AL-QUR’AN
DAN AS-SUNNAH LANDASAN MENCAPAI TUJUAN DAKWAH ISLAM
Oleh : Anis
Purwanto
Dakwah
Islam di Indonesia meskipun sudah berlangsung berabad-abad, namun masih terus
dihadapkan pada berbagai tantangan dan permasalahan. Hal ini, akan terus ada
sepanjang sejarah kemanusiaan masih berlangsung. Baik yang bersifat eksternal
dakwah, misalnya berupa upaya pendangkalan aqidah (deislamisasi) dan pemurtadan
(proselitisasi) serta bentuk hambatan lain yang bersifat internal.
Salah
satu gejala disekitar tantangan dan hambatan internal dakwah adalah
menyempitnya didalam memberi pengertian dakwah Islam. Pandangan sementara
orang, dakwah merupakan aktivitas penyampaian informasi tentang ajaran Islam
dari seorang penceramah kepada para pendengarnya. Menyempitnya pemahaman dakwah
demikian itu, sedikit banyak diakibatkan sempitnya pemahaman kita tentang
Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai landasan pencapaian dakwah.
Tetapi,
lepas dari pasal sempit-menyempit ini, pada hemat kita, sebagai landasan
dakwah, Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak akan dipersoalkan lagi. Akan tetapi lebih
banyak melihat dari segi persoalan yang dialami oleh umat Islam sebagai
pemegang tugas dakwah, yang membawa missi Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Telah
diakui oleh umat Islam seluruh dunia, Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan pedoman
dasar yang harus diikuti oleh setiap muslim. Bagaimanapun pemahaman mereka dan
bagaimanapun ia tidak menjalankan syari’at Islam, ia pasti mengetahui kaidah
dasar ini.
Al-Qur’an
sampai saat ini masih tetap dibaca, dipelajari dan dipahami oleh umat Islam.
bahkan ada gejala yang masih menggembirakan pada akhir-akhir ini, tumbuh
berkembangnya Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) dikalangan anak-anak kita.
Sebagai bukti bahwa Al-Qur’an masih dicintai oleh segenap kalangan umat. Malah
hampir menjadi tradisi umat Islam menyertakan muskhab Al-Qur’an sebagai mahar
dalam perkawinan. Hal ini, pertanda adanya keinginan untuk memulai hidup
berumah tangga sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. MTQ juga telah menjadi tradisi
pereodik, setidak-tidaknya untuk umat Islam di Indonesia. Bahkan tidak sedikit
masyarakat kita tertarik dengan kutipan ayat atau hiasan dinding dari ayat
Al-Qur’an dan As-Sunnah, terutama yang mempunyai nilai seni yang tinggi
(kaligrafi).
Kenyataan
diatas memang tidak ada salahnya. Namun gejala itu belum dapat mewakili konsep
kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagai usaha pemurnian ajaran agama
Islam. Sebab pada umunya, kita hanya menganggap Al-Qur’an itu sebagai kitab
suci, tanpa menyadari mengapa kitab itu dikatakan suci. Dan kita mengetahui
As-Sunnah itu berasal dari Nabi Muhammad SAW, tanpa menyadari bahwa As-Sunnah
itu merupakan ajaran yang harus diikuti. Didalam pelaksanaan ibadahpun, tidak
banyak dari kalangan umat Islam yang melakukan karena pemahaman dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah.
Berbicara
mengenai pemahaman umat Islam terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, terutama dalam
usaha pemurnian ajaran Islam, sampai saat ini ,asih terus diupayakan, meskipun
pada awalnya banyak mendapat tantangan dari umat Islam sendiri. Kita masih
ingat bagaimana amal usaha Muhammadiyah (Yogyakarta 1912), membuka sekolah umum
dijaman penjajah Belanda, dengan konsep kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah
(met de Al-Qur’an and As-Sunnah). Sayyid Quthub dalam bukunya Keadilan Sosial
dan Abd. Al-Qadir Audah (Ahli Hukum Islam di Mesir) mencoba menyingkap prinsip
Al-Qur’an dan As-Sunnah, juga mendapat tantangan ummat Islam. Juga tidak banyak
yang mau mendukung Mauraci Bucailla, karena idenya mengenai Al-Qur’an dan Sains
Modern, dalam bukunya La Bible, Le Coran et la Sciance.
Bahkan
dalam praktek, terdapat pihak yang berusaha menerangkan Islam dengan kaca mata
lain, yang memberikan prioritas kepada segi yang sementara orang dianggap
sekuler (Barat). Sehingga muncul berbagai konsep yang berusaha memisahkan Islam
sebagai suatu Dien dengan Negara (separation/fashl) dan disisi lain berupaya
untuk mereaktualisasikan ajaran Islam dalam kehidupan modern (meminjam istilah
H. Munawir Sadzali MA, mantan Menteri Agama RI).
Siapapun
kita, akan berpendapat bahwa umat Islam dimana saja berpedoman kepada Al-Qur’an
dan As-Sunnah yang sama, namun dalam prakteknya kita akan menemui corak umat
yang beraneka ragam. Ini merupakan pertanda bahwa umat Islam mempunyai
pemahaman yang tidak sama. Sedang didalam pelaksanaan dakwah islam pemahaman
terhadap kedua landasan ini sangat menentukan tercapainya tujuan dakwah.
Namun
kecenderungan umum, kita masih erat berpegang kepada prinsip dasar Islam ini
(salaf), yang mengacu dari pemahaman yang benar dari generasi umat pertama
(As-Salafiyah). Mereka dapat menjiwai ajaran Islam, karena mereka benar-benar
memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk menjiwai ajaran ini, masyarakat Islam
kini tidak mempunyai pilihan lain selain memahami dari sumber asli sebagaimana
adanya dan menerapkan dalam praktek. Pemahaman tanpa usaha penerapan tidaklah
cukup, dan begitu pula sebaliknya.
Orientasi Dakwah Al-Qur’anik-Metodologik.
Dakwah
merupakan manivestasi dari pemahaman yang mendalam dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Melalui dakwah, diharapkan ajaran Islam, dikenal oleh umat, dihayati
dan diamalkan (QS. Ali Imran:104). Sebagai rahmat seluruh alam (rahmatan lil
‘alamin), Islam dapat menjamin terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan umat.
Dalam
kategori social, umat Islam merupakan warga masyarakat yang memeluk Islam.
Istilah “ummat” berasal dari Al-Qur’an, yakni “Ummatan wahidatan” (QS>2:213)
dan “khaira ummatin” (QS.3:110). Yang pertama menunjukkan adanya pemeluk dien
yang tidak terputus sejak Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad SAW dan istilah
yang kedua menunjukkan adanya umat berkualitas terbaik, yang fungsinya mengajak
orang lain agar hidup secara Islam (Makruf) dan mencegah dari ucapan dan
tindakanyang dapat merugikan diri dan orang lain, sebagai akibat ingkar kepada
Allah SWT (mungkar).
Kedua
hal tersebut mempunyai hubungan fungsional. Sebab tanpa ihtiyar realisasi
dakwah islam (amar makruf nahi mungkar) yang dilakukan oleh umat yang
berkualitas terbaik (khaira ummatin), ummatan wahidah tidak mungkin dapat
terwujud. Dan tanpa ummatan wahidah maka tidak mungkin khaira ummatin dapat
menjalankan fungsinya dengan baik.
Berangkat
dari sifat dan fungsi dakwah tadi, sebagaimana pengemban missi Islam, da’I
harus mampu mengejawantahkan ajaran Islam secara kaffah. Karenanya perlu dikembangkan
pola orientasi dakwah yang Al-Qur’anik metodologik. Dakwah dikembangkan dari
hasil pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan pendekatan keilmuan yang inter
dan multi disipliner (metodologis), yang esensinya berangkat dari pemahaman
tersebut.
Perangkat
yang paling mendasar, dalam hal ini adalah meneliti kembali epistemology dan
teologi dakwah yang selama ini kita pakai. Karena memperbaiki epistemology
dakwah (keilmuan dakwah) merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Sebab diperlukan
pengkajian yang sangat mendalam. Di lain fihak kita harus memahami epistemologi
Islam terlebih dahulu. Karena epistemology dakwah merupakan pengemban utama
pelaksanaan dakwah.
Sedang
pada aspek lain, diperlukan perbaikan teologi dakwah Islam, sebab teologi
dakwah yang berkembang dikalangan para pelaksana dakwah, dipandang tidak sesuai
untuk mendinamisasikan dakwah Islam. Hanya saja, sebelumnya kita harus pula
memperbaiki pemahaman kita terhadap teologi Islam. Karena teologi dakwah merupakan bagian dari
teologi Islam.
Inilah
sebabnya, kita perlu menata kerangka dakwah yang lebih dinamis, yang tetap
bertumpu kepada nilai Islam (AL-Qur’an dan As-Sunnah). Sehingga dakwah memiliki
sikap optimistis dalam perspektif masa depan.
Tujuan Dakwah.
Tujuan dakwah tidak berbeda dengan
tujuan Risalah Islam, yang diemban oleh para Rasul Allah. Risalah Allah menjadi
sempurna dan berakhir dalam bentuk seperti yang diwahyukan didalam Al-Qur’an
dan dipraktekkan seperti yang terhimpun dalam As-Sunnah, “Dialah yang mengirim
Rasul_Nya dengan petunjuk dan agama (cara hidup yang benar) supaya Dia
menampakkannya lebih unggul dari semua agama (cara hidup) yang ada, walaupun
orang-orang musrik tidak menyenanginya” (QS At-Taubah:33), Ash-Shaf:9, dan
Al-Fath:26).
Dengan
berpulangnya Rasul ke rahmatullah, umat Islam secara otomatis mendapat tugas
meneruskan Risalah tersebut. Ini adalah tugas setiap muslim, yang terkandung
makna tanggung jawab yang saangat dalam.
Islam
sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, pelaksanaan dakwahnya harus berpegang pada
prinsip bil hikmah (QS. An Nahl:125), dengan menghindarkan dari sifat
memaksakan kehendak (QS.2:256). Sebab kebebasan beragama merupakan masalah yang
fitri, disamping memang manusia sejak lahir telah mampu memilih untuk beriman
kepada Allah atau mengingkari-Nya (QS.18:29). Karenanya, manusia memiliki
konsekuensi logis untuk menanggung segala perbuatannya. Bila beriman akan
mendapat pahala dan bila kufur mendapat siksa.
Berangkat
dari konsep tersebut, tujuan paripurna dakwah adalah terwujudnya kebahagiaan di
dunia dan di akhirat. Meskipun dari beberapa sarjana muslim berusaha merumuskan
dari sumber Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang manfaat dakwah untuk kehidupan di
dunia, misalnya Dr. Muhammad Yusuf Musa, seorang ahli hukum Islam dari Mesir,
mengelompokkan menjadi : pendidikan individu, masyarakat dan perdamaian dunia.
Disisi
lain dalam Al-Qur’an terdapat sebuah prinsip umum yang jelas untuk merubah
sikap, “Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu bangsa, sebelum mereka
merubah nasibnya sendiri” (QS. Ar Ra’d:11). Dan dalam hadts shahih juga
disebutkan bahwa amal seseorang tergantung kepada niatnya, Allah akan
membukakan jalan untuk orang yang berhijrah kejalan-Nya atau kepada selain-Nya.
Pilihan berada di tangan kita, hidup secara Islam atau selain Islam. Wallahu
a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar