Selasa, 28 Agustus 2012

PASCA RAMADHAN DAN IDUL FITRI


PASCA RAMADHAN DAN IDUL FITRI
Oleh : Anis Purwanto

Ramadhan dan Idul Fitri telah berlalu. Kenangan indah sewaktu menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh masih terpatri kuat dalam ingatan. Semarak beridul fitri juga masih kita rasakan. Akan tetapi sesungguhnya yang menjadi perhatian kita selanjutnya adalah lebih kepada bagaimana pelaksanaan ibadah puasa itu sendiri. Sebab kemampuan menahan diri ini akhirnya tidak dipahami hanya dilakukan pada bulan Ramadhan saja akan tetapi terus berlanjut pada bulan-bulan berikutnya. Kegembiraan pada Hari Raya Idul Fitri adalah hak bagi setiap orang, namun kegembiraan ini tidak hanya sekedar menunjukkan partisipasi lahiriyah yang semu ketika menyambut hari yang mulia ini. Akan tetapi kegembiraan dimaksud dapat terpancar melalui adanya suatu keyakinan bahwa puasa dan amal ibadahnya yang lain selama Ramadhan ini diterima oleh Allah SWT. “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan Ramdahan dan hendaklah kamu mengagungkan Tuhan sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan-Nya kepadamu supaya kamu bersyukur”.
Idul Fitri merupakan terminal baru yang kita singgahi setelah satu bulan penuh menjalankan ibadah puasa. Terminal ini ternyata lebih sulit bila dibanding dengan terminal sebelumnya yakni puasa itu sendiri. Karena terminal puasa hanya dijejali dengan latihan-latihan sesuai dengan namanya syhr al-riyadhah (bulan latihan). Hasil dari latihan ini akan dipertandingkan dengan masuknya hari raya Idul Fitri, untuk mengevaluasi sejauhmana kemajuan-kemajuan yang telah diperoleh sewaktu latihan, kemudian akan dipertandingkan dalam rentang waktu yang sangat panjang.
Maka kemudian yang sangat berat adalah ketika kita memasuki terminal pasca lebaran yakni memelihara dan melestarikan nilai-nilai Ramadhan dalam kehidupan sehari-hari. Setelah puasa selesai nampaknya kita harus tetap “puasa”. Sebab tugas memelihara ini justru lebih berat ketimbang melaksanakan perintah ibadah puasa itu sendiri. Selama bulan suci Ramadhan, ada faktor pendukung yang sangat menguntungkan, sehingga kita kuat menghadapi godaan dan ujian iman. Ketika itu seluruh kaum muslimin serentak melaksanakan ibadah puasa, taraweh rame-rame, tadarus bersama. Begitupun lingkungan sekitar kita , ikut menghormati bulan suci Ramadhan , warung makan tidak buka disiang hari, tempat-tempat hiburan pun diimbau tidak menyajikan acara-acara yang bertentangan dengan norma susila, para penjaja “kenikmatan sesaat” di lokalisasi banyak yang tutup, bahkan yang oprasinya dipinggir-pinggir jalan di “garuk” disingkirkan dari peredaran, meskipun bersifat sementara. Begitupula seluruh tayangan TV, sangat sarat dengan muatan dakwah. Bergagai paket acara yang bernuansa Ramadhan pun disajikan. Seakan tiada hari tanpa dakwah. Sehingga selama Ramadhan kita merasakan suasana yang sangat Islami, jauh dari aroma mungkarot yang kerap mewarnai kehidupan kita.
Sehingga setelah puasa dan Idul Fitri, kita masih harus tetap menjalankan puasa sepanjang masa. Dan Idul Fitri merupakan awal perjanjian manusia dengan Allah SWT, untuk melanjutkan tradisi positip yang telah dibangun ketika puasa Ramadhan, sehingga masuk bulan Ramadhan berikutnya, yakni mengaplikasikan amalan-amalan yang dilakukan pada bulan Ramadhan baik amalan yang berkaitan dengan pisik maupun yang berkaitan dengan mental.
            Sayangnya situasi itu hanya dalam bulan Ramadhan, setelah Ramadhan usai semuanya kembali pada posisinya masing-masing. Seakan kita tak pernah dilalui bulan Ramadhan. Ibadah puasa dan qiyamullail (shalat malam) yang kita lakukan selama satu bulan, tak nampakkan bekas sama sekali dalam diri kita. Sehingga inilah nampaknya sinyalemen Rasulullah SAW, bahwa “sesungguhnya kita baru pulang dari perang kecil menuju perang yang lebih dahsyat lagi, yaitu perang melawan hawa nafsu”, menjadi kenyataan. Kita memang masih harus puasa lagi setelah puasa usai. Buah nilai puasa satu bulan sebetulnya sudah mampu mewarnai corak kehidupan kita selanjutnya. Dengan catatan bahwa puasa yang kita lakukan itu puasa yang “imanan wah tisyaban” dan “ghufiralahu mataqodan min dambih”. Sebab ada banyak model puasa yang juga banyak dilakukan , dimana dia melaksanakan puasa akan tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa keculai hanya lapar dan haus. Kasihan tentunya orang yang model puasa seperti itu, laksana orang yang jatuh ketimpa tangga.
            Selama bulan Ramadhan pelaksanaan ibadah kita sangat baik, setidaknya menurut kita, bahkan iman dan taqwa kita terasa sangat mantap. Laksana seorang prajurit yang pulang dari medan peperangan dengan membawa kemenangan yang gilang gemilang. Kita kembali menjadi suci lahir batin,  bahkan kita terasa dilahirkan kembali dari kandungan ibu, mental kita jadi kuat, kesabaran kita menjadi tangguh, watak dan kepribadian kita berubah menjadi pribadi yang luhur, sikap kita menjadi sikap yang siap menghadapi ujian didalam menghadapi segala persoalan hidup dan kehidupan. Bahkan selama bulan Syawal, kita aktip silaturahmi ke mana-mana, berhalal bihalal, minta maaf kepada sanak kerabat dan handai taulan.
            Akan tetapi kini, kita saksikan, semua yang pernah ada hilang begitu saja. Semua kembali kepada posisinya masing-masing. Bahkan sifat kemalas-malasan beribadah kambuh lagi. Tradisi keislaman dalam bulan Ramadhan dan Idul Fitri tenggelam seakan ditelan bumi. Masjid-masjid tampak sepi. Para muballigh bahkan penyuluh agama yang selama Ramadhan dan Idul Fitri menjadi orang yang sangat sibuk mengisi berbagai kultum atau ceramah, sekarang istirahat. Meski sebetulnya tidaklah nganggur total, karena para da’I dan penyuluh agama biasanya sudah mempunyai kelompok binaan yang rutin ia lakukan sebagai upaya pembinaan umat.
            Malah yang sangat mencengangkan bagi kita warga Pacitan, adalah pasca lebaran ini justru pendaftaran cerai melonjak (Radar Pacitan, Rabu,14 September 2011). Tradisi pulang kampung (mudik lebaran) yang seharusnya hanya kita gunakan untuk silaturrahmi, rupanya dimanfaatkan sebagian warga untuk mengurus perceraian. Hal ini dibuktikan bahwa waktu sepekan saja jumlah perceraian yang didaftarkan di PA Pacitan mencapai 62 perkara. Meningkat dua kali lipat, bila dibandingkan perkara yang masuk pada bulan sebelumnya yang tercatat sekitar 20-30 perkara. Terlepas apapun alasan penyebab perceraian, namun yang pasti kita sangat sayangkan, karena disaat kita bergembira ria merayakan Idul Fitri, ada sebagaian masyarakat kita yang justru harus mempertaruhkan keutuhan keluarganya dengan mendaftarkan cerai di Pengadilan Agama. Apakah kemudian pantas apabila pasca lebaran yang seharusnya kita pergunakan untuk melanjutkan tradisi keagamaan seperti yang kita lakukan di bulan Ramadhan dan Idul Fitri menjadi tradisi  untuk cerai.
            Kenapa persoalan keluarga itu justru muncul disaat kedamaian selama bulan Ramadhan dan Idul Fitri  “Lebaran” sedang peroleh,  hingga memutuskan mendaftarkan cerai. Mestinya apabila nilai Ramadhan dan Idul Fitri betul-betul tertanam kuat dalam sanubari, apapun persoalan yang timbul akan dapat kita antisipasi dan dicarikan pemecahan yang terbaik. Akan tetapi semua memang kembali kepda kita masing-masing. Kita menyadari bahwa perceraian itu adalah diperkenankan meski di benci oleh Allah. Kita mengetahui bahwa faktor penyebab perceraian antara lain tidak ada tanggung jawab, tidak ada keharmonisan, masalah ekonomi, gangguan pihak ketiga, cacat biologis, krisis akhalak, KDRT dll, namun factor nikah usia dini juga perlu mendapat perhatian. Sebab selain perceraian yang naik tajam, pernikahan dini di Pacitan juga meningkat. Setidaknya, ada 74 dispensasi nikah karena umur mempelai perempuan kurang 16 tahun. Faktor penyebabnya didominasi kehamilan diluar nikah alias nikah kecelakaan atau marriage by accident (MBA). (Radar Pacitan, Kamis 15 September 2011).
            Jadi meraih suatu prestasi  memang sangatlah berat, akan tetapi lebih berat lagi mempertahankannya. Selama Ramadhan dan Idul Fitri kita telah diikat dengan tradisi keagamaan yang kuat dan kita berhasil meraihnya. Karena itu tak pantaslah apabila kemudian tradisi keagamaan itu kita tinggalkan. Lebih lagi kenapa ada tradiri lain (cerai) yang muncul secara mencolok justru di waktu pasca lebaran.            Sebagai salah seorang praktisi dakwah “semampu kita”, kita sangatlah prihatin. Apakah dakwah kita selama bulan Ramadhan dan Idul Fitri itu tidak mengenai sasaran ?. Apakah ada faktor lain yang menyebabkan semua ini terjadi pada umat Islam ?. ya sudahlah kita hanya menyampaikan risalah tauhid itu kepada umat. Selanjutnya terserah kepada kita masing-masing. Bagaimana merealisasikan semua yang telah diterima selama ini dalam kegiatan nyata, Sehingga pasca Ramadhan dan Idul Fitri ini nampaklah ada perubahan, dari yang negatip kepada yang positip dalam segala hal. Wallahu a’lam.
                                                                                                           



Tidak ada komentar:

Posting Komentar