Jumat, 22 Maret 2013

MEMAKNAI HIDUP DENGAN IMAN DAN TAQWA



MEMAKNAI HIDUP DENGAN IMAN DAN TAQWA
Oleh : Anis Purwanto
                Kita diciptakan didunia ini untuk satu hikmah yang agung dan bukan hanya untuk bersenang-senang dan bermain-main. Tujuan hidup dan hikmah penciptaan manusia  adalah ibadah kepada-Nya tanpa syirik. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rizki Yang Mempunyai Kekuatan lagi sangat Kokoh”, (QS Adz Dzariyat:56-58). Sehingga salah duga bilamana ada anggapan penciptaan itu hanya dilakukan Allah dengan main-main saja, namun diciptakan untuk satu hikmah, “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami ciptakan kamu secara main-main (tanpa ada maksud), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami”. (QS. Al-Mu’minun:115).
            Allah tidak menjadikan manusia hanya untuk makan, minum dan bersenag-senang dengan perhiasan dunia, akan tetapi kita semua diciptakan untuk satu hikmah dan tujuan yang agung dan dibebani perintah dan larangan, kewajiban dan pengharaman, untuk kemudian dibalas dengan pahala atas kebajikan dan disiksa atas keburukan.  Sebab yang kita lakukan didunia ini mengandung konsekwensi dan kelak akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah.
            Demikianlah seorang manusia yang ingin sukses harus dapat bersikap profesional dan proporsional dalam mencapai tujuan hidup tersbut. Sebab tujuan akhir seorang manusia adalah terwujudnya peribadatan kepada Allah SWT dengan iman dan taqwa. Karenanya, seseorang yang dianggap sukses dan paling mulia disisi Allah adalah yang paling taqwa, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Naha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujurat:13). Manusia memang tidak lepas dengan kepentingan duniawi, namun bagi umat Islam pencapaian kesempurnaan ukhrowi adalah segala-galanya. Sehingga keserasian pencapaian keduanya menjadi sangat penting, yakni bahagia di dunia dan di akhirat. Sehingga seseorang yang ingin mendapatkan dunia harus bekerja sekuat tenaga, seakan ia akan hidup selama-lamanya di dunia ini, akan tetapi ia harus beribadah dengan khusuk, mengharap ridla Allah seakan-akan besuk ia akan mati.
Hidup memang penuh perjuangan, halangan dan rintangan siap menghadang. Semakin tinggi tujuan yang akan kita raih semakin berat ujian dan tantangan yang dihadapi. Di dunia tidak ada yang serba “tinggal” enaknya saja, semua butuh perjuangan. Sebab, sebagaimana dapat kita semisalkan hidup manusia di dunia ini bagaikan seorang musafir, mengarungi samodera nan luas, menerjang ombak yang ganas, menuju pantai kebahagiaan, hingga bila ia tidak hati-hati kapalnya akan tenggelam. Karena manusia mempunyai sifat yang sangat lemah, tidak heran apabila kemudian banyak tujuan manusia yang tidak dapat tercapai. Meski menurutnya ia telah berjuang sekuat tenaga, peras keringat banting tulang, panas kepanasan hujan kehujanan. Kita sadar bahwa diatas manusia ada dzat yang menentukan segalanya.
Manusia memang mahkluk yang sangat unik kita rasakan, bagaimana Allah SWT menciptakan manusia dengan diperlengkapi sepasang tangannya. Tangan sebagai alat untuk menyimpan dan menyembunyikan berbagai bahan makanan demi kepuasan di masa depan. Hanya manusia yang memahami hal ini tentunya. Hanya manusia yang mengerti bagaimana cara menabung dan menyelamatkan aset kebutuhan yang akan datang. Hanya manusia yang mempunyai kekawatiran mengenai rizki yang akan datang. Takut kalau tidak kebagian, takut kalau tidak mendapatkan.
Hal ini sungguh berbeda dengan hewan, semisal kambing atau ayam sekalipun. Mereka tidak dipersenjatai tangan. Mereka makan untuk saat itu saja, tidak perlu memikirkan masa depan, apalagi menimbun kebutuhan pangan. Sebanyak apapun padi yang ada di sawah, seekor burung  hanya akan makan seperlunya saja. Burung tidak akan terbang sambil membawa tas kresek guna persediaan hari esok. Dia akan makan dengan paruhnya. Begitu juga dengan kambing, sebanyak apapun rumput yang tersedia di padang nan luas, dia akan makan yang ada dihadapannya saja, meski rumput tetangga lebih hijau. Mereka tidak pernah memikirkan bagaimana caranya membawa pulang rumput untuk anak istrinya. Mereka akan makan seperlunya saja, dengan mulut yang dimilikinya.
Tidak demikian manusia, setelah keperluan perut terpenuhi selanjutnya manusia akan memikirkan bagaimana menjaga gengsi dengan kekayaan yang melimpah. Rumah mewah, kendaraan mengkilat, wanita cantik yang memika, menjadi perhiasan istimewa. Kemudia yang lebih parah dari semua itu adalah bila mana ada yang sampai menggadaikan agama demi harta dan “ta” yang lain tentunya. Agama telah diselewengkan, iman dan taqwa bukan lagi menjadi panduan hidup, akan tetapi agama hanya perhiasan identitas semata. Islam menjadi tredmark tanpa subtansi, karena agama mereka telah bergeser kepada uang. Semboyan mereka “waktu adalah uang”, semua akan dihitung secara untung rugi, “Akan datang kepada manusia suatu waktu yang mana perhatian utama mereka terletak pada kepentingan perutnya, kebanggaan mereka adalah harta-bendanya, qiblatnya adalah para wanitanya dan agama mereka adalah uang-uangnya. Mereka itulah mahkluk yang paling buruk yang tidak ada tempat disisi-Nya”.
                Kita rasa benar apa yang dikatakan Rasulullah SAW itu di masa globalisasi ini seolah tidak ada orang yang tidak mementingkan urusan perutnya menjadi yang utama. Bagaimana pekerjaan hanya menjadi tujuan utama untuk menumpuk harta benda guna menjaga stabilitas urusan perut semata. Kalau perlu kebutuhan itu di penuhi dengan menghalalkan segala cara, koropsi, manipulasi, sogok menyogok. Jika telah demikian keadaannya maka kini umat Islam telah menuju pasa satu titik lemah yang membahayakan. Minimnya kesadaran ber-Islam dan ber-taqwa. Pelaksanaan peribadatan dihitung dengan untung rugi, semua dikalkulasi layaknya ilmu ekonomi. Pada yang demikian ini, seseorang akan jauh lebih ketakutan bila mana kehilangan harta benda, bila dibanding kehilangan agama (iman dan taqwa). Senang hidup berfoya-foya dan sangat takut kemiskinan dan kematian, padahal mereka tahu kematian pasti akan datang. Kegilaan kepada dunia dan mengesampingkan akhirat inilah yang menurunkan kwalitas iman dan taqwa serta menggiring manusia kepada kehancuran Islam.
            Lantas bagaimanakah seharusnya hidup ini ?. Janganlah kita biarkan zaman yang terus bergerak dengan sangat cepat ini menghancurkan sendi-sendi keagamaan. Iman dan taqwa lah yang seharusnya mampu membimbing kehidupan ini menuju kehidupan yang bermartabat, berarti guna bagi orang lain, bahagia di dunia dan di akhirat. Menjadi muslim yang sederhana, berfikir dan bertindak sederhana, serta memaknai hidup dengan iman dan taqwa. Tidak tergiur dengan dunia, semampu tenaga memagari diri dengan menahan hawa nafsu, “Janganlah sekali-kali hidup di dunia ini, memperdayakanmu dan angan pula syaitan memperdayakan kamu dalam mentaati Allah SWT. (QS. Luqman: 33). Hidup hanya dengan berlandaskan iman dan taqwa, yang dapat menyelamatkan diri dan agama Islam dari kerusakan yang selalu mengancam di sekitar kita. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar