Jumat, 04 Mei 2012

ADOPSI ANAK


ADOPSI ANAK
Ed : Anis Purwanto

                Anak merupakan anugerah terindah yang tidak tergantikan dalam sebuah keluarga. Setiap orang yang berumah tangga sangat menginginkan akan hadirnya seorang anak. Anak dapat memberikan hiburan tersendiri kepada orang tua dikala mereka penat dengan kegiatan sehari-hari. Selain itu anak juga merupakan penerus keturunan dalam keluarga.
                Sayangnya, tidak semua keluarga memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki anak kandung. Banyak hal yang menyebabkan hal ini. Bisa jadi karenan alasan medis, usia, atau karena memang belum “dipercaya” untuk memiliki anak oleh Tuhan.
                Bagi orang yang tidak mempunyai anak, adopsi merupakan jalan yang tepat. Banyak keluarga yang mengadiopsi anak sebagai “pancingan” agar cepat dikaruniai anak kandung. Namun ada yang mengadopsi anak untuk meringankan beban orang tua kandung si anak, terlebih lagi jika orang tua kandung anak tersebut berasal dari keluarga yang tidak mampu. Dalam Islam mengadopsi anak dinamakan tabbani artinya pengangkatan anak atau adopsi.  Rasulullah SAW juga pernah mengadopsi anak yaitu ketika beliau mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anaknya.
                Tabbani secara harfiah artinya seseorang yang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Hal ini untuk memberikan kasih sayang, nafkah, pendidikan dan keperluan lainnya. Maka itu, sangat baik jika mengambil anak orang lain yang kurang mampu (yatim piatu) , hukum anak itu bukanlah anaknya.
                Di Indonesia, peraturan terkait pengangkatan anak terdapat pada UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Demikian pula dalam Kompilasi Hukum Islam juga turut memperhatikan aspek ini, seperti tertuang dalam Pasal 171 huruf h : “Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”. (Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Dep RI, 2001, hal 82).
                Kalangan MUI dalam fatwanya mengingatkan bahwa ketika mengadiopsi anak, jangan sampai si anak putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya. Sebab hal itu sangat bertentangan dengan syariat Islam.  Sebagai pertimbangan, sebagaimana salah satu hasil dari Rakernas MUI yang berlangsung pada bulan Maret 1984  MUI memandang bahwa Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, yaitu anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan).
                Dalam Al-Qur’an disebutkan  bahwa , “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar(*1) itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)” (Al-Ahzab : 4 ).
Juga disebutkan dalam Surat Al-Ahzab ayat 5 : “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu(*2). Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Keterangan :
(*1). Zhihar ialah perkataan seorang suami kepada istrinya : Punggungmu haram bagiku seperti punggung ibumu”.  Atau perkataan lain yang sama maksudnya.adalah menjadi adat kebiasaan bagi orang Arab Jahiliyah bahwa dia berkata demikian  kepada istrinya maka istrinya itu haram baginya untuk selama-lamanya. Tetapi setelah Islam dating, maka yang haram untuk selama-lamanya itu dihapuskan dan istri-istri itu kembali halal dengan membayar kafarat (denda).
(*2). Maula-maula ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seseorang yang telah dijadikan anak angkat, seperti Sali anak angkat Huzaifah,  dipanggil maula Huzaifah.
Dalam Surat Al-Ahzab ayat 40 disebutkan  bahwa :
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Nabi Muahmmad SAW bersabda : “Dan Abu Dzar RA sesungguhnya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda :”Tidak seorangpun mengakui (membangsakan diri) kepada bukan ayah yang sebenarnya, sedang ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur”. (HR Bukhari dan Muslim). Contohnya : Rasulullah SAW tetap mempertahankan nama ayah kandung Zaid, yakni Haritsah, dengan sebutan Zaid bin Haritsah bukan Zaid bin Muhammad. Karena pengangkatan anak tak bisa menjadikan anak itu sederajat dengan anak sendiri di dalam nasab, mahram maupun hak waris.
Menurut Islam, pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya. Namun demikian, terkadang terjadi dimana dalam mengangkat anak orang tua angkat merahasiakan kepada anak mengenai orang tua kandungnya dengan maksud agar anak akan menganggap orang tua kandungnya. Disamping itu bila anak tersebut nantinya menjadi anak yang sukses, misalnya dalam status ekonomi dan sosial (terkenal, kaya, artis dll), orang tua asli akan menuntut agar anaknya kembali kepadanya. Dan ini nantinya akan membawa implikasi hukum (kontra produktif). Karenanya, banyak kasus orang yang mengadopsi anak selalu merahasiakan alamatnya, bahkan ketika serah terima adopsi orang tuanya tidak boleh mengabadikan dengan foto si jabang bayi, dikawatirkan dia mengenang selalu wajah anaknya.
MUI menilai pengangkatan anak adalah merupakan perbuatan terpuji dan dianjurkan oleh agama serta diberi bahala. Nantinya, bagi ayah angkat, boleh mewasiatkan sebagian dari peninggalannya untuk anak angkatnya.  Pasal 12 (1) UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak berbunyi : “Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak”.
PP Nomor 7 Tahun 1977 tentang gaji PNS, memungkinkan PNS untuk mendapatkan tunjangan bagi anak yang diadopsi melalui penetapan pengadilan, mulai praktek adopsi dengan ketetapan pengadilan.
Juga diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 56 :
1.      Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 2.      Dalam hal orang tua tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan undang-undang ini maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Sejalan dengan Konvensi Hak Anak pada pasal 21 (a). Negara akan : Menjamin bahwa adopsi anak hanya disahkan oleh puasa yang berwenang yang menetapkan, sesuai hukum dan prosedur yang berlaku dan berdasarkan dengan semua informasi yang terkait dan terpercaya bahwa adopsi itu diperkenankan mengingat status anak sehubungan dengan keadaan orang tua, keluarga, walinya yang sah dan jika diisyaratkan, orang-orang yang berkepentingan telah memberi persetujuan mereka atas adopsi tersebut atau dasar nasehat yang mungkin diperlukan.
Hal tersebut diatas ternyata juga telah diakomodasikan di dalam RUU Perlindungan Anak pasal 39 :
1.      Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.      Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.
3.      Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.
4.      Pengangkatan anak oleh warga Negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
5.      Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Motivasi pengangkatan anak :
1.      Motivasi mengangkat anak, yang semata-mata berkaitan atau demi masa depan anak tersebut.
2.      Penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut di masa yang akan datang, lebih baik.
Akibat pengangkatan anak dari segi hukum.
            Setiap tindakan pasti akan menimbulkan akibat tertentu. Demikian juga dengan adopsi anak. Ada akibat yang harus diterima oleh anak maupun orang tua kandung dan orang tua angkat. Dari segi hukum, ada dua akibat yang akan berpengaruh pada kehidupan anak dimasa depan.
1.      Perwalian.
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orang tua kandungnya atau saudara sedarahnya.
2.      Waris.
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hokum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.
-          Hukum Adat.
Pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orang tua kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orang tua amgkatnya, dia juga tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya.
-          Hukum Islam
Pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya.
-          Peraturan Perundang-undangan.
Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hokum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut.
Perwalian Dalam Pernikahan.
Sebagai ilustrasi tentang bagaimana kelak si anak hasil adopsi bila sudah dewasa dan melaksanakan pernikahan. Maka yang harus dipikirkan adalah tentang wali nikah, karena prasyarat utama/syahnya nikah harus ada wali. Wali nikah ada dua macam, yakni wali nasab dan wali hakim.  Dalam Kompilasi Hukum Islam, Bagian Ketiga tentang wali Nikah diterangkan dalam beberapa pasal, yakni :
Pasal 19 :                                                                                                                                      Wali nikah dalamperkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkan.
Pasal 20 :
(1)   Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam  yakni muslim, aqil dan baligh.
(2)   Wali nikah terdiri dari :
a.       Wali nasab.
b.      Wali hakim.
 Pasal 21 :
(1)   Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
Pertama , kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua , kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.
(2)   Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3)   Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
(4)   Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tuadan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22 :
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
 Pasal 23 :
(1)   Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
(2)   Dalam hal wali dlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Karenanya, yang bertidak sebagai wali nikah kelak bila si anak hasil adopsi menikah adalah dengan menggunakan wali hakim, apabila wali nasab tidak ada atau tidak  mungkin menghadirkannya atau karena tidak diketahui tempat tinggalnya.
Kesimpulan:
1.      Dalam ajaran Islam tentang adopsi anak, jangan sampai si anak putus hubungan nasab dengan ayah dan ibu kandungnya. “Barang siapa mengaku orang lain sebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa orang tersebut bukan bapaknya, maka surga diharamkan terhadap dirinya”. (Hadits Nabi).
2.      Tidak diragukan lagi bahwa adopsi merupakan perbuatan yang terpuji dan dianjurkan oleh agama serta diberi pahala.
3.      Wali nikah terhadap anak hasil adopsi menggunakan wali hakim KHI pasal 23 ayat 1), karena wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya (gaib).
·         Sumber Bacaan :
-          Diambil dari beberapa tulisan tentang adopsi anak.
-          Al-Qur’an dan Tarjamahannya.
-          KHI di Indonesia, 2001.
-          UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
-          dll

Tidak ada komentar:

Posting Komentar