MENJAGA
MELEMAHNYA HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALLAH SWT
Oleh : Anis Purwanto
Disaat tulisan
ini saya tulis, kita umat Islam sedang menantikan datangnya bulan Ramadhan,
bulan penuh ampunan Allah SWT, yakni bulan dimana kita ihklas berlapar-lapar
dan dahaga, serta berupaya sekuat kemampuan kita untuk mempertahankan ibadah
puasa kita dari semua godaan , yang berakibat hilangnya pahala puasa kita.
Sebetulnya, secara lahiriyah kita mampu menahan lapar dan dahaga satu hari, dua
hari atau bahkan lebih, akan tetapi yang lebih berat bagi kita adalah bagaimana
mempertahankan dan menjaga pahala puasa . Bahkan Rasulullah sendiri pernah
mensinyalir bahwa bahwa banyak orang yang puasa, tetepi hanya memperoleh lapar
dan haus, artinya dia tidak mendapat faedah dari puasanya.
Inilah sebetulnya salah satu refleksi dari ibadah
puasa kita, dimana kita menjalankan puasa sejatinya untuk mencapai tujuan utama
agar kita lebih bertaqwa kepada Allah SWT.
Dengan kualitas ketaqwaan yang baik, hubungan timbal balik dengan Allah
SWT akan tersambung secara kontinyu. Akan tetapi pada dataran kenyataan
hubungan kita dengan Allah bisa saja meredup dan melemah , loyo tak bertenaga.
Apalagi dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, banyak sekali fasilitas
dan sarana kehidupan yang serba tersedia dimana-mana. Mulai kebutuhan pokok
sampai barang-barang yang bersifat konsumtim lainnya. Semua perlengkapan itu
ada dan mudah didapat, tergantung seberapa kemampuan daya jangkau kita, yang
pasti kita hidup di tengah kemanjaan pasar. Bahkan dalam kondisi dan situasi
seperti disaat akhir bulan puasa sekarang ini, perhatian kita tertuju kepada
persiapan lahiriyah, untuk menyongsong datangnya saat lebaran.
Nafsu
manusia setiap harinya terus menerus di “gugah” agar mau menuruti keinginan
hawa nafsu, dan yang lebih celaka lagi
kita terkadang tak kuasa menolak keinginan-keinginan itu. Karena kuatnya dorongan
hati nurani yang sudah terjerat sifat-sifat yang kurang terpuji, seperti
mencari popularitas sesaat lewat bertumpuknya fasilitas kehidupan. Malah
manusia bisa stres ditengah-tengah gejolak jiwanya, untuk memilih sikap antara
ya atau tidak, menerima atau menolak. Sehingga jiwanya menjadi pecah, tak
mempunyai pendirian yang tangguh, gampang terkena bujuk rayu, jiwanya
ringkih gampang gelisah. Manusia secara individu dalam masyarakat
modern sekarang ini banyak digiring agar mau menuruti keinginan hawa nafsu atau
memenuhi kesenengan duniawiyah dan menjauhkan diri dari upaya untuk mencari
ketengan dan ketentraman yang bersifat
rohaniyah. Ditengah gejolak kehidupan yang semakin kuat daya saing ini ,
manusia banyak yang tidak mempunyai kesiapan dan kemampuan mental yang kuat.
Orientasi kehidupannya, tertuju kepada mengejar kehidupan duniawiyah, tidak mau
menyadari lagi akan adanya waktu yang akan datang, setelah kehidupan ini akan
ada kehidupan lagi yang bersifat abdi, yaitu kehidupan akhirat. Lupa hakekat
kehidupan , yaitu hidup bahagia didinia
dan diakhirat.
Dengan
menyadari rialita kehidupan yang ada, petunjuk
Allah SWT yang termuat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, perlu kita pahami
agar kehidupan kita terbimbing dalam jalan Allah SWT. Kita menyadari bahwa
manusia adalah mahkluk Allah yang diciptakan dalam keadaan yang sempurna. Mampu
membedakan mana yang baik (hak) dan mana buruk (batil). Akan tetapi kita juga
menyadari bahwa manusia senyatanya mempunyai sifat yang sangat lemah, serba
kekurangan dan gampang lupa.
Dalam
kehidupan duniawiyah ini senyatanya kita tidak bisa sedikitpun terpisahkan
dengan kebutuhan yang bersifat kebendaan. Apalagi untuk mencukupi kebutuhan
pokok, termasuk kebutuhan “sandang, pangan , papan” sampai kebutuhan untuk mencukupi
kebutuhan pendidikan anak-anak. Hal ini membutuhkan perjuangan yang berat,
dengan memeras keringan banting tulang”,
panas tak dirasakan hujan tak dihiraukan. Dengan perjuangan yang dirasa sudah maksimal
itupun terkadang masih menemui hambatan
dan kegagalan. Meskipun sejatinya juga banyak orang yang dengan sedikit usaha
mampu mengeruk keuntungan lebih banyak, meskipun harus sikut kiri, sikut kanan,
jilat atas dan injak bawah.
Dalam hal
inilah kiranya Allah memerintahkan kita agar mengerjakan ibadah puasa, agar
kita mampu menahan hawa nafsu, mampu mengalahkan keinginan-keinginan yang
bersifat menuruti ajakan syetan. Rasulullah sendiri telah menegaskan disaat datang dari perang Badar, dikatakan
bahwa kita akan menuju perang yang lebih besar, yakni perang melawan hawa nafsu
(jihadun nafs). Sehingga dengan menyadari hakekat kehidupan yang senyatanya,
kita lantas mempunyai sikap optimis untuk menghadapi kehidupan, sebab mempunyai
sumber kekuatan yang Maha Dahsyat, yakni Allah SWT. Meskipun disaat ini kita ,
bila diukur secara kebendaan kita belum berhasil, dengan perjuangan dan do’a
serta bertawakal kepada Allah SWT, kita berharap disaat yang akan datang upaya
itu akan membuahkan hasil. Paling tidak ucapan do’a yang kita panjatkan itu
merupakan ibadah yang mendapat pahala disisi Allah SWT. Di sisi lain kita juga
diajarkan agar tidak hentinya bersyukur kepada Allah SWT, sekecil apapun
anugerah Allah, pasti mendatangkan faedah yang lebih besar bagi kita. Dan dalam
senyatanya masih banyak orang yang apabila diukur secara lahiriyah, lebih
sengsara dibanding kita saat ini. Syukur
kita panjatkan kepada Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar