PUASA, UPAYA MEMBENTUK UMATAN WAHIDATAN
Oleh : Anis Purwanto
Ibadah
puasa, merupakan salah satu rukun Islam yang lima, mulai diwajibkan oleh Allah
SWT pada tahun ke II hijrah Rasulullah SAW di Madinah Al Munawarah. Bulan suci
Ramadhan dimana umat Islam wajib melaksanakan ibadah puasa merupakan bulan yang
penuh rahmat, magfirah dan keberkahan. Maka sudah sepantasnya apabila
kedatangannya disambut gembira oleh insane yang beriman, untuk berfastabiqul
khoirot dalam rangka membentuk kepribadian yang taqwa. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183,
disebutkan :
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡڪُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن
قَبۡلِڪُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ (١٨٣)
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu
bertaqwa”.
“Agar kamu bertaqwa” di akhir ayat ini merupakan nilai
tertinggi yang hendak dicapai. Kata taqwa mempunyai indikasi makna yang
menyeluruh, yang mencakup seluruh kebaikan serta menghilangkan seluuruh
keburukan. Ibadah puasa sebagai salah satu sarana mencapai tingkat ketaqwaan
seorang mukmin, mampu memberikan semangat kepada jiwa ini untuk membentuk
keyakinan yang teguh terhadap pelaksanaan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Ibadah ini juga memberikan kesempatan kepada setiap mukmin untuk menyadari
hakekat dirinya sebagai mahkluk ciptaan Allah, yang tidak terlepas dari
perbuatan dosa. Maka jika puasa itu dilaksanakan atas dasar iman dan mengharap
pahala dari Allah, niscaya dosa-dosa tersebut diampuni, “Barang siapa berpuasa pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap
pahala Allah, maka diampuni dosanya yang terdahulu”. (Al-Hadits Mutafaqun
“alaihi).
Puasa pada hakekatnya adalah menahan,
bukan saja menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari
segala perbuatan yang dapat merusak nilai puasa. Karena mungkin orang yang
sehatjasmani dan rohani dalam beberapa waktu atau jam tertentu akan mampu
menahan diri dari rasa haus dan lapar. namun untuk menahan diri dari segala
perbuatan yang dapat merusak nilai atau pahala puasa diperlukan niat yang
ihklas karena Allah dan perjuangan yang sangat berat. Hal mana disinyalir oleh Rasulullah bahwa
terdapat banyak orang puasa yang tidak memdapatkan nilai atau pahala kecuali
rasa lapar dan haus, yaitu siapa saja yang tidak meninggalkan perkataan dan
perbuatan buruk. (Al-Hadits Ahmad dan Ibnu Majah).
Maka
dalam pelaksanaan ibadah puasa haruslah dilakukan secara totalitas dalam semua
aspek kehidupan manusia, yakni aspek jasmaniyah dan aspek rohaniyah. Meskipun
ibadah puasa sesungguhnya merupakan ibadah yang bersifat khas. Sehingga ibadah
ini tidak dapat dilihat oleh mata secara lahiri semata, sebab orang yang
berpuasa dapat dipandang sama dengan orang yang tidak puasa (secara lahiri)
atau boleh jadi orang yang tidak berpuasa dapat mengaku berpuasa. Akan tetapi
perbedaan hakiki akan Nampak dalam aspek rohaniyah. Aspek rohani inilah
sesungguhnya yang akan membentuk pribadi taqwa, yang berjiwa besar, disiplin,
sabar, berkemauan dan bertekat kuat serta pandai berkoreksi diri
(instros[eksi). Sehingga dengan ibadah ini manusia diharapkan mampu merefleksi
nilai taqwa dalam diri dan orang lain.
Ummatan Wahidatan.
Ibadah puasa sebagai refleksi imani
merupakan ibadah yang berdimensi dunia dan akhirat. Dalam dimensi dunia, puasa
mampu menumbuhkan rasa kebersamaan (kesetiakawanan social) ataupun persaudaraan
yang tauhidi. Sedang dalam dimensi khiratnya adalah terbentuknya pribadi yang
taqwa, yang amanu wa ‘amilush shalihat. Maka dalam ibadah puasa keduanyta tidak
dapat dipisahkan, antara satu dengan yang lainnya saling melengkapi dan
menyempurnakan.
Nilai
tauhidi dalam persaudaraan Islam merupakan hal yang paling sentral dan
esensial, yakni persaudaraan yang dilandasi oleh satu kesatuan “lailaha
ilallah”. Tauhid merupakan nilai pembebas bagi manusia dari segala system yang
bebas “nilai” (materialism, humanism, atheism dan lain-lain). Yang ini berarti
membebaskan diri dari menyembah sesama
manusia kepada menyembah Allah. Tauhid merupakan landasan untuk
memutlakkan Allah (Esa) sebagai Khaliq (pencipta) dan menafikan selainnya
sebagai yang disembah.
Dengan
tauhid manusia tidak asaja bebas dari belenggu system yang kering dengan nilai,
akan tetapi juga sadar bahwa kedudukannya sama dengan manusia lainnya. Tidak
ada manusia yang merasa superior terhadap manusia lainnya. Setiap muslim adalah
hamba Allah yang bersatatus sama dihadapan Allah. Yang membedakan satu dengan
yang lainnya hanyalah tingkat ketaqwaannya kepada Allah SWT. Sebagaimana
disebutkan di dalam Al-Qur’an Surat Al Hujrat ayat 13:
إِنَّ أَڪۡرَمَكُمۡ عِندَ
ٱللَّهِ أَتۡقَٮٰكُ
“Sesunguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di natara kamu”.
Persaudaraan
sejati tidak mungkin tumbuh dan berkembang dalam lingkaran atau pribadi yang
bermutu rendah. Oleh karenanya persaudaraan yang hakiki adalah persaudaraan
yang dilandasi dengan rasa taqwa kepada Allah, dalam satu kesatuan tauhidi.
Pribadi-pribadi taqwa merupakan unsur pembentuk persaudaraan kekal, “ummatan
wahidatan”. Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 213 :
كَانَ ٱلنَّاسُ أُمَّةً۬
وَٲحِدَةً
“Manusia itu adalah umat yang satu “.
Gabungan
manusia yang bertaqwa ini akan membentuk umat yang berkualitas tterbaik “khaira
ummatan”, sebagai umat yang terbaik, yang mempunyai kesadaran akan tanggung
jawab yang besar, yaitu kewajiban untuk melakukan amar makruf nahi
mungkar. Sebagaimana termaktub di dalam
Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 110 :
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ
أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنڪَرِ
وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah”.
Ummatan wahidatan menunjukkan adanya
sekelompok pemeluk dien yang tauhidiyah yang tidak terputus sejak Nabi Adam as
sampai Nabi Muhammad SAW dan khaira ummatin merupakan sekelompok umat yang
berkualitas terbaik yang fungsinya mengajak masyarakat agar hidup dengancara
yang islami (makruf) dan mencegah masyarakat agar tidak menjalankan prilaku
yang merugikan diri sendiri dan orang lain, akibat keingkarannya terhadap Allah
(mungkar). Keduanya memiliki hubungan organik dan fungsional. Tanpa ihtiar realisasi
amar makruf nahi mungkar (dakwah Islam) yang dilakukan oleh orang atau umat
yang berkualitas terbaik (menurut Islam), maka ummatan wahidatan (dalam arti
umat yang satu taqwa) ,aka tidak mungkin khaira ummatan bias menjalankan fungsi
tersebut.
Upaya
realisasi amar makruf nahi mungkar oleh umat Islam (umat yang terbaik) ini
disebut dakwah Islam. Dalam Al-Qur’an
Surat Ali Imran ayat 104, disebutkan :
وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ
أُمَّةٌ۬ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ
ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ (١٠٤)
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar,
merekalah orang-orang yang beruntung”.
Sedang
didalam pelaksanaan dakwah islam harus menggunakan metode yang baik dan efektif
yang disesuaikan dengan keadaan obyek dakwah itu sendiri, harus asah, asih dan
asuh.
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ
رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَـٰدِلۡهُم بِٱلَّتِى هِىَ
أَحۡسَنُۚ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka denga ncara yang baik”.
Dengan menggunakan opla orientasi
dakwah yang metodologik dan antisipatif didalam menghadapi perkembangan dunia,
lebih-lebih dalam masyarakat yang serba modern seperti sekarang ini (era
industrialisasi dan era informasi). Dengan penyusunan atau managemen dakwah
yang matang dan tersusun rapi manurut oeta dakwah.
Karena
itu, maka dakwah Islam menjadi bagian esensial yang tidak dapat dipisahkan
dengan ihtiar mewujudkan ummatan wahidatan yang adil makmur yang diridhoi oleh
Allah SWT. sebab esensi dakwah (tujuan
dakwah) itu sendiiri merupakan ihtiar realisasi Islam dalam kehidupan individual
dan tata social yang adil agar memperoleh ridho Allah. Maka puasa dalam hal ini
mempunyai peranan yang besar didalam membentuk umat yang terbaik, sebagai
pribadi yang bertaqwa, yang mampu beramar makruf nahi mungkar sebagai upaya
membentuk ummatan wahidatan. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar