harus dikorbankan adalah sifat-sifat yang dikendalikan oleh hawa nafsu
            Sekecil apapun amal dan pengorbanan kita, asalkan kita perjuangkan dengan sungguh-sunnguh serta ihklas karena mengharap ridha Allah, pasti kebahagiaan dan kesejahteraan serta limpahan rahmat dan karunia Allah akan selalu kita petik hasilnya dengan berlipat ganda. Semakin dominan jiwa ihklas dalam diri kita, semakin bersinarlah cahaya kebenaran didalam hati kita. Bukan saja ihklas terhadap hubungan antara manusia dengan Allag SWT tetapi juga hubugan antara sesama manusia.
            Kita berharap, semoga setiap Idul Adha yang oleh umat Islam dirayakan setiap tahun itu, semangat berkurbannya dapat mengilhami, menggugah dan mengaktualisasikan cara berfikir dan bertindak kita dan seluruh umat Islam, dalam mengatasi berbagai krisis dimensional, khususnya para pemimpin bangsa,  Ulama, Kiai, dai dan penyuluh agama serta semua elemen bangsa sekarang dan kedepan, agar dengan idzin Allah SWT kita dapat segera mengangkat negara menuju Negara yang baldatun toyyibatun wa rabbum ghafur, adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar