Selasa, 14 Agustus 2012

KEMBALI KEPADA FITRAH


KEMBALI KEPADA FITRAH
Oleh : Anis Purwanto

            Puasa Ramadhan telah usai. Kini memasuki Idul Fitri. Kita berharap puasa, shalat dan amal lainnya diterima oleh Allah SWT. Mudah-mudahan kita kembali kepada fitrah. Sebab satu bulan lamanya, dimana umat Islam berjuang melawan hawa nafsu, mengendalikan diri dan menjaga dari hal-hal yang mengakibatkan batal bahkan rusak pahala puasanya. Bulan Ramadhan adalah salah satu bulan yang dapat dijadikan tolok ukur meningkatnya kualitas iman dan taqwa kita kepada Allah SWT.
Fitrah, mempunyai arti asal kejadian, kesucian dan agama yang benar. Fitrah dalam arti asal kejadian bermakna bebas dari noda dan dosa. Bagi orang yang berpuasa dan diterima ibadahnya itu, diampuni segala dosa-dosanya, maka ia bagaikan bayi yang baru dilahirkan dari perut ibunya. Bagaikan kertas putih yang bersih, tidak tercoreng oleh cacat dan aib. Sedangkan  fitrah dalam artian agama yang benar mempunyai pengertian bahwa orang yang kembali kepada fitrah adalah orang yang memiliki watak yang senang menerima ajaran agama, yang berarti seseorang mempunyai keinginan yang kuat untuk berupaya melaksanakan semua ajaran syariat Islam, “melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi laranga-Nya”, dalam hidup dan kehidupannya, dunia dan akhirat. Fitrah selalu cenderung kepada kebenaran dan tidak senang kepada segala bentuk kemungkaran dan berorientasi kepada “amar makruf nahi mungkar”.
 Secara fitri, manusia dengan fitrahnya selalu ingin berbuat baik, cinta damai dan menghindari permusuhan. Akan tetapi dalam kenyataannya dalam kehidupan kita sehari-hari,  kita temui berbagai penyimpangan. Kemanakah kecenderungan fitrah kita itu?. Yang pasti bahwa manusia dekat juga dengan sifat salah, sehingga aneka ragam penyimpangan terjadi karena kesalahan diri,  bukan dari dorongan naluri dasarnya, melainkan karena situasi dan kondisi yang melingkupi dirinya. Jadi, perbuatan-perbuatan buruk bisa saja terjadi, tetapi tidak berasal dari fitrahnya. Sebab secara fitrah manusia adalah baik.
Kejahatan-kejahatan sering muncul karena dorongan oleh tatanan sosial yang sesuai dengan ajaran agama, sehingga yang buruk mengakibatkan yang buruk pula, misalnya tidak tegaknya hukum mendorong orang manipulasi hukum , “main hakim sendiri. Maraknya kriminalitas, antara lain disebabkan oleh kebebasan manusia melakukan pelanggaran syariat. Semakin maraknya tindak kejahatan sekarang ini karena dorongan setan yang telah menguasai manusia dan dunia. Dalam kondisi dimana hawa nafsu telah menguasai diri, hati nurani menjadi tumpul dan sulit menerima hidayah Allah SWT. Manusia makin jauh dari fitrah. Sebab, hati tempat fitrah bersemayan dan berkembang biak, tertutup oleh noda dan dosa.
Kini fitrah itu telah terbuka kembali. Setelah kita berjuang selama satu bulan itu,  kita di “gembleng” dalam irama peribadatan yang sangat menjanjikan keindahan pahala dari Allah SWT. Sebab Syawal yang berarti peningkatan, mengandung maksud agar hamba-hamaba Allah yang beriman sadar, bahwa setelah mereka ditempa jasmani dan rohani dengan gemblengan yang sangat ketat selama bulan Ramdhan , kualitas spiritualnya akan meningkat menjadi mukmin yang sejati.
Bulan Ramadhan, Al-Qur’an dan hidayah Allah merupakan satu paket, yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT. Hidayah Allah SWT harus terus kita upayakan. Puasa, shalat tarawih, tadarus Al-Qur’an, zakat, infaq, sadaqah serta amalan-amalan lainnya, merupakan upaya untuk mendapatkan hidayah. Selain itu, juga harus bisa menjauhkan diri dari perbuatan yang mungkar. Sebab ibadah yang merupakan perwujudan dari taqwa dapat membersihkan diri dari noda dan dosa serta dapat mengembalikan manusia kepada fitrahnya. Sebaliknya dosa dapat menjauhkan manusia dari fitrahnya. Karenanya,  fitrah juga berarti hanif, maka manusia pada dasarnya lebih condong kepada al-haq. Sehingga manusia mempunyai kecenderungan berbuat baik dan menjauhkan diri dari perbuatan jahat.
Sedang fitrah yang terkait dengan agama, Tauhid menyatu dengan fitrah. Maka Rasul diutus untuk membimbing umat manusia untuk kembali kepada tauhid yang benar dan fitrahnya itu. Karenanya, agama Islam disebut juga sebagai agama fitrah, yaitu agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Kembali kepada fitrah, berarti juga kembali kepada aqidah yang benar, “Dinullah”. Manusia sebagai mahkluk yang sempurna, dikarunia oleh Allah akal dan iradah. Dengan akal dan iradah manusia mempunyai kemampuan untuk membedakan dan memilih  mana yang baik dan yang buruk. Manusia yang dilengkapi dengan iradah “kehendak bebas”, dapat berfikir kritis terhadap semua hal yang terjadi di dalam hidup dan kehidupannya. Sebab manusia tidak harus tunduk dengan kondisi sosial lingkungannya. Karena apapun yang kita lakukan akan kita pertanggungjawabkan kelak dihadapan perhitungan ilahi rabbi.
Pengaruh lingkungan memang sangat menentukan. Sehingga anak yang semula dilahirkan dalam keadaan fitrah, setelah dewasa bisa menyimpang jauh dari sifat dasarnya. Dengan kata lain dapat tersesat aqidahnya, yang mestinya menjadi insan tauhid, berubah wujud menjadi manusia yang kufur. Karena fitrah merupakan sifat universal manusia , maka sebetulnya fitrah itu tidak bisa berubah. Akan tetapi karena unsur akal dan iradah yang keliru didalam memilih dan mengambil keputusan, maka manusia terjauh dari fitrahnya dan menyimpang jauh dari aqidah yang benar.
Manusia sebagai mahkluk sosial tidak bisa terlepas dari kehidupan sehari-hari. Ia berada ditenga-tengah realitas sosial, yang sewaktu-waktu dapat menyeret dirinya menyimpang dari fitrahnya. Karenanya, ia dituntut untuk mampu beradaptasi, namun tidak boleh lebur sehingga terasing dari fitrahnya. Meski ia hidup ditengah-tengah aneka ragam paham dan perilakunya, idiologi dan agamanya, manusia dituntut juga mampu hidup rukun dengan penuh kedamaian, tanpa mengorbankan fitrah dan aqidahnya.       
            Oleh karenanya, dalam rangka memelihara dan mengembalikan fitrah, yang telah kita upayakan memalui ibadah Ramadhan, ada baiknya selalu kita sandarkan harapan itu kepada Allah SWT. “Ya Allah, tolonglah kami  (menjadi hamba) yang senantiasa selalu mengingat-Mu, dan tolonglah kami (menjadi hamba) yang senantiasa bersyukur kepada-Mu, dan tolonglah kami untuk memperbaiki ibadah kami kepada-Mu”. Dari itulah, yakin sandaran kita akan kuat dan tak mudah tergoyahkan. Nilai-nilai Ramadhan akan menyinnari kehidupan kita, dengan senantiasa mengingat Allah (dzikrullah atau zikir, bersykur akan karunia yang telah Allah berikan dan tetap beribadah dimana kita berada dan dalam suasana yang bagaimanapun. Walahu a’lam.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar