Kamis, 03 Agustus 2017

KHUTBAH JUM’AT : MEWASPADAI ERA JAHILIYAH MODERN



KHUTBAH JUM’AT
MEWASPADAI ERA JAHILIYAH MODERN
Oleh : Drs. Anis Purwanto

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَسْتَهْدِيْهِ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَهُوَ الْمُهْتَدُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًا مُرْشِدًا. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَي حَبِيْبِنَا وَشَفِيْعِنَا وَمَوْلَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأصَحابهِ اْلأَخْيَارِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
قَالَ تَعَالَي عَزَّ مِنْ قَائِلٍ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. أَمَّا بَعْدُ.
Ma’asyiral Muslimin jamaah jum’ah rokhimakumullah.
Segala puji atas limpahan karunia Allah yang tak pernah habis-habisnya kita rasakan dan nikmati. Sebagai ungkapan rasa syukur kita,  marilah kita perbaiki hubungan kita dengan Allah SWT dengan meningkatkan kualitas iman dan taqwa kepada Allah, menjadikan setiap gerak dan langkah kita mencari keridhoaan Allah semata.  Shalawat dan salam kepada baginda Rasulullah SAW, teladan umat semesta, panutan dalam merealisasikan ketaqwaan dalam kehidupan nyata, dalam bermasyarakat dan bernegara.
Ma’asyiral Muslimin jamaah jum’ah rokhimakumullah.
            Tauhid bukan sekedar mengenal dan mengerti bahwa pencipta alam semesta ini adalah Allah, bukan sekedar mengetahui bukti-bukti rasional tentang kebenaran wujud (keberadaan)Nya dan wahdaniyah (keesaan)Nya dan bukan pula sekedar mengenal Asma’ dan sifatNya.
Tauhid adalah pegangan pokok dan sangat menentukan bagi kehidupan manusia, karena keimanan menjadi landasan bagi setiap amal,. Tauhidlah yang akan menghantarkan manusia kepada kehidupan yang baik dan kebahagiaan yang hakiki di alam akhirat nanti. Dan amal yang tidak dilandasi dengan tauhid akan sia-sia, dan lebih dari itu, amal yang dilandasi dengan syirik akan menyengsarakannya di dunia dan di akhirat. Sebagaimana Allah berfirman yang termaktub didalam Al-Qur’an Surah Az-Zumar ayat 65-66 :
وَلَقَدۡ أُوحِىَ إِلَيۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكَ لَٮِٕنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِينَ (٦٥) بَلِ ٱللَّهَ فَٱعۡبُدۡ وَكُن مِّنَ ٱلشَّـٰكِرِينَ
 “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelum kamu, ‘jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”.
Ma’asyiral Muslimin jamaah jum’ah rokhimakumullah.
Yang menjadi misi kerasulan Muhammad Saw. bukan hanya kerisauannya terhadap ratusan berhala yang tergantung memenuhi pada dinding-dinding ka’bah , akan tetapi telah terjadinya perubahan gaya hidup yang mencolok masyarakat Mekkah pada saat itu. Kemakmuran yang mereka capai dengan menjadikan Mekkah sebagai pusat perdagangan yang ramai selama tahun-tahun terakhir abad ke-6 telah menjadikan mereka kehilangan orientasi dan makna hidup sejati; semangat komunal (kesukuan) dan egalitarianism (persamaaan) yang selama itu menjadi kultur mereka, berganti menjadi pola-pola hidup yang individualistis dan kecenderungan system ekonomi yang kapitalis, mereka lebih mementingkan kepentingan sendiri di atas kepentingan sukunya, menumpuk harta pribadi, tidak peduli lagi dengan nasib kaum yang miskin dan lemah.

Misi risalah tauhid yang digaungkan Nabi Muhammad Saw kemudian bukan hanya untuk menegaskan akan eksistensi Tuhan Esa sebagai realitas tunggal, akan tetapi yang lebih penting dari itu, Nabi Saw datang sebagai pemberi peringatan dan mengingatkan akan nilai-nilai kepercayaan kuno mereka yang sudah mereka tinggalkan.
Kaum Jahiliyah Kuno yang dihadapi Rasulullah juga meyakini bahwa pencipta. Pengatur, Pemelihara dan Penguasa alam semesta ini adalah Allah. Sebagaimana Allah berfirman yang tercantun dalan surat Luqman ayat 25 :
وَلَٮِٕن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضَ لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُ‌ۚ قُلِ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ‌ۚ بَلۡ أَڪۡثَرُهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah.” , katakanlah “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
Mereka percaya kepada Allah Tuhan yang Maha tinggi, yang mengatur alam raya, yang memberi mereka segala macam kebutuhan. Persoalannya adalah mereka tidak menjadikan Allah sebagai pusat kehidupan; dari Allah lah mereka berangkat dan kepada-Nyalah mereka akan dikembalikan. Keridhoan Allah lah yang menjadi barometer segenap tindak tanduk mereka di dunia. Kesadaran semacam ini yang tidak ada pada  mereka. Hingga mereka melampaui batas; kufur nikmat, melakukan berbagai pelanggaran dan penyelewengan, merasa memiliki segalanya, egois dan sombong.
Ma’asyiral Muslimin jamaah jum’ah rokhimakumullah.
Berkaca pada problem sosial masarakat Mekkah di atas, maka apa yang terjadi pada masyarakat kita dewasa ini relatif menemukan kesamaannya. Kemajuan tekhnologi dan berbagai tren globalisasi telah mewarnai kultur masyarakat modern saat ini,  yang semakin menjauhkan kita dari nilai-nilai sejati kehidupan dan orientasi hidup kita yang semakin materialistis. Pola hidup yang hedonis, konsumtif dan pragmatis mewabah bukan hanya pada level masyarakat kelas menengah atas, celakanya menjangkit pula pada level-level masyarakat kelas bawah. Hidup sekarang bagai berpacu dengan nafsu, berburu gengsi, tak peduli mampu atau tidak mampu yang penting bisa mengikuti tren abad ini dan tidak mau dikatakan ketinggalan zaman. Inikah berhala pada abad modern itu? Berbagai barang-barang skunder yang memenuhi isi rumah kita tak ubahnya seperti berhala-berhala yang menggantung pada dinding-dinding ka’bah pada masa Nabi dulu- yang semua itu  menjauhkan kita dari nilai-nilai hidup sejati; kesederhanaan, kebersahajaan, hemat dan kepedulian kita terhadap sesama. Sungguh Allah swt menistakan orang-orang yang memperturutkan dan tunduk terhadap hawa nafsunya sebagaimana firman Allah SWT, yang tercantum di dalam Al-Qur’an Surah Al-Furqon ayat 43-44 :
أَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَـٰهَهُ ۥ هَوَٮٰهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيۡهِ وَڪِيلاً (٤٣) أَمۡ تَحۡسَبُ أَنَّ أَڪۡثَرَهُمۡ يَسۡمَعُونَ أَوۡ يَعۡقِلُونَ‌ۚ إِنۡ هُمۡ إِلَّا كَٱلۡأَنۡعَـٰمِ‌ۖ بَلۡ هُمۡ أَضَلُّ سَبِيلاً (٤٤)
Terangkanlah tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Ilahnya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami.Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu).

Kaum Muslimin Jamaah Jum’at yang berbahagia.
Belum lagi berbagai cara yang dilakukan masyarakat kita dewasa ini yang semakin irasional dan membabi buta untuk mencapai tujuan-tujuan hidupnya; melakukan berbagai jalan pintas, menghalalkan segala cara; Suap menyuap, korupsi, kolusi, manipulasi seakan menjadi trens masa kini.
Kita bukan tidak beriman kepada Allah Tuhan yang Esa, yang yang mengatur dan mengawasi setiap langkah kita, akan tetapi cara kita berTuhan yang perlu kita pertegas kembali. Padahal,  kita akan mudah sekali marah apabila agama kita dihina orang lain, mudah tersinggung dan reaktif apabila madzhab kita dikritik mazdhab lain. Kita mengkritik habis-habisan orang yang tidak sepaham-sealiran dengan kita, kita menganggap aliran kitalah sebagai satu-satunya pewaris sunnah sejati, berbagai legitimasi dan justifikasi kita cari-cari, bahkan atas nama keyakinan kita hakimi mereka dengan cara brutal dan anarki. Tapi apakah ini yang menjadikan ukuran kita beriman? Sementara segala tindakan kita masih diliputi oleh kepentingan dan kecenderungan diri.
Maka misi tauhid Nabi akan kembali menemukan relevansinya untuk terus kita dakwahkan, untuk kita suluhkan. Tauhid yang artinya meng-Esakan Allah harusnya berimplikasi pada totalitas perbuatan kita yang hanya mencari ridha Allah. Ketika syahadat sudah kita ikrarkan, berarti kita siap menjadi saksi-saksi kebenaran sejati ilahi dengan menjadi pelaku-pelaku kebenaran yang diridhai. Merealisasikan kehendak ilahi lewat perilaku kita yang diridhai berarti kita dapat menghadirkan Tuhan dalam kehidupan kita. Sebaliknya, ketika perilaku kita jauh dari apa yang Dia kehendaki, berarti kita mengenyampingkan Tuhan dalam kehidupan kita. Dan apabila ini terjadi, berarti syahadat kita hanya merupakan pengakuan tanpa bukti, seperti halnya pengakuan masyarakat arab tempo dulu, mengakui Allah sebagai pencipta tapi tidak mampu menghadirkan Allah dalam perilaku mereka sehari-hari.
Semoga Allah SWT senantiasa menjadikan kita hamba yang mampu menjadi saksi-saksi kebenaran sejati ilahi,  dengan menjadi pelaku-pelaku kebenaran yang diridhai Allah SWT, amin ya rabbal ‘alamin.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Kedua : Silahkan melengkapi sendiri.  * (Dikutip dari berbagai tulisan)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar