AKTUALISASI
SEMANGAT BERKORBAN DALAM MEREDUKSI KRISIS DIMENSIONAL
Oleh : Anis Purwanto
Secara jujur kita harus berani mengatakan, bahwa sebagian
dari kehidupan kita masih terlalu banyak diarahkan oleh hawa nafsu. Makanya
tidak terlalu berlebihan bila kemudian kita selalu diharuskan untuk mengenang
kembali peristiwa dramatik yang terurai pada sejarah Nabi Ibrahim as dan Nabi
Ismail as. Dengan harapan dapat menimba iktibar yang terkandung dalam peristiwa
itu, yakni suatu peristiwa yang melukiskan, betapa iman yang dipilih secara
sadar dan sengaja dapat mengalahkan segala-galanya. Dalam kasus sejarah
kenabian, peristiwa yang dalami Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as merupakan
peristiwa dilematis, tetapi keduanya sepakat menempuhnya karena pancaran iman.
Kita
dapat mengatakan bahwa peristiwa tersebut adalah peristiwa yang luar biasa,
karena drama yang dimainkan Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, adalah darama pertentangan antara dua nilai yang
bertolak belakang secara diametral, yang dapat menghantarkan Ismail ke pintu
maut.
Dari
sejarah kita mengetahui bahwa Ismail di mata Ibrahim , bukanlah semata-mata
anak bagi seorang ayah, namun Ismail adalah buah hati bersulam kasih saying,
yang telah didambakan Ibrahim as sangat lama, dan merupakan hadiah yang diterimanya,
sebagai imbalan karena ia telah memenuhi hidupnya dengan perjuangan. Tetapi
tanpa diduga, Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim as agar menyembelih buah
hati yang sedang tumbuh menyenangkan itu, “Ibrahim
berkata, Hai anakku, sesungguhnya aku melihat didalam mimpi bahwa aku akan
menyembelihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu?. Dia (Ismail) menjawab;
Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada engkau, insya Allah
engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar”.(QS As Shaffat:102).
Petapa
guncangnya jiwa nabi Ibrahim as menerima wahyu Allah tersebut, tidak lah dapat
dibayangkan. Ibrahim as sebagai hamba Allah SWT yang paling muhklis dan
patuhpun bias gemetar dan goyah. Batinnya bergolak. Hati kecilnya diliputi
tanda Tanya. Siapakah yang lebih dicintai, Allah SWT ataukah Ismail anaknya.
Inilah pilihan yang sangat dilematis itu.
Namun
getaran jiwa yang dikendalikan oleh iman, akhirnya memenangkan Ibrahim as dalam
pergolakan batin itu. Langkahnya berpihak kepada Allah SWT, dan pasrah
mengorbankan Ismail anak yang sangat dicintainya. Maka dilembah Mina yang sepi,
sang ayah berbicara kepada putranya. Langit yang menjadi atap Jazirah Arab ikut
merekam peristiwa yang sangat luar biasa itu, seakan tak sanggup menyaksikan
peristiwa langka itu. Sejarah manapun belum pernah mencatat adanya peristiwa
antara ayah dan anak seperti ini.
Dari
pengorbanan Nabi Ibrahim as, telah memberikan gambaran tentang adanya revolosi
keyakinan yang amat besar untuk memantapkan keyakinan dan patuh hanya kepada
Allah SWT, dan tidak sepantasnya manusia merendahkan diri dihadapan benda-benda
atau materi yang bersifat duniawiyah, betapapun sepintas lalu tampak hebat dan
mengagumkan. Maka ketundukan dan pasrah diri hanya ditujukan kepada Allah Sang
Pencipta alam semesta beserta seluruh isinya. Disinilah letak konsep tauhid,
dimana tauhid manusia akan terangkat derajatnya dan mampu menghadapi berbagai
problema, dalam melaksanakan tugas sebagai khalifah di muka bumi.
Kateladanan
Nabi Ibrahim as hendaknya dijadikan contoh bagi kaum keluarga masa kini.
Kecintaan kepada keluarga secara berlebihan dapat berakibat memudarnya keutuhan
tauhid kita. Disamping dapat berakibat lahirnya sifat egoistis, ujub dan
takabur hingga tidak dapat menghormati kepada orang lain. Demikian kecintaan
harta secara berlebihan akan menimbulkan sikap materialistis, sebuah sikap yang
dibenci oleh Islam. Begitupun mencintai agama, manakala dilakukan dengan
fanatic buta akan melahirkan sifat anti pati terhadap orang yang tidak sepaham
dengan dirinya, sehingga ketenteraman yang merupakan inti dari ajaran agama,
tidak pernah sampai pada tujuannya. Sifat tersebut apabila kita telusuri lebih
dalam, semuanya akan berpangkal kepada hawa nafsu yang tidak terkendali, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari
kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang diber rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun labi Maha Penyayang”. (QS.Yusuf:53).
Jika
dibandingkan, ajaran Islam sebagaimana yang telah diperagakan dengan bagus oleh
Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, dengan praktek-praktek kehidupan sekarang
ini, maka secara jujur harus diakui bahwa masih terlalu lebar jarak antara
cita-cita Islam, dengan kenyataan riil perilaku umatnya. Banyak diantara kita
yang bukan saja enggan mengurbankan sesuatu yang dicintai, untuk sekedar turut
dirasakan oleh saudara seiman, Namun lebih dari itu banyak diantara kita, yang
telah membuat saudara-saudara seiman menjerit, merintih dan menangis, lantaran
mereka menjadi korban perbuatan kita sendiri. Penipuan, kebohongan,
pelanggaran, penindasan dan kesewenang-wenangan, sering terjadi diantara kita,
hanya demi memperoleh dan memenuhi kepuasan pribadi, kelompok atau golongan.
Yang lebih menyedihkan lagi adalah, bilamana ada yang sudi mengorbankan agama
dan keyakinan demi kesenangan dan kenikmatan sementara. Oleh karena itu,
peristiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim as yang puncaknya dirayakan sebagai
Idul Adha, harus mampu mengingatkan bahwa kita tidak boleh mengorbankan nilai-nilai
kemanusiaan kita, tetapi yang harus dikorbankan adalah sifat-sifat yang
dikendalikan oleh hawa nafsu
Sekecil
apapun amal dan pengorbanan kita, asalkan kita perjuangkan dengan
sungguh-sunnguh serta ihklas karena mengharap ridha Allah, pasti kebahagiaan
dan kesejahteraan serta limpahan rahmat dan karunia Allah akan selalu kita
petik hasilnya dengan berlipat ganda. Semakin dominan jiwa ihklas dalam diri
kita, semakin bersinarlah cahaya kebenaran didalam hati kita. Bukan saja ihklas
terhadap hubungan antara manusia dengan Allag SWT tetapi juga hubugan antara
sesama manusia.
Kita
berharap, semoga setiap Idul Adha yang oleh umat Islam dirayakan setiap tahun
itu, semangat berkurbannya dapat mengilhami, menggugah dan mengaktualisasikan
cara berfikir dan bertindak kita dan seluruh umat Islam, dalam mengatasi
berbagai krisis dimensional, khususnya para pemimpin bangsa, Ulama, Kiai, dai dan penyuluh agama serta
semua elemen bangsa sekarang dan kedepan, agar dengan idzin Allah SWT kita
dapat segera mengangkat negara menuju Negara yang baldatun toyyibatun wa rabbum
ghafur, adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar