Keluarga Tiang Negara
Oleh : Anis Purwanto
Saudara
pendengar Mimbar Agama Islam yang dirahmati oleh Allah SWT, kajian kita dalam
mimbar kali ini adalah keluarga tiang Negara, yang insya Allah kajian kita akan
lebih menfokuskan kepada aspek keluarga sakinah sebagai salah satu sarana untuk
menjaga kelangsungan generasi pengabdi Tuhan. Hal ini sangat penting kita kaji
karena didalam kehidupan modern seperti sekarang ini peranan keluarga sangat
besar. Sebab selain keluarga sebagai bagian dari system bermasyarakat, dalam
Islam keluarga merupakan tempat bagi terciptanya kehidupan yang bahagia bagi
seluruh anggotanya baik di dunia sampai di akhirat nanti.
Oleh
karena itu, sebelumnya marilah dalam kesempatan yang sangat berbahagia ini,
kita panjatkan rasa syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberi rahmat serta
hidayah kepada kita semua, sehingga didalam bulan Ramadhan tahun ini kita dapat
melaksanakan ibadah dengan ihklas, dengan iman dan mengharap ridho Allah
SWT. Shalawat dan salam kita aturkan
kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW.
Saudara
pendengar, keluarga merupakan unit
terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri atau suami istri dengan
anaknya atau ayah dengan anaknya atau ibu dengan anaknya. Keluarga lazimnya
disebut rumah tangga yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai
wadah dalam pergaulan hidup.
Karenanya,
ada yang istimewa setiap 29 Juni, khususnya bagi keluarga-keluarga Indonesia
mendapat atensi khusus dalam rupa Peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas).
Keberadaan Harganas tak lepas dari keinginan untuk memberdayakan keluarga
sebagai tiang negara.
Keluarga,
yang biasa diartikan dengan ibu dan bapak beserta anak atau anak-anaknya;
belakangan diartikan dengan semua dan setiap orang yang ada dalam sebuah
keluarga/rumah tangga (lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tanggga, Pasal 2). Keluarga,
dalam sistem hukum apapun dan di manapun, apalagi dalam perspektif hukum Islam,
dipastikan memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial kemasyarakatan tingkat
manapun. Terutama di tingkat rukun tetangga (RT) yang daripadanya terhimpun
rukun warga, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, dan seterusnya sampai
masyarakat dunia. Tanpa keluarga, yang sejatinya menjadi unit terkecil dalam
sebuah komunitas, mustahil ada, apa yang dikenal dengan sistem sosial itu
sendiri mulai dari sistem sosial yang sangat terbatas atau bahkan dibatasi;
sampai komunitas yang bersekala nasional, regional dan intrenasional.
Sekedar
untuk menunjukan arti penting keluarga, ada ungkapan yang menyatakan bahwa
“Keluarga adalah tiang masyarakat dan sekaligus tiang negara; bahkan juga tiang
agama.” Atas dasar ini, maka mudahlah difahami manakala agama Islam menaruh
perhatian sangat serius terhadap perkara keluarga. Di antara indikatornya,
dalam Al-qur’an dan atau Al-hadits, tidak hanya dijumpai sebutan keluarga
dengan istilah “al-ahl” – jamaknya “al-ahluna,” atau “dzul qurba,” “al-aqarib”
dan lainnya; akan tetapi, juga di dalamnya dijumpai sejumlah ayat dan bahkan
surat Al-qur’an yang mengatur ihwal keluarga dan kekeluargaan.
Di
antara surat yang menyimbolkan arti penting tentang peran keluarga dalam
kehidupan sosial adalah surat ketiga, yakni surat Ali Imran (3) yang terdiri
atas: 200 ayat, 3,460 kata dan 14,525 huruf. Secara umum dan garis besar, surat
Ali Imran memuat perihal: keimanan, hukum, dan kisah di samping lain-lain. Yang
menariknya lagi surat Ali Imran ini diiringi surat An-Nisa (4), yang
mengisyaratkan arti penting bagi kedudukan seorang ibu khususnya dan kaum
wanita pada umumnya dalam hal pembentukan dan pembinaan keluarga ideal yang
disimbolkan dengan Keluarga Imran.
Masih
dalam konteks peduli Al-qur’an terhadap peran keluarga, bisa difahami dari isi
kandungan ayat 6 surat Al-tahrim:
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
Ayat tersebut pada dasarnya mengingatkan semua
kepala keluarga dalam hal ini Bapak dan atau Ibu bahkan para wali, supaya
membangun, membina, memelihara dan atau melindungi semua dan setiap anggota
keluarga yang menjadi tanggungannya dari kemungkinan mara bahaya yang
disimbolkan dengan siksaan api neraka. Sebab, dalam pandangan Islam,
berkeluarga itu tidak hanya untuk sebatas dalam kehidupan duniawi; akan tetapi
juga sampai ke kehidupan akhirat.
Indikator
lain dari peduli Islam terhadap eksistensi dan peran keluarga dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan ialah adanya hukum keluarga Islam yang secara spesifik
mengatur persoalan-persoalan hukum keluarga mulai dari perkawinan, hadhanah
(pengasuhan dan pendidikan anak), sampai kepada hukum kewarisan dan lain-lain
yang lazim dikenal dengan sebutan “al-ahwal al-syakhshiyyah,” “ahkam al-usrah,”
Islamic family law dan lainnya. Hukum Keluarga Islam benar-benar mengatur semua
dan setiap urusan keluarga mulai dari hal-hal yang bersifat filosofis dan
edukatif, sampai hal-hal yang bersifat akhlaqi yang teknis operasional
sekalipun. Itulah sebabnya mengapa Islam memerintahkan pemeluknya agar selalu
saling menyayangi dan bekerjasama antara sesama keluarga.
Ketika
menikah, banyak sekali orang yang mendo'akan, "Semoga menjadi keluarga
sakinah, mawadah, rahmah dan da'wah". Tapi baru setelah menikah, kita
menyadari bahwa perwujudan do'a itu membutuhkan pengorbanan dan perjuangan yang
sangat panjang.
Persoalan
kita dalam rumah tangga berbeda dengan persoalan kita ditengah keluarga. Dalam
keluarga, kita selalu diberi dan diberi.. Tapi dalam berumah tangga, maka kita
yang harus memberi dan memberi.. Ada banyak pesan Rasulullah saw, mengenai
wanita yang sholeh,salah satunya adalah wanita tiang negara. Dan itu benar
adanya.. Bahwa istri sholehah adalah tiang rumah tangga, tiang keluarga, bahkan
tiang negara. Dia yang membuat rumah dalam hati setiap anggota keluarga, rumah
bagi setiap anak-anaknya, bahkan tanpa ada dia, tidak akan ada negara yang kuat
kokoh dan aman..
Masya
Allah.. Rasulullah begitu dalam menjelaskan fungsi dan kedudukan wanita.
Bagaimana mungkin krmudian para wanita mengecilkan fungsi itu. Memang suami
pemimpin rumah, tapi sesungguhnya dengan kekuatan istri yang sholehah, suami
lah yang banyak dipimpin. Dia hanya membuat keputusan, tapi yang menjadi dewan
syuranya adalah istri. Jika istri tidak memiliki sesuatu yang bisa diberi, maka
suami juga tidak akan menghormati dia, tidak akan meminta pendapat padanya,
tidak akan mempercayainya.
Ada
seorang teman memiliki suami pemarah. Masya Allah setiap suaminya marah, dia
sabar dan tetap terus menasehati dengan kata2 dan sifat yang baik. Dia selalu
yakin dia akan bisa menyelesaikan masalah rumah tangganya. Subhanallah.. bahkan
orang tuanya tidak tahu bahwa suaminya begitu pemarah, begitu buruk akhlaknya,
Dia tutup-tutupi di depan mertua dan orang tua. Sampai sekian lama, ada ujian
terhadap mereka, dan sungguh, akhirnya suaminya sangat menghormatinya, selalu
meminta pendapat kepadanya, selalu mempercayainya.. Dia menang dalam menjadi
tiang suaminya, maka dia menang menjadi tiang rumah tangganya..
Maka
dari itu, rumah tangga itu adalah ibadah.. bukan diberi, tapi memberi,
terus-terusan memberi.. maka Allah juga berikan pahala ratusan kali lipat untuk
sholat orang yang sudah menikah, Allah juga berikan pahala untuk semua amalan
ibadah ratusan kali lipat dari orang yang blm menikah. Karena rumah tangga itu
kita harus terus memberi, dan khususnya perempuan, mereka harus menjadi
tiang2.. jangan heran bagaimana seorang anak harus 3 kali lebih menghormati
ibunya drpd bapaknya.. karena menjadi ibu itu tidak mudah, krn menjadi ibu itu
butuh kekuatan yang mungkin 3 kali dari pada menjadi bapak.
Sebagai
wanita harus bangun. suami harus diingatkan, dipimpin, dikuatkan, diluruskan,
diayomi.. Hasil dari rumah tangga itu adalah hasil kerja bertahun2 merajut
semuanya.. kita tidak akan pernah bahagia dalam rumah tangga, kalau kita hanya
ingin merasakan hasil, bukan menikmati perjuangannya..untuk membangunnya, untuk
menegakkannya.. Seperti dakwah yang kita rasakan bahagia, karena kita yakin
pahala dari Allah walaupun mungkin kita belum atau tidak merasakan kejayaan
islam sekarang. Dalam rumah tangga kita terus harus berjuang, dan menikmatinya,
dan bahagia dengan perjuangan itu, bukan terus2an menjadi orang yang tidak
mempunyai fungsi, tidak berdaya, tidak memberi..
Jika
dalam keluarga kita, kita merasa nyaman, maka itu adalah hasil kerja keras
orangtua kita,sehingga sekarang mungkin kita bisa mengerti bagaimana susahnya
agar bisa memberikan hasil yang bisa dinikmati oleh anak2, dinikmati bahkan
oleh tetangga.. yang merasakan hasil kerja keras sebuah rumah tangga.. Sekarang
saatnya kitalah yang harus membangun itu semua..
Semua
masalah rumah tangga itu tidak akan ada artinya ditangan seorang perempuan yang
sholehah.. Dia akan selalu mencari jalan keluar, dan insya Allah dia akan
selalu mendapatkan jalan keluar. karena Allah sendiri yang sudah menjamin, akan
memberikan jalan keluar apalagi dalam masalah rumah tangga.. tapi itu semua
tidak dapat diperoleh, kalau kita sendiri bukan orang yang mau berfungsi
sebagai tiang penegak dalam rumah tangga.. Jangan kan masalah dengan mertua,
masalah yang lebih berat saja insya Allah akan terlalui.
Oleh
karena itu, disilah pentingnya membina keluarga yang sakinah, yaitu keluarga
yang hidupnya damai. Seluruh anggotanya saling menghormati dan saling
mencintai. Suka dan duka dihadapi bersama dengan penuh ketulusan hati. Keluarga
harmonis bukan berarti tidak pernah ada masalah yang muncul didalamnya, sebab
perselisihan dan perbedaan adalah manusiawi. Hanya saja perbedaan itu tidak
sampai meruncing, sehingga menimbulkan pertengkaran, permusuhan atau yang lebih
dari itu.
Dalam keluarga perbedaan pasti
terjadi, baik yang menyangkut kepentingan, sikap dan pikiran. Namun betapapun
telah terjadi perbedaan, hendaknya kita dapat menyelesaikan secara jernih dan
dingin hingga hasilnya bisa melegakan bagi siapapun dan dapat menumbuhkan rasa
kasih sayang. Oleh karena itu maka masing-masing anggota keluarga hendaknya
tahu akan posisi dirinya, demikian juga hak dan kewajibannya. Selain itu
masing-masing anggota keluarga harus saling menghargai menyayangi, sehingga
tercipta suasana yang damai dan harmonis. Dan keluarga sakinah tidak mungkin
tercipta secara kebetulan dan tiba-tiba. Namun harus ada usaha yang maksimal
dari semua anggota keluarga yang mendukung terciptanya suasana yang demikian.
Sedangkan prinsip-prinsip yang harus
diperhatikan untuk membina keluarga sakinah adalah :
Pertama, Bahwa anggota keluarga kita
semua adalah manusia. Entah itu bapak, ibu dan anakatau yang lainnya yang ada
dalam keluarga. Kerena semua anggota keluarga itu manusia, maka hendaknya kita
memanusiakan mereka. Mereka bukan setengah manusia, tapi manusia mahkluk Allah
yang sesungguhnya. Maka masing-masing anggota hendaknya dapat hidup bersama,
saling menghargai dan menghormati.
Kedua,
mereka semua adalah mahkluk hidup yang berrarti memiliki kebutuhan dan
keingina. Untuk itu hendaknya diantara mereka saling memperhatikan kepentingan
yang lainnya. Tidak hanya memperhatikan kepentingannya sendiri dan mengabaikan
kepentingan bapak, ibu dan anak. Maka masing-masing anggota juga hendaknya tak
memaksakan kehendaknya tak memaksakan kepentingannya tanpa menghiraukan kepentingan
anggota lainnya.
Ketiga, semua anggota keluarga hendaknya mempunyai
rasa tanggung jawab. Dalam kehidupan berumah tangga, ada berbagai jenis
tanggung jawab. ada tanggung jawab yang harus dipikul bersama, ada pula yang
harus dipikul perorangan. Semua membutuhkan tanggung jwab dari masing-masing
anggota keluarga. Terutama dari ayah dan ibu, karena mereka itu pokok dari pada
sebuah keluarga.
Keempat,
semua anggota keluarga harus mempunyai rasa kasih saying. Dengan adanya rasa
kasih saying di dalam keluarga, maka akan membawa rasa bahagia diantara mereka.
Sebab dengan rasa kasih saying, mereka akan jauh dari rasa curiga, benci,
dendam dan sebagainya. Rasa kasih saying juga akan menumbuhkan rasa saling
percaya dan saling membantu dengan lainnya.
Kelima, semua anggota keluarga harus
sadar bahwa mereka merupakan ciptaan Allah dengan titah sifatnya masing-masing.
Dengan titah dan sifat yang ditentukan oleh Allah pada setiap masing-masing
itulah justru akan membuat sebuah keluarga yang lengkap. Ada laki-laki, ada
perempuan. Keduanya diciptakan oleh Allah banyak kesamaan dan juga banyak
perbedaan. Untuk masing-masing hendaknya tahu persamaannya dan perbedaannya.
Seringkali kesalah pahaman yang timbul dan berlanjut menjadi gangguan dalam
kehidupan keluarga karena antara mereka lupa akan titah dan sifatnya. Sang
suami lupa kalau istri adalah seorang perempuan yang mempunyai kodrat lebih
lemah dari dirinya. Atau sebaliknya istri lupa kalau suaminya adalah seorang
lelaki yang bersifat keras dalam setiap gerak-geriknya. Mungkin suatu ucapan
atau tingkah laku bagi laki-laki tidak berpengaruh apa-apa, tapi bagi perempuan
menimbulkan sakit hati dan ketersinggungan. Ini juga salah satu contoh sebagai
ciptaan atau mahkluk Allah yang mempunyai kewajiban terhadap khaliqnya yaitu
Allah SWT.
Untuk
itu maka mengingat manusia sebagai titah yang lemah dan tak luput dari salah,
hendaknya dijadikan sebagai pegangan oleh masing-masing anggota keluarga agar
saling mengingatkan pada kebenaran dan amal soleh demi menuju ridha Allah. Dan
inilah puncak dari segala kegiatan manusia di dunia ini, baik yang berupa
ibadah langsung maupun kegiatan sosial.
Jadi
dari beberapa konsep dalam membentuk keluarga yang harmonis, sebagaimana yang
telah kami sampaikan, maka harta dan kekayaan bukan faktor utama dari
keharmonisan keluarga, akan tetapi saling pengertian dari masing-masing anggota
keluarga yang merupakan factor yang paling dominan. Dari perasaan yang sama
inilah pilar keharmonisan tumbuh dan ditegakkan. Tanpa rasa pengertian yang
sama, rasanya sulit keharmonisan itu akan terwujud.
Firman Allah di
dalam Al-Qur’an Surat Ar Rum ayat 21: “Dan
diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia ciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteranm kepadanya, dan
dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan
saying. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir”.
Keluarga sakinah adalah keluarga
yang dibina berdasarkan perkawinan yang syah.
Menurut UU No 1 Tahun 1974 pasal 1 : Perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kata lain keluarga yang terbentuk dari
perkawinan tersebut merupakan keluarga yang bahagia dan sejahtera lahir batin
atau keluarga sakinah. Keluarga yang mampu memenuhi hajat hidup spiritual dan
material yang layak’ mampu menciptakan suasana cinta dan kasih saying (mawaddah
warahmah) selaras, serasi, seimbang serta mampu menanamkan dan melaksanakan
nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, amal saleh dan akhlakul karimah dalam
lingkungan keluarga sesuai dengan ajaran Islam.
Suami istri mempunyai peran yang
harus dipegangnya, lebih-lebih pada zaman sekarang, dimana saat ini tidak akan
dapat lagi mempunyai peran seperti waktu lampau yang istri cukup berhias,
bekerja sebagai ibu rumah tanggaserta melahirkan anak (peranannya hanya
berkisar dikasur, didapur, diusumur). Tetapi istri pada zaman sekarang ini
haruslah meningkat perannya, yang antara lain
:
- Shadieq adalah sebuah peran istri sebagai sahabat yang sangat akrap dalam segala hal. Baik dalam keadaan suka maupun duka. Bukan sahabat bila suami sedang mempunyai uang, lalu kalau sudah bangkrut suami ditendang. Ada uang abang saying bila tidak ada uang abang aku tending.
- Samier, yaitu kawan dalam senda gurau. Bercengkrama, saling menghiburuntuk melepaskan ketegangan dan kepenatan setelah bekerja sepanjang hari.
- Syarieq, yaitu mitra terpercaya dalam hal memgelola keuangan dan ekonomi rumah tangga, karena cukup atau tidak cukupnya biaya hidup keluarga ada di tangan istri.
- Rafieq, pendamping suami menjadi teman tawa dalam suka dan penghibur dikala duka.
Selain
peran tersebut, istri juga bertugas menyiapkan generasi penerus, generasi baru.
Istrilah yang melahirkan, menyusui, membesarkan dan membinanya sehingga
generasi baru tersebut akan menjadi penerus yang dapat diandalkan baik fisik
maupun mentalnya.
Setelah
rumah tangga terbentuk, kegiatan yang sangat penting adalah memelihara dan
membina lembaga perkawinan tersebut, sehingga terciptalah keluarga sejahtera
(keluarga sakinah). Untuk mewujudkan keluarga yang harmonis, Islam member
patokan-patokan sebagai berikut :
1.
Islam meletakkan prinsip bahwa suami istri mempunyai
martabat dan kedudukan yang sama, sebagai manusia hamba Allah SWT.
2.
Islam menginginkan bahwa kehidupan rumah tangga,
hubungan suami istri adalah saling melengkapi dan saling mengisi, saling
mengingatkan bila salah, saling memahami dari kekurangan pihak lain.
3.
Islam menekankan kepada suami istri untuk menciptakan
pergaulan yang baik, member contoh ahklak yang mulia dan kemudian menurunkan
kepada anak-anaknya.
4.
Islam menekankan terciptanya suasana keagamaan dalam
kehidupan rumah tangga.
Allah
swt memberi arahan yang sangat tepat, supaya sebuah keluarga menurunkan
generasi yang lebih tangguh, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An Nisa
ayat 9 :
“Dan hendaknya takut karena Allah,
orang-orang yang meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka kawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu bertaqwalah
kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
Disinilah sebenarnya letak
pentingnya selalu menjaga generasi kita, agar menjadi generasi pengabdi Tuhan
yang sejati dan sejauh mungkin menghindari sesembahan-sesembahan lain termasuk
didalamnya nafsu-nafsu duniawi.
Salah satu cara menjaga kelangsungan generasi pengabdi
Tuhan ini adalah dengan memaksimalkan peran keluarga. Allah secara gamblang menjelaskan
fungsi ini melalui contoh profil keluarga Luqman, dalam firmanNya QS Luqman
ayat 13 : “Dan ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
Hal inilah tampaknya yang seringkali
kita lupakan. Kita lebih suka membekali anak-anak kita dengan ilmu-ilmu tentang
bagaimana meraih kesuksesan material dari pada member bekal mereka dengan
ajaran tentang tauhid dan akhlak. Akibatnya jelas, anak-anak kita piawai
mencari rejeki tapi jadi lupa untuk berbagi, anak kita pandai beranalogi tapi
kadang terperosok lupa diri, anak kita pandai berargumentasi tapi pandai juga
menipu diri, dan anak kita sangat suka materi hingga lupa pada hati nurani.
Gejala munculnya generasi salah asuh
semacam ini mulai terasa kian nyata. Anak-anak menjadi korban kesibukan orang
tuanya mencari materi. Mereka dibiarkan terasuh oleh seperangkat alat
berteknologi tinggi macam internet, handphone, televise, dan media-media
elektronik lain.
Tehnologi adalah serangkaian alat
yang berjalan berdasarkan program-program. Ia tidak peduli siapa yang
menjalankan program dan memberikan perintah-perintah kepadanya. Anak kecilkah,
remajakah, atau mungkin orang dewasa, atau bahkan orang tua ompong peyot.
Sekali lagi ia tidak peduli. Selama benar cara memencet keypad atau keybordnya
maka informasi apapun akan ia munculkan. Padahal ahli teknologi informasi
manapun sepakat bahwa setiap informasi pasti memiliki aturan main tentang siapa
yang layak mengkomsumsinya.
Cost sosial yang harus kita tanggung
atas kesalahan pemanfaatan tehnologi tentu sangat mahal dan berat kita rasakan.
Tentu sudah sangat sulit menghitung tentang berapa banyak korbannya, ada anak
yang nekat mencuri untuk mendapatkan HP, ada anak yang mesti drop out dari
sekolah lantaran hamil setelah mempraktekkan adegan porno yang ditontonnya, ada
yang terpaksa mreman untuk sekedar beli pulsa, dan lahirnya para pengangguran
biaya tinggi yang semakin menambah berat beban Negara, serta akibat-akibat
sosial lainnya.
Ayat yang kami sebutkan diatas,
menjelaskan tentang betapa pentingnya penanaman nilai-nilai ketuhanan pada diri
anak-anak kita. Nilai tersebut terkristal dalam konsepsi taqwa yang oleh para
ulama diberikan pengertian sebagai menjalankan perintah-perintah Allah dan
menjauhi larangan-larangan Allah SWT. Artinya, sejak dini seorang anak harus
mulai dilatih untuk menjalankan perintah-perintah agama dan hal ini juga
sejalan dengan sebuah hadits Rasulullah :
“Perintahkanlah anak-anakmu untuk
melaksanakan shalat saat berumur tujuh tahun dan pukullah mereka (jika tak mau
menjalankan shalat) jika sampai umur sepuluh tahun”. (HR Ahmad, Abu Daud dan
Hakim).
Disamping penanaman nilai-nilai
ketaqwaan sejak dini anak-anak juga harus dilatih untuk jujur dalam
perkataan-perkataan mereka. Salah satu caranya adalah dengan senantiasa
memberikan contoh tauladan dalam keseharian kita. Kiat semacam ini tidak bisa
ditawar-tawar lagi, apalagi dinamika zaman telah membawa anak-anak kita selalu
berlaku kritis dalam menyikapi fenomena sekitarnya. Seringkali ketidakjujuran
dan ketidakmampuan kita memberi suri tauladan yang baik terkadang justru
menjadi momok penyebab ketidakpercayaan anak kepada orang tuanya, sehingga
pendidikan keluarga menjadi tidak efektip. Menurut sebuah penelitian yang
dikutib oleh DR. Zakiah Darojat, perilaku manusia itu 83 % dipengaruhi oleh apa
yang dilihat, 11 % oleh apa yang didengar dan 6 % sisanya oleh berbagai
stimulus campuran. Dalam perspektip ini maka nasehat orang tua hanya memiliki
tingkat efektifitas 11 %, dan hanya contoh teladan orang tua saja yang memiliki
tingkat efektifitas tinggi.
Mengembalikan fungsi-fungsi keluarga
sebagai tiang negara menjadi sebuah keniscayaan bila kita ingin tetap menjaga
kelangsungan generasi zaman ini. Berbagai disfungsi keluarga yang menggejala
dewasa ini telah jelas-jelas merugikan dinamika sosial masyarakat kita. Budaya
pengejaran tak berujung pangkal pada kepentingan duniawi yang terkadang membuat
kita lupa untuk memperhatikan perkembangan psikologis anak-anak kita haus kita
tinggalkan. Islam tentu saja tidak melarang kita untuk berlomba-lomba mencari
setinggi mungkin kesejahteraan hidup, tetapi melupakan pendidikan agama yang
akan menjadi pengawal langgengnya nilai-nilai budi pekerti anak-anak kita tentu
bukanlah hal yang bijaksana. Kita harus menyadari sepenuhnya, bahwa sejauh
apapun kita mengejar dan setinggi apapun kita meraih kebutuhan duniawi kita
semua akan tiada artinya jika anak-anak kita yang merupakan harta paling
berharga kita tiba-tiba kehilangan tabiat kemanusiaannya karena kealpaan kita
mendidiknya.
Kehadiran kita sebagai profil
seorang ibu dan seorang ayah yang mampu menyisihkan waktu untuk keluarga adalah
kebutuhan primer yang sangat mereka perlukan. Peluk cium penuh perhatian dan
kasih sayang akan menyadarkan mereka tentang arti pentingnya hidup, sehingga
anak-anak kita akan terhindar dari sketsa terorganisir pihak-pihak yang
menginginkan mereka terjerumus dalam lembah kesesatan, sebab senyatanya
perseteruan antara haq dan batil terus akan ada selama planet bumi ini masih
ada dan senyatanya juga para pembela kebatilan terus berusaha melahirkan
generasi mereka sehingga jika generasi pembela kebenaran tidak kita munculkan,
maka kehancuran peradaban tidak akan mampu kita hindari.
Akhirnya di bulan Ramadhan penuh
berkah inilah harapan itu kita ketengahkan kembali, semoga peranan keluarga
sebagai pencetak generasi yang taat kepada Allah SWT terwujud. Generasi yang
bertaqwa akan tumbuh didalam keluarga yang mawaddah wa rahmah, yakni keluarga
yang sakinah, sebagai wujud dari cita-cita menjadikan keluarga sebagai tiang
Negara. Demikian kajian kita kali, terima kasih atas segala perhatiannya dan
mohon maaf atas segala kesalahan, billahit taufil wal hidayah, wassalamu
‘alaikum wr. Wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar