HIJRAH HATI
NURANI
Oleh : Anis Purwanto
Sebelum
Rasulullah SAW melakukan hijrah, yang penuh dengan pengalaman, pengorbanan,
penderitaan dan lain-lain, tapi kemudian ternyata menjadi titik awal dari
penyebaran dan kebangkitan Islam. Maka Nabi Muhammad SAW bersama dengan para
sahabat lebih dahulu melakukan sikap dan strategi, yang menurut Prof. Mahmud
Syaktut dalam Min Taujihatil Islam disebut ‘hijratul qolbiyah” (hijrah hati
nurani) yang merupakan pusat pendidikan dan latihan untuk menghadapai jaman dan
tantangan yang lebih berat, yaitu pindah menyingkirkan diri dari tanah air yang
mereka cintai, ke suatu tempat yang masih belum jelas, pada waktu itu menjadi
tumpuan harapan.
Riwayat
menunjukkan bahwa kota Makkah pada saat itu dikuasai oleh rezim Quraisy yang
menegakkan dan mempertahankan system jahiliyah. Mereka penuh kebatilan,
kemusyrikan, fanatisme dan lain-lain. Dan mereka mempunyai posisi dan fasilitas
yang lebih kuat disbanding umat Islam, baik dilihat sudut kualitas maupun kuantitas.
Meski dalam keadaan yang demikian itu kurang lebih 12 tahun, Rasulullah SAW dan
para sahabat dapat bertahan mengembangkan ajaran Islam walaupun dalam keadaan
dan situasi yang sangat rawan, setiap
detik menghadapai bahaya yang mengancam keselamatan jiwa.
Ditengah-tengah
rezim yang dapat saja melakukan kehendaknya, Rasulullah SAW bertahan
menyemaikan bibit kebenaran sampai saat turunnya perintah illahi untuk hijrah
ke negeri yang memberikan harapan. Periode inilah yang kemudian oleh Prof.
Mahmud Syaltut disebut sebagai hijratul qolbiyah (hijrah hati nurani). Dan
selanjutnya dapat dipergunakan sebagai uswatun khasanah (iktibar yang baik)
yang dapat menjiwai seluruh perjuangan kaum muslimin dari segala zaman,
walaupun dalam situasi yang sulit sekalipun, dimana dakwah Islam mendapat
tantangan dan hambatan yang bertubi-tubi.
Namun
Rasulullah SAW dan kaum muslimin yang masuk golongan minoritas ketika itu
sanggup bertahan, tidak hanyut kedalam arus yang melanda. Sebab dalam hijratul
qolbiyah itu umat Islam saat itu telah digembleng dengan ajaran tauhid yang
kuat (militant) sehingga disaat hijratul badaniyah (hijrah fisik) mental mereka
telah tertata baik. Kerena sebelum hijratul badaniyah mereka telah melakukan
hijratul qolbiyah, hijrah dari kemusrykan kepaham tauhid, yang meliputi
keihklasan, tawakal , cinta sesame, mengangkat derajat manusia dari lumpur
jahiliyah yang merusak, yang setiap waktu terjadi pertumpahan darah dan
penindasan terhadap kaum yang lemah.
Hijratul
qolbiyah seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW itu perlu diterapkan oleh
kaum muslimin dalam setiap perjuangan. Apalagi dalam situasi dan kondisi Negara
seperti di Indonesia sekarang ini. Dimana keadaan umat Islam sangat rentan
perpecahan dan permusuhan. Tiap=tiap muslim harus berusaha jangan sampai
terbawa arus yang dapat mengakibatkan perpecahan umat, yang dapat merugikan
perjuangan dan kegiatan dakwah Islam secara keseluruhan. Tetapi sebaliknya
tiap-tiap muslim harus berusaha jangan terbawa arus (hanyut) dengan keadaan
yang merugikan itu, tetapi tetap berjuang menentang keadaan yang dianggap
merusak. Paling tidak jangan sampai telibat atau melibatkan diri dengan sesuatu
yang merugikan diri dan perjuangan. Meski yang demikian itu merupakan uapaya
atau jawaban yang minimal (lemah) yang disebut Rasulullah SAW dengan “adh’aful
iman”.
Bisakah
kita mewujudkan dalam abad 15 hijrah itu merupakan abad kebangkitan umat Islam
? Sudahkah ada tanda-tandabahwa Islam di Negara kita ini mulai bangkit ?. Ataukah justru dengan adanya berbagai konflik
yang berbau “SARA” diberbagai daerah di Indonesia itu menjadikan umat Islam
surut “perjuangannya’?. Memang dakwah Islam kita masih ada dan tetap menggelora
disetiap dada para penggiat keagamaan (da’I, penyuluh agama). Tetapi tantangan
dan hambatan tetap berat dan siap menghadang didepan. Hanya kita yang mempunyai
“biyadihi” kokoh dan ditambah dengan “bilissanihi” yang bil hikmah wa mau’idhotil
khasanah saja yang mampu, selain didasai dengan keihklasan yang berwawasan
fidun ya khasanah wa fil akhiroti khasanah”.
Umat di Indonesia.
Walaupun kita sering berbicara
tentang umat Islam Indonesia. Secara jujur perlu kita akui bahwa istilah ummat
disini belum menunjukkan arti yang sesungguhnya. Terlalu banyak factor yang
menyebabkan kita masih mengalami dis integrasi. Faktor-faktor yang berasal dari
perbedaan kepentingan politik, perbedaan pemahaman agama yang terlalu
dibesar-besarkan, dan umat yang masih harus terus dimantapkan dan
didewasakan. Yang kesemuanya ini
merupakan factor internal. Sedang factor eksternal sering bersifat provokatif
terhadap integrasi umat.
Padahal
bila kita dapat membangun umat yang kuat dan bersatu, maka hampir sama saja
kita membangun bangsa Indonesia yang kuat dan bersatu. Sebagai bagian terbesar
dari bangsa Indonesia, umat yang mengalami kerapuhan dan pecah kedalam pasti
akan mempengaruhi bangsa secara keseluruhan. Oleh karena itu bila kita ingin
membangun umat yang padu dan kuat, secara langsung kita juga membangun
Indonesia yang stabil, padu dan sentausa.
Satu
masalah yang perlu kita perhatikan dan kita atasi adalah gejala makin
merosotnya sensitivitas dan solidaritas umat, kelemahan wawasan dan kelemahan
strategi dan taktik serta melemahnya ukhuwah Islamiyah (bahkan mungkin sekali
kelemahan tauhid), umat Islam seperti gampang diobok-obok dan dimanfaatkan oleh
berbagai kekuatan politik. Sebagai contoh bagaimana getolnya mereka merangkul
umat Islam disaat menghadapi pemilihan umum. Seperti halnya merusak sesuatu
lebih gampang dari membangun, maka proses pengobok-obokan yang terjadi pada umat
Islam karena berbagai kepentingan, akan memerlukan kerja yang luar biasa sulit
untuk memulihkan kembali. Ingatan kita langsung tertuju kepada hadits Nabi
bahwa dikhawatirkan suatu ketika umat Islam akan diperebutkan orang seperti
hidangan diatas meja yang diperebutkan oleh orang yang sedang lapar.
Karena
itu, dari berbagai factor umat, yang penting didalam kaitan tauhid dan
pembangunan umat, kita perlu mempertajam sejarah kita supaya kita tidak
mengulangi kesalahan-kesalahan dimasa lampau. Dengan pemahaman tauhid yang
tumpul dan statis itulah sesungguhnya merupakan sumber awal dekadensi dan
degenerasi umat. Sudahkah kita memberikan yang terbaik untuk umat, sebagai
kontribusi bagi terciptanya integrasi umat. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar