CORAK MASYARAKAT DAKWAH
Oleh : Anis Purwanto
Berbicara dakwah berarti berbicara
juga tentang obyek dakwah dengan segala permasalahan dan coraknya. Bahkan dalam
era keterbukaan ini permasalahan yang dihadapi masyarakat dakwah kita semakin
berat dan semakin komplek. Malah semakin beratnya, untuk pemenuhan hajat hidup
saja sangat sulit. Apalagi bagi
masyarakat yang berpendapatan pas-pasan.
Sesungguhnya masyarakat kita sudah
bias hidup dalam alam industry, kendatipun masih ada pola-pola tradisional yang
kuat dan mengakar di lingkungan masyarakat pedesaan, namun nuansa industry
sudah merambah di seluruh pelosok Negara, dengan segala masalah dan corak.
Dengan nuansa yang demikian itu, maka
sesungguhnya masyarakat kita telah meninggalkan pola masyarakat tradisional
menuju masyarakat modern dan industrial. Dalam era ini paling tidakkita
menemukan ada tiga corak masyarakat, yang menjadi garapan misi dakwah islam
secara menyeluruh. Pertama, masyarakat yang bercorak materialis sekularis, yaitu
suatu pandangan hidup masyarakat yang segala sesuatu berdasarkan rasio dalam
setiap penyelesaian masalah. Memang kecenderungan ini nampak dalam kalangan
masyarakat kelas menengah ke atas, dimana nilai-nilai gotong royong telah
ditinggalkan, semuanya dinilai dengan uang. Dengan uang kita akan mudah berbuat
apa saja, menurut kehendak dan keinginan. Sehingga kita sering mendengar slogan
‘ waktu adalah uang’, ‘ada uang ada barang’, bahkan ada uang kita akan senang.
Banyak sekali kita memergoki gejala yang semacam ini dalam masyarakat kita
terutama di dalam memecahkan semua permasalahan.
Begitulah contoh corak kemasyarakatan
kita pada saat ini, yang secara kasat mata telah menggejala disetiap relung
kehidupan. Contoh ini pada teori kebijakan pembangunan yang dicetuskan oleh
para ilmuwan penentu kebijakan, memang mengakar dari Negara barat yang
mendambakan dan mementingkan rasio. Mestinya bila kita semua menginginkan
adanya kemakmuran yang adil dan adil yang makmur, konsepsi agama Islam yang
semestinya dikedepankan dalam menjawab setiap persoalan, yang ternyata justru
dikesampingkan dan tidak mendapat tempat untuk dijadikan sebagai dasar pijak
dalam memecahkan masalah.
Ini semua tantangan yang dihadapi
oleh para pengelola dan pelaku dakwah Islam. Dakwah harus mampu mengembalikan
citra Islam sebagai agama pembawa rahmah Allah. Agama yang paripurna dan agama
yang mengedepankan adanya keseimbangan antara duniawi dan uhkrawi, meskipun
uhkrawi lebih utama.
Kedua, krisis rohani. Di kota-kota
besar dan bahkan disesa terpelosok sekalipun, sekarang ini masyarakat mengalami
keresahan rohani yang luar biasa. Hidup masyarakat mengalami keresahan rohani
yang luar biasa. Hidup masyarakat dikejar dengan ketidak menentuan dan
seakan-akan setiap saat dikejar oleh bermacam-macam ancaman. Sehingga ada yang
menempuh jalan alternative sehingga konpensasi terhadap ketidak mampuan
menghadapi beban hidup yang semakin berat. Misalnya dengan ‘ngepil’ narkoba,
ganja, dan semacam obat terlarang lainya. Minum-minum yang memabukkan menjadi
minuman yang ‘ngetrend’. Bahkan mabuk sampai ‘nyungset’ menjadi bangga dan
dikatakan jantan dan ‘jegek’. Kasus bunuh diri, perkosaan, perjudian, dan
perampokan semakin meraja lela. Di desa dan lebih-lebih di kota besar
pengamalan keagamaan kian hari kian
menurun. Kemudian kasus pindah agama dari Islam ke agama lain semakin Nampak,
akibat semakin gencarnya upaya missionarissasi di Indonesia. Bahkan kerusuhan
yang berkedok agama sering terjadi belum mendapat penyelesaian yang tuntas.
Contoh-contoh ini tiada lain bahwa masyarakat yang berada dalam alam kebebasan
cenderung mengalami keresahan rohani yang komplek. Maka tiada lain solusinya
yang sangat jitu adalah kembali kepada dasar semula, yakni Al-Qur’an dan As
Sunah.
Ketiga, alienasi dan melonggarnya ikatan social
masyarakat. Masyarakat antara yang satu dengan yang lain tidak ada hubungan
kebersamaan, toleransi dan tenggang rasa, akan tetapi hubungan mereka hanya
bersifat ‘mekanisme impersonal’, yaitu hubungan yang didasarkan pada aspek
kebutuhan semata. Di dalam masyarakat pedesaan yang masih subur pola
tradisionalnya, memang masih ada kita lihat sikap gotong royong diantara
sesama. Akan tetapi didalam masyarakat perkotaan, apalagi di kota-kota besar
yang bernuansa industrialnya sangat tinggi, sifat gotong royong telah hilang.
Didalam ajaran Islam, misalnya, ada suatu ketentuan bahwa tidak beriman
seseorang jika membiarkan tetangganya tidak mempunyai makanan. Bahkan sifat
kesetiakawanan dalam Islam dipupuk dengan subur, lewat motivasi-motivasi pahala
yang sangat tinggi, sebagaimana diajarkan bila kita memberi makan atau berbuka
bagi orang yang berpuasa maka pahalanya sama dengan pahala orang yang
mengerjakan puasa. Ini semua artinya bahwa Islam dengan program dakwahnya
berkeinginan untuk tetap menempatkan eksistensi manusia dalam tempat yang
sangat terhormat, ‘memanusiakan manusia’ baik dihadapan Allah sebagai mahkluk
social yang diciptakan oleh Allah untuk mengeluarkan manusia dari keterpurukan
social. (QS Ali Imran:10).
Dalam masyarakat modern yang ikatan
sosialnya yang semakin memudar , kita tidak melihat siapa diantara yang
mengalami kesusahan dan minta pertolongan, lu-lu, gue-gue, bahkan tidak
mengenal dan tidak tahu siapa tetangga kita, siapa mengalami kesusahan dan
perlu dibantu, kita tidak tahu apakah tetangga sebelah makan atau tidak.
Tetangga mengalami kesusahan, ‘sripah’ pun tidak tahu. Pokoknya dapat dikatakan
pada taraf ini masyarakat hidup serba didasarkan atas kepentingan pribadi dan
mengabaikan kepentingan umum.
Dengan ketiga corak masyarakat dakwah
kita yang demikian itu, dakwah Islam betul-betul dihadapkan kepada tugas yang
sangat luar biasa beratnya. Dan tolok ukur keberhasilan dakwah adalah adanya
bekasan nyata didalam masyarakat. Masyarakat lebih tinggi kesadaran
keagamaannya, sosialnya dan ahklakul karimahnya. Oleh karena itu dakwah harus
mau menampilkanprofil pelaksana dakwah yang mempunyai integritas tinggi
terhadap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat obyek dakwah. Sanggup
menghadapi berbagai kendala dan memberikan jawaban tuntas dalam setiap
permasalahan yang terjadi dalam masyarakat dakwah. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar