IMPLEMENTASI
AQIDAH DALAM SIFAT NABI MUHAMMAD SAW
Oleh : Anis
Purwanto
Islam
adalah agama fitrah. Karenanya aqidah Islam tentu sangat serasi dengan nilai
dasar dalam diri manusia. Sehingga mestinya mudah dicerna dan diserap serta
dibenarkan oleh setiap manusia. Kedudukan aqidah dalam agama Islam adalah sama
dengan kedudukan rukun iman yang enam dalam agama. Dan memang aqidah merupakan
isi yang dituangkan dalam rukun iman itu. Jadi aqidah itu adalah pokok pangkal
dan pondasi agama.
Sedang
aqidah yang paling tinggi kedudukannya adalah “laa ilaaha illallah”. Tidak ada
Tuhan yang wajib disembah selain Allah. Dan kemudian disambung pengakuan kepada
Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul Allah, “Muhammad itu utusan Allah”. Mengingkari
aqidah ini secara sadar dan sengaja berarti kufur yang mengakibatkan ditolaknya
amal shaleh oleh Allah :
وَمَن يَكۡفُرۡ
بِٱلۡإِيمَـٰنِ فَقَدۡ حَبِطَ عَمَلُهُ ۥ وَهُوَ فِى ٱلۡأَخِرَةِ مِنَ
ٱلۡخَـٰسِرِينَ
“Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak
menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalnya dan ia di hari akhirat
termasuk orang-orang merugi. (QS Al Maidah : 5 ).
Karena itu aqidah harus dipegang
teguh dan dipelihara dengan cermat dengan selalu memurnikan dan membersihkan
dari tindakan yang dapat menggelincirkan iman ke jurang kekufuran.
Sebagai
manusia yang fitri Nabi Muhammad SAW adalah suri tauladan yang paling utama,
yang kalbunya bersih. Sehingga beliau sangat mudah menyerap dan menerapkan
hikmah dan aqidah didalam seluruh perjuangan menyebarkan agama Islam. Serta
diimplementasikan didalam seluruh hidup dan kehidupan, baik diri pribadi,
keluarga dan masyarakatnya. Kita bisa lihat peristiwa agung yang pernah dialami oleh
Nabi Muhammad SAW dalam Isro’ dan Mi’roj.
Jadi
kalbu yang bersih dan bebas dari tekanan sangat diperlukan untuk dapat menerima
aqidah Islamiyah. Jika kalbu seseorang rusak dan berlumuran lumpur (dosa), maka
rusaklah fitrahnya, sehingga menolak hadirnya aqidah agama. Kalbu yang sehat
dan bersih itu dapat diperoleh dan ditemukan dalam sifat-sifat Nabi SAW yang sidiq
(jujur, benar) dan amanah (terpercaya, tanggung jawab). Bahkan sejak remaja
beliau sangat terkenal dikalangan kaumnya sebagai orang yang sangat jujur dan
terpercaya. Sehingga beliau diberi gelar Al-Amin. Gelar al-amin. sifat sidiq
dan amanah itu memang merupakan inti terciptanya ahklakul karimah, budi pekerti
yang luhur, “ Aku diutus untuk menyempurnakan ahklak yang mulia, Dan sungguh
kamu (Muhammad) benar-benar berada diatas ahklak yang agung”.
Didalam
menghadapi kaumnya yang jahiliyah itu Nabi Muhammad SAW mendahulukan proses
taskiyah (penyucian diri), dengan jalan mengajak mereka meninggalkan syirik dan
kemaksiyatan, terutama dosa besar yang dapat mematikan kalbu dan merusak fitrah
manusia. Setelah itu barulah pembinaan aqidah yang dimantapkan dan
disempurnakan. Untuk sukses tugas penyempurnaan aqidah ini Nabi Muhammad SAW
harus berjuang dengan keras, tidak pernah kalah, lelah dan pantang menyerah.
Walaupun mendapat hambatan yang bertubi-tubi dari kaum kafir Qurais. Bahkan sampai
kepada keselamatan jiwa beliau yang setiap saat mendapat ancaman dari fihak
lawan-lawannya. Namun dengan niat yang tetap tanpa pamrih dan tanpa mengharap
balasan dari orang lain, dengan sabarnya beliau tetap berdo’a kepada Allah SWT
agar kaumnya itu diber hidayah dan taufik oleh-Nya. Diisinilah justru letak
kekuatan sifat Nabi yang diwujudkan dalam tabligh dan fatonah (pandai,
bijaksana). Meskipun dalam tahun pertama kerasulannya, Nabi Muhammad SAW
dibimbing oleh Allah SWT, agar memiliki dan menunaikan sifat sifat dan
kepribadian dalam aqidah :
يَـٰٓأَيُّہَا
ٱلۡمُدَّثِّرُ (١) قُمۡ فَأَنذِرۡ (٢) وَرَبَّكَ فَكَبِّرۡ (٣) وَثِيَابَكَ
فَطَهِّرۡ (٤) وَٱلرُّجۡزَ فَٱهۡجُرۡ (٥) وَلَا تَمۡنُن تَسۡتَكۡثِرُ (٦)
وَلِرَبِّكَ فَٱصۡبِرۡ (٧)
“Hai orang-orang yang berselimut, bangulah lalu berilah peringatan. Dan
Tuhanmu agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa
tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh balasan yang
lebih banyak. Dan untuk memenuhi perintah Tuhanmu, bersabarlah”, (QS.
Al-Muddatstsir :1-7).
Dalam ayat tersebut diatas dinyatakan
pentingnya perwujudan dari sifat dan kepribadian Nabi Muhammad SAW didalam
bidang aqidah, yaitu selalu mentaati Allah dengan penuh kecintaan, bersih lahir
batin, tanpa mengharap balasan dari orang lain (ihklas karena Allah), dan
bersabar didalam menghadapi hambatan, gangguan dan tantangan dari fihak
manapun.
Selanjutnya
dalam rangka mewujudkan sifat fatonah, Nabi Muhammad SAW senantiasa
mengusahakan agar aqidah Islam itu masuk didalam inti kalbu manusia yang sangat
dalam (hati nurani). Sebab kemampuan pokok rohani manusia, yaitu berfikir
(rasio), merasa dan percaya (iman) sebagai satu kesatuan yang terseimpan dalam
hati nurani. Maka agar dakwah Islam dapat lebih berhasil hendaknya agama Islam
itu disampaikan dengan metode pendekatan yang dapat menggugah rasio, yang dapat
menyentuh rasa dan sekaligus dapat menanamkan iman. Dan pada kenyataannya
memang Nabi Muhammad SAW dikaruniai oleh Allah SWT kemampuan yang cukup. Disamping
kitab suci Al-Qur’an yang merupakan mukjizat Nabi yang sangat mengagumkan dan
tak dapat ditandingi dalam menghidupkan hati nurani dan kalbu pada pendengarnya
(kaumnya). Kemampuan yang dianugerahkan Allah kepada Nabi SAW adalah ketajaman
akal (fatonah) dan perkataan yang tepat dan faseh menyentuh kalbu (tablegh).
Disinilah kunci pokok keberhasilan dakwah Nabi, yang menyebarkan dan
membuktikan bahwa Islam benar-benar merupakan rohmatan lil ‘alamin, menyebar
keseluruh pelosok dunia, termasuk sampai kepada kita ………. Alhamdulillah. Wallahu a’lam.
(Bacaan pokok : Sahirul
Alim, Ir. RHA, MSC, “Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dalam Bidang Aqidah”, Yogyakarta, 1982).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar