PUASA RAMADHAN
Oleh : Anis Purwanto
Tidak terasa, puasa Ramadhan telah
datang. Alhamdulillah wasyukurillah, setahun yang lalu kita berpuasa Ramadhan, kini
momentum untuk memperbanyak amal shaleh itu betul-betul kita jalani. Kita rela berlapar-lapar,
menahan dahaga dan mengekang hawa nafsu, demi tercapainya tujuan akhir, yakni derajat
taqwa, “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertaqwa”. Agar kamu bertaqwa dalam akhir ayat ini merupakan
nilai tertinggi yang akan ditempuh bagi orang-orang yang berpuasa. Sebab taqwa mencakup
semua kebaikan serta menghilangkan seluruh keburukan, yakni melaksanakan semua
yang diperintahkan oleh Allah SWT dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. Meski
ibadah yang terasa berat ini, diakui oleh Allah sebagai amal milik-Nya, “Semua amal anak Adam itu kepunyaanya,
kecuali puasa. Karena puasa itu milik Aku, Aku sendiri yang akan memberi
pahala. Sebab puasa itu merupakan benteng bagi orang yang berpuasa dari
kejahatan”.
Ibadah puasa sebagai sarana untuk
mencapai derajat taqwa, mampu membentuk
jiwa yang mempunyai keyakinan teguh terhadap pelaksanaan ajaran-ajara Allah dan
Rasul-Nya. Ibadah ini juga memberikan kesempatan kepada setiap mukmin untuk
menyadari hakekat dirinya sebagai hamba Allah, yang tidak terlepas dari
perbuatan dosa. Maka jika puasa itu dilaksanakan dengan penuh imman dan
mengharap ridlo Allah akan diampuni semua dosanya, “Barang siapa berpuasa pada bulan
Ramadhan karena iman dan mengharap pahala Allah, maka diampuni dosanya yang
terdahulu”. (Al-Hadits Mutafaqun “alaihi).
Puasa pada hakekatnya adalah menahan
diri, tidak saja menahan dari rasa lapar, haus dan lain-lain yang dapat
mengakibatkan batal puasanya, tetapi juga menahan diri dari segala perbuatan
yang dapat merusak pahala puasa. Oleh karena itu puasa diperlukan niat yang
kuat dan dengan perjuangan yang sangat berat, dengan mengharap ridlo Allah SWT.
Hal mana disinyalir oleh Rasulullah SAW bahwa banyak orang yang berpuasa yang
tidak mendapatkan apa-apa, kecuali hanya mendapat rasa lapar dan haus, yakni
bagi orang yang tidak dapat meninggalkan perkataan dan perbuatan buruk.
(Al-Hadits Ahmad dan Ibnu Majah).
Orang yang beriman yang berhasil
mencapai tingkatan taqwa dengan puasanya, akan mampu mengendalikan diri secara
sempurna. Bukan hanya dosa-dosanya yang telah lalu dapat terampuni, akan tetapi
ia mampu menatap masa depan dengan penuh optimis, karena telah mendapat
gemblengan di “kawah candra dimuka” puasa Ramadhan sebulan penuh. Sehingga ia
tidak mudah terjerembab pada laku mungkar yang merugikan diri dan orang lain,
sebaliknya ia mampu merealisasikan predikat taqwa itu dalam amal shaleh.
Oleh karena itu Allah mewajibkan
puasa sebetulnya untuk kemaslahatan diri kita sendiri. sehingga puasa tidak
berarti pengekangan terhadap kebebasan seseorang, akan tetapi sebetulnya malah dapat dijadikan pendorong
untuk mencapai kebebasan jiwa. Sebab
jiwa yang bersih dan suci mampu menggapai martabat mulia sebagai hamba Allah
SWT dan pengabdian yang tulus karena mengharap ridha Allah SWT. Sebagai contoh,
orang-orang sufi yang telah mempunyai kebebasan dan kemerdekaan jiwa
seluas-luasnya, sebab dalam hidup dan kehidupannya telah terlepas dari nafsu
duniawiyah yang dapat mengekang jiwanya. Sehingga puasa Ramadhan akan mampu
memberikan makna terhadap kebebasan jiwa, untuk ihklas beribadah dengan rasa
iman. Puasa semestinya kita lakukan tdak hanya atas dasar kewajiban, akan
tetapi atas dasar kesadaran yang tinggi.
Puasa Ramadhan juga melatih diri
dapat mengendalikan hawa nafsu, tidak hanya terhadap perkara yang diharankan
tetapi mampu mengekang keinginan meski halal baginya. Romadhan, yang diwaktu
siang dilaksanakan dengan penghayatan menahan hawa nafsu, tidak makan, minum dan
lain-lain mulai dari fajar hingga terbenam matahari, tetapi puasa juga di isi
dengan amalan-amalan sunah lainnya, seperti salat taraweh, tadarus Al-Qur’an,
I’tifah serta amalan yang lainnya. Dengan pengamalan keagamaan yang demikian
itu, jiwa kita menjadi tenang penuh dengan ketundukan kepada Dzat yang
menguasai jagat raya ini. Ketundukan yang tanpa pamrih inilah yang membawa kita
kepada derajat taqwa yang semakin kokoh. Demikian juga, jiwa social kepada kaum
dlu’afa’, kaum fuqara’ dan masakin semakin besar. Karenanya, puasa
Ramadhan tidak hanya berpengaruh kepada pembinaan jiwa, tetapi di sisi lain
puasa juga membawa dampak terhadap kesehatan jasmani.
Bulan Ramadhan adalah bulan yang
dimulyakan oleh Allah SWT, sebab didalam bulan itu Allah SWT berkenan
menurunkan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan kehidupan umat manusia, yang
juga merupakan penawar jiwa yang sakit, jiwa yang kotor dari bermacam-macam
penyakit hati, “Dan Kami turunkan dari
Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman
dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain
kerugian”. (QS. Al Israa’ : 82). Sebab, Al-Qur’an diturunkan merupakan
hidayah untuk manusia, untuk dipedomani dan dilaksanakan dalam kehidupan
sehari-hari. Akan tetapi apabila Al-Qur’an ditinggal, menyimpang dari tata
aturan Al-Qur’an maka akan membawa akibat yang sangat fatal di hari akhir nanti,”Dan barang siapa berpaling dari
peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan
menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”.(QS. Thaha:124).
Karenanya, menyadari akan hakekat
ibadah puasa, maka keistimewaan, keutamaan bulan Ramadhan serta semua
amalan-amalannya, merupakan rangkaian yang tak terpisahkan sebagai bukti bahwa
Islam merupakan rahmatan lil ‘alamin. Agama
yang penuh dengan rahmat dan kasih sayang Allah SWT, yang diperuntukkan bagi
orang-orang yang dikehendaki. Dan apabila puasa merupakan bagian dari rangkaian
ibadah dalam agama Islam yang bersifat sempurna , maka puasa dapat dipergunakan
juga sebagai sarana membangun diri, kearah yang lebih baik dalam segala bidang.
Itulah keistimewaan umat Islam, dimana kita setiap tahun oleh Allah diberi
sarana untuk memperbaiki taqwa, memperbaiki ahklaqul
karimah. Karena dengan kaidah akhlaqul karimah memberikan rambu-rambu dalam
‘prilaku’ umat manusia didalam hubungannya dengan sang
Kholik (hablum minallah)dan
hubungannya dengan sesama (hablum
minannas). Sehingga apapun yang terjadi dikala kita melaksanakan ibadah
siyam adalah merupakan syahid, karena puasa merupakan peperangan jiwa,
peperangan melawan hawa nafsu.”Kita baru
saja pulang dari peperangan kecil, menuju peperangan besar, yakni perang
melawan hawa nafsu”.
Puasa memberikan kesempatan yang
sangat luas kepada umat Islam untuk mengembangkan potensi diri, kearah
perbaikan. Mengedepankan ukhuwah Islamiyah. Sebab kita umat Islam ini tinggal
menunggu pengorganisasian potensi itu secara kaffah, sudah waktunya
perselisihan kita tinggalkan. Bukankah kita ini satu ?. Satu dalam ikatan
persaudaraan yang tauhidi. Nilai tauhidi dalam persaudaraan Islam merupakan hal
yang paling sentral dan esensial, yakni persaudaraan yang dilandasi oleh satu
kesatuan “la ilaha ilallah muhammadan
rasulullah”. Kita sadar bahwa
kedudukannya sama dengan manusia lainnya. Tidak ada manusia yang merasa
superior terhadap manusia lainnya. Setiap muslim adalah hamba Allah yang
bersatatus sama dihadapan Allah. Yang membedakan satu dengan yang lainnya
hanyalah tingkat ketaqwaannya kepada Allah SWT. “Sesunguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertaqwa di natara kamu”.(QS. Al Hujrat :13).
Jadi sebetulnya tidak ada alasan
hanya dengan gara-gara berbeda dalam mengawali pelaksanaan ibadah puasa, kita
saling menyalahkan. Biarkan perbedaan ini berjalan dengan baik, bukankah
perbedaan merupakan rahmat Allah SWT.
kita berjalan beriringan dalam perbedaan, kearah kebersamaan. Silakan
masing-masing kita melaksanakan menurut keyakinannya. Sebab kita sesungguhnya adalah
sama , seiman dan se taqwa kepada Allah SWT. Oleh karenanya persaudaraan yang
hakiki adalah persaudaraan yang dilandasi dengan rasa taqwa kepada Allah, dalam
satu kesatuan tauhidi. Pribadi-pribadi taqwa merupakan unsur pembentuk
persaudaraan kekal, “ummatan wahidatan”.
Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 213 : “Manusia itu adalah umat yang satu “. Wllahu
a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar