POLA
ORIENTASI DAKWAH ISLAM
Oleh : Anis Purwanto
Dakwah
merupakan manifestasi dari kecintaan yang mendalam kepada ajaran wahyu Allah,
sekaligus pengamalan dari wahyu itu sendiri. (QS. Ali Imran:104). Melalui
dakwah diharapkan ajaran Allah tersebut dikenal umat, dihayati, dilestarikan,
dan yang akhirnya dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dakwah laksana
obor tua yang tak kunjung padam, yang secara estafet dioperalihkan dari dari
generasi ke generasi berikutnya, meskipun terkadang obor tersebut mengalami
saat-saat redup dan terkadang sebaliknya.
Oleh
karena itu Islam sebagai agama risalah, untuk manusia seluruhnya, maka
keberadaan Islam secara fitrah harus disebarluaskan, diperkenalkan dan
diajarkan kepada seluruh umat manusia. Sebagai rahmat seluruh alam (rahmatan
lil ‘alamin), Islam dapat menjamin terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan
umat, bila mana ajaran Islam dijadikan sebagai pedoman hidup dan dilaksanakan
dengan sesungguhnya oleh umat manusia.
Umat
Islam, sebuah kategori social yang biasanya dikategorikan dengan warga
masyarakat yang memeluk Islam. Kita telah mengetahui bahwa istilah umat berasal
dari Al Qur’an, yaitu “Ummatan wahidatan” (QS.2:213) dan “Khaira ummatin”
(QS.3:110). Yang pertama menunjukkan adanya sekelompok pemeluk dien yang tidak
terputus sejak jaman Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad SAW, dan yang kedua;
umat yang berkualitas terbaik, yang fungsinya mengajak masyarakat lain agar
hidup dengan cara yang Islami (makruf) dan mencegah masyarakat agar tidak
menjalankan perilaku yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain sebagai
akibat keingkarannya terhadap Allah SWT (mungkar).
Kedua
hal tersebut memiliki hubungan organic dan fungsional. Sebab tanpa ihtiar
realisasi amar makruf dan nahi mungkar yang dilakukan oleh sekelompok orang
(umat) dengan kualitas terbaik (khaira ummatin), maka ummatan wahidatan menjadi
tidak mungkin, demikian pula sebaliknya, tanpa ummatan wahidatan maka tidak
mungkin khaira ummatin bias menjalankan fungsi tersebut. Oleh karena itu dakwah
menjadi bagian esensial yang tidak mungkin terpisahkan dengan ihtiar mewujudkan
ummatan wahidatan yang adil dalam ridha Allah SWT.
Sementara
itu dakwah Islam sebagai pengejawantahan nilai-nilai imani (teologis) dalam
kehidupan social, sekarang menghadapi masalah yang kompleks. Maka untuk
menganalisa realita dakwah Islam yang semakin kompleks ini dibutuhkan alat
analisa dengan disiplin keilmuan yang inter dan multi disipliner. Sehubungan
dengan inilah, maka orientasi dakwah Islam sekarang ini perlu dikaji ulang.
Orientasi Legitimator
Dalam usaha mewujudkan realitas
kehidupan yang Islami, sebagian dari pelaksana dakwah Islam menempuh pola
orientasi legitimator. Suatu pola yang mencoba mengabsahkan kebijakan tertentu,
meskipun realita tersebut belum tentu benarnya. Pola dakwah ini dikalangan umat
Islam umumnya didukung oleh dua kutup pemahaman Islam, yaitu:
Pertama; kelompok umat (da’i) yang
berpandangan bahwa teori-teori yang dating dari Barat tidak perlu
dipermasalahkan, umat Islam harus mengejar modernitas, semua ilmu bebas nilai
dan ungkapan yang sering dipakai adalah Islam tidak bertentangan dengan ilmu
pengetahuan. Kebanyakan dari mereka adalah intelektual hasil didikan barat,
tetapi ironisnya justru mereka kurang kritis menanggapi suatu masalah dalam
kerangka keilmuan. Meski secara jujur diakui ada sebagian dari mereka yang
kritis secara epestemik. Dalam hal ini sebagian dari mereka mengetahui bahwa
umat Islam dilarang mengikuti sesuatu tanpa mengerti secara betul sesuatu itu
atau taklit buta (QS. 17:36 dan QS. 31:15).
Para
pengemban dakwah yang berorientasikepada pengabsahan kebijakan ini, umumnya
mereka mengambil teori-teori atau konsep-konsp dari barat baik social, ekonomi,
politik, budaya maupun hukum-hukum agama, Bahkan dalam beberapa segi mereka
mendengung-dengungkan agar umat Islam mengejar modernism. Sebab modernism
merupakan indicator dari masyarakat modern, yang tentunya termasuk umat Islam
sebagai bagian dari masyarakat secara universal.
Kedua;
pengemban dakwah ini didalam memahami ajaran Islam biasanya lebih banyak pada
ajaran rukun Islam dan didalam memahami ayat-ayat Al Qur’an hanya diaspek
ketentuan atau hukum-hukum agama dan sdikit sekali yang membahas
masalah-masalah social yang mengarah kepada bangunan teoritik. Pola orientasi
dakwah dengan pemikiran semacam ini, dalam aktualisasinya dibidang dakwah Islam
bersifat kaku dan kurang elastic.
Dilingkungan
umat Islam, pola dakwah yang berorientasi legitimator ini umumnya didukung oleh
sarana dan prasarana dakwah yang memadai. Sedang hasil dakwahnya bukan
diarahkan kepada terbentuknya wawasan Islam yang komprehensip dan
integralistik, akan tetapi pada semaraknya jumlah pemeluk agama (mayorita)
dengan segala macam permasalahannya. Bahkan pada beberapa segi menempatkan
dakwah Islam dalam kerangka politik yang tidak sejalan dengan politik Islam.
Sehingga pada gilirannya dakwah Islam sebagai perintah suci, menjadi ternodai
oleh ikatan politik tertentu yang tidak Islami.
Jadi
esensi dakwah pada pola ini biasanya mudah menyesuaikan dengan keadaan,
walaupun mungkin keadaan itu belum dikaji secara tuntas, menyeluruh dan terpadu
dalam kerangka Islam. Akan tetapi melegitimasi, yakini mengabsahkan apa yang
menjadi program masyarakat umum. Bahkan tema-tema dakwah yang diangkat ataupun
ayat-ayat yang dikutip adalah yang sekiranya mengarah pada pengabsahan
kebijakan masyarakat umum.
Orientasi Qur’anik.
Disamping
pola dakwah tersebut diatas, dilingkungan umat Islam dikenal pula orientasi
dakwah qur’anik, akan tetapi tidak disertai wawasan keilmuan Islam. Methode
dakwah yang ditempuh dalam pola ini adalah mengintrodosir (memperkenalkan)
ayat-ayat yang ditafsirkan secara leterlek, tidak dalam keseluruhan maksud
Al-Qur’an. Sehingga ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits sering kali tidak
dipandang dalam satu kesatuan berfikir. Akibatnya dalam memandang suatu masalah
bersifat kaku dan hitam putih, halal haram dan seterusnya.
Pola
orientasi Qur’anik yang minus keilmuan modern ini apabila dipandang dari segi
metodologi dakwah, justru menjadi tidak metodologis atau bil hikmah. Sebab
ayat-ayat yang disampaaikan tidak dalam bentuk wawasan yang padu, sehingga
metodologi sebagai prasyarat dalam pelaksanaan dakwah menjadi kurang
diperhatikan dan bahkan terabaikan. Maka proses interaksi dengan umat dakwah
menjadi kurang efektif dan efisien. meski demikian, pola dakwah yang demikian
ini bukan tidak islami, tetapi untuk kepentingan dakwah tidak tepat.
Disamping
itu pola orientasi dakwah Qur’ani yang demikian, maka didalam pelaksanaan
dakwahnya tidak metodik dibeberapa segi serta bersifat memaksa dan kekerasan.
Pada hal Islam sebagai agama pembawa damai ataupun sebagai rahmatan lil ‘alamin
disebarkan dengan cara yang hikmah (bijaksana). Tentu saja hal ini amat
bertentangan dengan penegasan Al-Qur’an bahwa Islam tidak untuk dipaksakan (QS.
2:256). Sebab kemerdekaan manusia merupakan masalah yang sangat fitri dan
paling asasi, disamping memang manusia sejak lahir telah mampu memilih untuk
beriman kepada Tuhan atau mengingkari (QS. 18:29). Oleh karena itu manusia
memiliki konsekuensi logis untuk menanggung sendiri segala perbuatan yang
dipikulnya, Bila beriman akan mendapatkan pahala dan bila kufur akan memperoleh
siksa (QS. 4:85).
Jadi,
pola orientasi dakwah ini apabila dikaji lebih jauh dan mendalam memiliki
kecenderungan memaksakan kehendak, karena tidak memberikan wawasan keilmuan
Islam yang rasional. Dalam beberapa segi dakwahnya hanya mampu mengkritik
(mungkar), tetapi tidak mampu memberikan alternative pemecahan masalah
(makruf). Pada hal sifat dakwah adalah mampu memberikan kritik dan mampu
memberikan alternative masalah (amar
makruf nahi mungkar). Oleh karena itu apabila dakwah kehilangan fungsi ataupun
sifat tadi, berarti pengemban dakwah (da’i) belum mampu memahami Islam secara
kaffah.
Orientasi Metodologik.
Selain
pola dakwah legitimator dan Qur’anik, dijumpai pula pola orientasi dakwah
metodologik. Dimana didalam pola ini dikembangkan dari hasil pendalaman Al-Qur’an,
dengan menggunakan pendekatan keilmuan yang inter dan multi dislipiner
(metodologis). Sedangkan esensi dakwahnya, berangkat dari pemahaman Islam
(Al-Qur’an), sehingga diistilahkan “Islam sebagai Subyek” yang mampu
menjelaskan masalah hidup yang ada (realitas social), dan tidak diterangkang
dengan metodologi (ilmu social) barat.
Pola
dakwah ini sedang berkembang dengan pesat, khususnya dilingkungan kampus-kampus
dan masyarakat perkotaan, yang akhir-akhir ini kajian Islam semacam itu semakin
banyak diminati. Pada umumnya mereka memahami ajara Islam dengan pendekatan
ilmu-ilmu social serta mencoba membedah isi Al-Qur’an dengan disiplin
keilmuannya, kemudian menyatukannya dengan kerangka pemikiran Islam secara
terpadu.
Sedang
masalah yang sering dihadapi oleh para pemandu dakwah (da’i) dalam pola semacam
ini adalah kesulitan mencari metodologi yang tepat didalam pelaksanaan dakwah
ataupun dalam memahami Islam yang Al-Qur’ani. Karena alangkah kontradiksinya
apabila metodologi dakwahnya islami, tetapi esensi Islam yang didakwahkannya
justru bertentangan dengan maksud Al-Qur’an. Maka tidak ada istilah dalam
dakwah Islam, tujuan yang baik ditempuh dengan cara yang jelek (asal kena).
Hanya
disayangkan, pola dakwah semacam ini baru dapat berkembang dengan baik
dikampus-kampus atau di perkotaan dan kurang dapat menjangkau seluruh lapisan
masyarakat, terutama masyarakat pedesaan. Pada hal kalau dikaji secara mendalam
dan lebih luas, justru masyarakat pedesaan dan kaum dhu’afa amat membutuhkan
wawasan keilmuan Islam yang segar, untuk meningkatkan kualitas keislamannya
(khaira ummatin). Sehingga pada gilirannya mereka mampu memperbaiki hidupnya
secara Islami (amar makruf dan nahi mungkar). Kita tentunya faham bahwa
mayoritas penduduk Indonesia adalah hidup di pedesaan, yang secara statistic
hidup dalam kesederhanaan dan keterbatasan. Maka sudah menjadi keharusan bagi
para cendekiawan muslim (da’i), agar mengarahkan perhatian dan keilmuannya
kepada masyarakat pedesaan, dengan kerangka keilmuan yang Islam (bil hikmah).
Sebab selama ini masyarakat pedesaan wawasan keislamannya amat didominasi oleh
ilmu-ilmu keislaman tradisional, yang tidak pernah dikaji ulang benar salahnya.
Jadi, inilah sebabnya pengemban dakwah (da’i) ini mempunyai tugas sangat
mendesak untuk mensosialisasikan pemikirannya kepada masyarakat pedesaan dan
kaum lemah yang memiliki jumlah besar.
Memperbaiki Tatanan.
Dengan mempelajari pola dakwah
tersebut, maka benar-benar dakwah membutuhkan perhatian tatanan dakwah yang
dipandang strategis dan mendasar. Perangkat dakwah yang dipandang mempunyai
nilai yang mendasar adalah tatanan epistimologi dan teologi dakwah.
Memperbaiki
epistimologi dakwah (keilmuan dakwah) memang merupakan pekerjaan yang tidak
mudah dan perlu pengkajian yang sangat mendalam. Sebab sebelumnya kita harus
memperbaiki epistimologi Islam, sebagaimana yang selama ini kita bangun. Karena
pada dasarnya epistemology dakwah sebagai pengemban utama dakwah.
Sedang
pada aspek lain, juga memerlukan perbaikan teologi dakwah Islam, sebab teologi
dakwah yang selama ini mentradisi dikalangan umat Islam dipandang sudah tidak
sesuai lagi untuk mendinamisasikan dakwah Islam. Hanya saja sebelumnya kita
harus memperbaiki teologi Islam, karena teologi Dakwah merupakan bagian dari
teologi Islam. Hanya saja yang dibutuhkan umat Islam sekarang ini adalah
teologi yang direalisasikan dalam kehidupan social.
Jadi,
inilah sebabnya kita merumuskan kembali bentuk teologi baru yang lebih
reflektif, dinamis dan memiliki fungsi keagamaan. Karena teologi Islam klasik
memiliki efek pengerem dalam dakwah Islam, seperti melemahnya etos dakwah
dikalangan pengemban dakwah (da’i), pesimistis dan sikap menyerah kepada
relitas. Pada gilirannya, muncullah etos ilmu dakwah yang lembek dan
berkualitas rendah.
Itulah
sebenarnya yang mengharuskan kita untuk segera melakukan perbaikan teologi
dakwah Islam sekarang ini. Dengan mencoba memperbaiki bagian yang paling
sentral dan esensial (teologi Islam) ini, diharapkan dakwah Islam memiliki
sikap optimism dalam perspektif masa depan. Maka fungsi dakwah selanjutnya
memelihara kelangsungan tatanan dengan tetap menjalankan amar mafruf nahi
mungkar dalam tatanan baru tersebut. Sebab secara esensial dakwah Islam tidak
memihak kepada kelompok tertentu kecuali tetap memegang dan menjalankan
perintah Allah SWT. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar