KEADILAN
SOSIAL DALAM ISLAM
oleh : Anis Purwanto
Hakekat
kehidupan social adalah merupakan perwujudan dari nilai akidah yang dinyatakan
dalam kegiatan yang mengandung kebaikan (amal saleh). Dan hanya dengan nilai
taqwa yang menjamin adanya kehidupan yang baik, bukan hubungan yang dapat
mewujudkan adanya kejahatan dan tindakan yang merugikan. Sebab dalam ajaran
Islam, dasar idiologis dalam kehidupan social adalam Al-Qur’an, yaitu idiologi
yang mengandung nilai keadilan sejati yang merupakan pancaran langsung dari
akidah Islamiyah yang murni dan dilarang menggunakan dasar idiologi yang mengandung
nilai kedhaliman (syirik).
Dalam
kesatuan akidah Islamiyah, yang menjadi dasar hubungan dan kerja sama social
diwujudkan dengan cara saling tolong menolong. Sebab pada kenyataannya antara
satu dengan yang lain ada perbedaan kemampuan (etos kerja) dan adanya perbedaan
tabiat yang menimbulkan profesi yang berbeda. Perbedaan kemampuan (etos kerja)
meliputi perbedaan sikap terhadap akidah yang dipancarkan dalam kerja. Dengan
asumsi dasar bahwa perubahan status social (ekonomi) hanya dapat dirubah dengan
usaha dan kerja keras. Bahkan kejayaan suatu generasi tergantung dari amal
kebaikan (kerja) dari generasi yang bersangkutan, bukan karena generasi
sebelumnya, “Baginya apa yang
diusahakannya dan bagimu apa yang kamu usahakan; dan kamu tidak akan diminta
pertanggung jawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. 2:141).
Dengan
demikian kapasitas dan nilai kerja seseorang akan menentukan status dalam
masyarakat dan dihadapan Allah SWT, artinya kemuliaan (status) dihadapan Allah dengan sendirinya meningkatkan status
dihadapan masyarakat. Sebab pada dasarnya setiap kerja mengandung nilai baiak
atau buruk. Kerja yang mengandung kebaikan akan mendatangkan kebahagiaan,
sedang kerja yang mengandung nilai keburukan (kejahatan) akan mendatangkan penderitaan (kehancuran diri dan soSial).
Dan naik turunnya status seseorang diuji, apakah seseorang masih bekerja
dengan iman dan berinteraksi social dengan baik, atau apakah dia saling bekerja
sama dalam cara kerja yang keliru. Dalam ukuran idiologi yang mengandung nilai
keadilan social, status social seseorang atau kelompok akan diperoleh jika
mereka masih mengikuti fitri, dan akan turun (hancur) jika mengikuti hawa nafsu. Disamping akidah dan kerja yang
menjadi dasar terciptanya stratifikasi social dalam Islam, ilmu dan tehnologi
juga sangat berpengaruh. Penguasaan ilmu dan tehnologi menjadi prasarat adanya
kerja yang terarah, efisisen dan efektif. Dengan demikian kerja yang dilandasi
dengan iman dan penguasaan ilmu pengetahuan dan tehnologi akan menghasilkan
nilai lebih (maksimal). Sebab ilmu tanpa iman termasuk dholim yang akan
menurunkan derajat kemanusiaan, menghancurkan diri dan masyarakat. (QS. Mujadalah:11).
Islam
dengan jelas menentang kedhaliman dan mewajibkan kepada pemeluknya untuk
bersikap adil, yaitu yang bersifat lurus (QS.4:58),
di tengah-tengah (QS.53:22), berkesinambungan (QS.17:35)
dan mengandung kebenaran mutlak (QS.4:105).
Apabila msyarakat mempunyai komitmen yang kuat terhadap tegaknya keadilan, maka
perubahan struktur didalam masyarakat tidak harus disertai dengan pergolakan,
anarkhis yang justru membawa dampak negatip yang sangat luar biasa didalam
masyarakat. Sehingga maksud penegakan keadilan justru berakibat kesengsaraan
dan timbulnya rasa takut, ketidak pastian hukum dan krisis kepercayaan yang
berkepanjangan. Dan sebaliknya perombakan harus dilandasi oleh kesadaran agama
yang kuat. Terjadinya pergolakan itu apabila manusia mengedepankan penyakit
manusiawinya (hawa nafsu), seperti rakus, sombong, kemunafikan, fasik,
kekufuran dan musyik (dholim).
Suatu
hal yang menjadikan hambatan klasik didalam upaya pemerataan kemakmuran dan
keadilan social adalah terbatasnya kesempatan kerja. Padahal sekarang ini orang
telah menyebut zaman maju, zaman modern dan zaman keterbukaan. Dengan tingkat
komoderenan seperti sekarang ini, dengan tersedianya sejumalah besar kemudahan
dan fasilitas yanga canggih, tidak berarti menjamin kesejahteraan yang lebih
merata. Karena fasilitas yang memberikan kemudahan dan kenyamanan hanya dapat
dinikmati oleh mereka yang mampu membeli, sementara lapangan pekerjaan hanya
tersedia bagi orang yang berpenddidikan tinggi. Kaum miskin papa, yang lemah “tidak” berhak untuk ikut menikmati
kemakmuran dan keadilan social.
Ajaran
Islam merumuskan bahwa tujuan hidup adalah mencapai kesejahteraan hidup di
dunia dan di akhirat. Dalam mencapai kesejahteraan hidup itu manusia mau tidak
mau harus berusaha. Oleh karenanya Islam meeletakkan kerja pada posisi yang
mulia (ibadah). Bahkan dalam sejarah Islam dapat diketahui bahwa Rasulullah dan
para sahabatnya untuk mencukupi kebutuhannya dan agar dapat beramal dengan
baik, dilakukan dengan cara bekerja dan berusaha yang “makruf”, bahkan dikalangan sahabat mau bekerja sebagai kuli agar
dapat beramal.
Oleh
karena keadilan social akan dapat terwujud dengan jalan memberikan kesempatan
yang sama kepada semua warga masyarakat. Keseimbangan antara imtaq dan iptek,
duniawiyah dan uhkrowiyah menjadi prasarat utama. Dimana Islam meletakkan
kesejahteraan di dunia dan di akhirat secara seimbang. Tetapi mestinya hal-hal
yang bersifat keakhiratan harus lebih diutamakan (imtaq). Sebab iman dan taqwa
merupakan landasan utama untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (keadilan
social). Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar