MERAIH
KEMULIAAN
Oleh : Anis
Purwanto
Islam adalah agama universal, artinya
Islam diturunkan oleh Allah SWT untuk semua makhluk Allah di muka bumi, untuk
dipedomani didalam menata dan mengelola bumi dan isinya. Sebagai agama rahmatan
lil alamin, agama Islam tidak mengenal ras. Islam memandang semua sama. Hanya ketaqwaannya
kepada Allah lah yang membedakan manusia yang satu dengan lainnya, ketaqwaan
dan keimananlah yang dapat memuliakan manusia. Allah tidak memandang kaya atau
miskin, pejabat atau rakyat jelata. Semua dihadapan Allah sama. Harta, tahta,
dan “ta” yang lainnya adalah hiasan duniawi
yang bersifat sementara. Dan kesenangan sejati adalah derajat kemuliaan di sisi
Allah :
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلنَّاسُ
إِنَّا خَلَقۡنَـٰكُم مِّن ذَكَرٍ۬ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَـٰكُمۡ شُعُوبً۬ا
وَقَبَآٮِٕلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَڪۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَٮٰكُمۡۚ
إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu diisisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara
kamu”. (QS. Al Hujarat::13).
Kemuliaan
seseorang tak ditentukan oleh status social dan ekonomi serta warna kulit atau factor-faktor
lainnya yang bersifat keduniawian. Kalaulah boleh disebut mulia, kemuliaan itu
terbatas, dibatasi waktu dan tempat. Pejabat misalnya, dimuliakan karena
jabatannya, selagi memegang jabatan. Apapun yang dikatakan akan dijadikan acuan
bawahannya, semua orang harus tunduk padanya. Siapa yang berani ingkar sama
saja menentang bahaya, bahkan tidak akan diampuni. Namun setelah ‘lengser” jabatan, ia kembali sebagai
manusia biasa, seperti lainnya. Kalau sudah tidak memegang kekuasaan dan tidak
berada di lingkungannya, tidak lagi
dimuliakan. Apalagi bila selama memegang pangkat jabatan tersebut ia “adigung
adiguna”, bersifat sewenang-wenang terhadap orang lain. Sebagai contoh, banyak
kasus di negeri ini, sebagaimana yang banyak dilangsir di berbagai media massa,
baik cetak maupun elektronik, yang dulunya duduk di kursi yang dimuliakan, namun
setelah masa kerjanya selesai, atau bahkan masih memangku jabatan sekalipun ia menunai
hinaan, diperkarakan di depan Majelis Hakim duduk di kursi pesakitan lantaran
terduga tindak koropsi.
Bila
seseorang dimuliakan karena hartanya, ia Nampak gagah dan mulia selagi kaya
raya. Namun setelah jatuh bangkrut, karena icabut semua yang dianggap kemuliaan
itu oleh Allah, misalnya karena kebakaran hebat yang menghanguskan semua harta
bendanya, maka dalam waktu sekejap kemuliaan itu akan sirna, dan tidak akan
dianggap mulia lagi. Kesemuanya akan kembali sebagaimana yang lain, tidak
dimuliakan karena pangkat dan jabatan, tidak dimuliakan karena seseorang
konglomerat yang kaya raya. Di kendaraan misalnya, jika naik kendaraan umum
sekiranya sudah penuh, ia harus mau berdiri, seperti orang kebanyakan. Di pasarpun
harus mau berdesak-desak dengan mbok-mbok bakul, yang bahkan kalau tidak
hati-hati bisa kecopetan atau dikutil.
Inilah
sebabnya, kalau boleh meminjam istilah kemuliaan, maka kemuliaan dibatasi oleh
waktu dan tempat, yang tidak dapat dicapai hanya melalui status social, ekonomi
ataupun warna kulit. Sebab apabila factor itu yang menjadi syarat untuk
mencapai kemuliaan, dapat dipastikan hanya segelintir orang yang dapat memenuhi
syarat untuk meraih kemuliaan, berarti tidak semua orang dapat mencapai derajat
kemuliaan.
Dalam
pandangan Islam semua manusia memiliki hak yang samauntuk mencapai derajat
kemuliaan. Kemuliaan yang sebenarnya adalah dengan iman dan taqwa, tanpa
memandang status social ekonomi yang bersifat keduniawian. Bilal bin Rabah
misalnya, seorang budak belian berkulit hitam, karena keluhuran dan kemuliaan
hatinyalah ia diangkat sebagai muadzin, orang yang mengumandangkan adzan untuk
melakukan shalat. Suara adzan Bilal di dengar orang termasuk Nabi Muhammad SAW.
وَلَا تَهِنُواْ وَلَا
تَحۡزَنُواْ وَأَنتُمُ ٱلۡأَعۡلَوۡنَ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan
jangan (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling
tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang beriman”. (QS. Ali Imran:139).
Iman
dan taqwa merupakan nilai tertinggi di mata Allah, yang keduanya sebagai
landasan utama didalam meraih kemuliaan. Sehingga kemuliaan seseorang di dunia,
sebetulnya merupakan hiasan dan kesenangan semu, yang justru bagi orang yang
beriman dan bertaqwa semuanya itu harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah,
sebagai amanah. Kemuliaan di akhirat adalah kemuliaan sejati. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar