Rabu, 19 September 2012

KEADILAN SOSIAL DALAM ISLAM


KEADILAN SOSIAL DALAM ISLAM
oleh : Anis Purwanto

            Hakekat kehidupan social adalah merupakan perwujudan dari nilai akidah yang dinyatakan dalam kegiatan yang mengandung kebaikan (amal saleh). Dan hanya dengan nilai taqwa yang menjamin adanya kehidupan yang baik, bukan hubungan yang dapat mewujudkan adanya kejahatan dan tindakan yang merugikan. Sebab dalam ajaran Islam, dasar idiologis dalam kehidupan social adalam Al-Qur’an, yaitu idiologi yang mengandung nilai keadilan sejati yang merupakan pancaran langsung dari akidah Islamiyah yang murni dan dilarang menggunakan dasar idiologi yang mengandung nilai kedhaliman (syirik).
            Dalam kesatuan akidah Islamiyah, yang menjadi dasar hubungan dan kerja sama social diwujudkan dengan cara saling tolong menolong. Sebab pada kenyataannya antara satu dengan yang lain ada perbedaan kemampuan (etos kerja) dan adanya perbedaan tabiat yang menimbulkan profesi yang berbeda. Perbedaan kemampuan (etos kerja) meliputi perbedaan sikap terhadap akidah yang dipancarkan dalam kerja. Dengan asumsi dasar bahwa perubahan status social (ekonomi) hanya dapat dirubah dengan usaha dan kerja keras. Bahkan kejayaan suatu generasi tergantung dari amal kebaikan (kerja) dari generasi yang bersangkutan, bukan karena generasi sebelumnya, “Baginya apa yang diusahakannya dan bagimu apa yang kamu usahakan; dan kamu tidak akan diminta pertanggung jawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. 2:141).
            Dengan demikian kapasitas dan nilai kerja seseorang akan menentukan status dalam masyarakat dan dihadapan Allah SWT, artinya kemuliaan (status) dihadapan Allah dengan sendirinya meningkatkan status dihadapan masyarakat. Sebab pada dasarnya setiap kerja mengandung nilai baiak atau buruk. Kerja yang mengandung kebaikan akan mendatangkan kebahagiaan, sedang kerja yang mengandung nilai keburukan (kejahatan) akan mendatangkan penderitaan (kehancuran diri dan soSial).  Dan naik turunnya status seseorang diuji, apakah seseorang masih bekerja dengan iman dan berinteraksi social dengan baik, atau apakah dia saling bekerja sama dalam cara kerja yang keliru. Dalam ukuran idiologi yang mengandung nilai keadilan social, status social seseorang atau kelompok akan diperoleh jika mereka masih mengikuti fitri, dan akan turun (hancur) jika mengikuti hawa nafsu. Disamping akidah dan kerja yang menjadi dasar terciptanya stratifikasi social dalam Islam, ilmu dan tehnologi juga sangat berpengaruh. Penguasaan ilmu dan tehnologi menjadi prasarat adanya kerja yang terarah, efisisen dan efektif. Dengan demikian kerja yang dilandasi dengan iman dan penguasaan ilmu pengetahuan dan tehnologi akan menghasilkan nilai lebih (maksimal). Sebab ilmu tanpa iman termasuk dholim yang akan menurunkan derajat kemanusiaan, menghancurkan diri dan masyarakat. (QS. Mujadalah:11).
            Islam dengan jelas menentang kedhaliman dan mewajibkan kepada pemeluknya untuk bersikap adil, yaitu yang bersifat lurus (QS.4:58),  di tengah-tengah (QS.53:22), berkesinambungan (QS.17:35) dan mengandung kebenaran mutlak (QS.4:105). Apabila msyarakat mempunyai komitmen yang kuat terhadap tegaknya keadilan, maka perubahan struktur didalam masyarakat tidak harus disertai dengan pergolakan, anarkhis yang justru membawa dampak negatip yang sangat luar biasa didalam masyarakat. Sehingga maksud penegakan keadilan justru berakibat kesengsaraan dan timbulnya rasa takut, ketidak pastian hukum dan krisis kepercayaan yang berkepanjangan. Dan sebaliknya perombakan harus dilandasi oleh kesadaran agama yang kuat. Terjadinya pergolakan itu apabila manusia mengedepankan penyakit manusiawinya (hawa nafsu), seperti rakus, sombong, kemunafikan, fasik, kekufuran dan musyik (dholim).
            Suatu hal yang menjadikan hambatan klasik didalam upaya pemerataan kemakmuran dan keadilan social adalah terbatasnya kesempatan kerja. Padahal sekarang ini orang telah menyebut zaman maju, zaman modern dan zaman keterbukaan. Dengan tingkat komoderenan seperti sekarang ini, dengan tersedianya sejumalah besar kemudahan dan fasilitas yanga canggih, tidak berarti menjamin kesejahteraan yang lebih merata. Karena fasilitas yang memberikan kemudahan dan kenyamanan hanya dapat dinikmati oleh mereka yang mampu membeli, sementara lapangan pekerjaan hanya tersedia bagi orang yang berpenddidikan tinggi. Kaum miskin papa, yang lemah “tidak” berhak untuk ikut menikmati kemakmuran dan keadilan social.
            Ajaran Islam merumuskan bahwa tujuan hidup adalah mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat. Dalam mencapai kesejahteraan hidup itu manusia mau tidak mau harus berusaha. Oleh karenanya Islam meeletakkan kerja pada posisi yang mulia (ibadah). Bahkan dalam sejarah Islam dapat diketahui bahwa Rasulullah dan para sahabatnya untuk mencukupi kebutuhannya dan agar dapat beramal dengan baik, dilakukan dengan cara bekerja dan berusaha yang “makruf”, bahkan dikalangan sahabat mau bekerja sebagai kuli agar dapat beramal.
            Oleh karena keadilan social akan dapat terwujud dengan jalan memberikan kesempatan yang sama kepada semua warga masyarakat. Keseimbangan antara imtaq dan iptek, duniawiyah dan uhkrowiyah menjadi prasarat utama. Dimana Islam meletakkan kesejahteraan di dunia dan di akhirat secara seimbang. Tetapi mestinya hal-hal yang bersifat keakhiratan harus lebih diutamakan (imtaq). Sebab iman dan taqwa merupakan landasan utama untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (keadilan social). Wallahu a’lam.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar