RAMADHAN
DAN KEMERDEKAAN HAKIKI
Oleh
: Anis Purwanto
Merupakan
nikmat yang sangat besar dan tiada tara, bahwa pada tahun ini kita dipertemukan
kembali oleh Allah Azza wa jalla dengan Ramadhan dalam kedaan Islam dan Imann.
Bahkan pertemuan kita kali ini sangatlah istimewa, bila kita bandingkan dengan
Ramadhan pada tahun-tahun yang lalu. Sebab Ramadhan 1433 H ini ada keistimewaan
bagi umat Islam Indonesia, yakni bertepatan dengan HUT Kemerdekaan Republik
Indonesia ke-67. Hal ini mengingatkan kita dengan saat detik-detik Proklamasi
RI terjadi pada bulan Ramadhan, tanggal 17 Agustus 1945. Harapannya, semoga
kaum muslimin menyadari bahwa kemerdekaan dari penjajahan bukanlah kemerdekaan
yang final, dan Ramadhan merupakan momentum bagi perbaikan diri dan bangsa
untuk meraih kemerdekaan yang sebenarnya. Sebab, senyatanya ada korelasinya
antara Ramadhan dengan kemerdekaan hakiki bagi bangsa Indonesia ini. Sebenarnya cukuplah bagi seorang hamba
mengetahui bahwa Allah memerintahkan untuk berpuasa itu menjadikan keutamaan
yang besar yang akan diraihnya dengan menjalankan perintah itu, “Wahai orang-orang yang beriman, telah
diwajibkan puasa atas kalian sebagaimana telah diwajibkan pula kepada
orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa” (QS. Al Baqarah :183). Karena
dia menyadari bahwa Allah yang Maha Penyayang pasti tidak menginginkan untuk
mencelakakan hamba-Nya. Sehingga apa yang diperintahkan-Nya pasti mengandung
kebaikan. Kata la’allakum tattaqun, disini merupakan nilai final yang akan kita
raih, artinya supaya kalian bertaqwa kepada Allah, sehingga engkaupun
meninggalkan apa yang diharamkan oleh Allah dan engkau menegakkan apa yang
diwajibkan oleh Allah. Puasa
termasuk ibadah dan ketundukan kepada Allah, sehingga puasa itu menjadikan
orang yang berpuasa hanya menghadapkan dirinya kepada Allah, tunduk dan khusuk
dihadapan-Nya tatkala dia harus menolak kekuasaan syahwat. Disisi lain
bersatunya umat dalam menjalankan satu ibadah dalam satu waktu dan menempa kesabaran
mereka secara bersama-sama, baik orang-orang yang kuat maupun yang lemah,
terpandan maupun tidak, kaya maupun miskin guna bersama-sama menanggung
kewajiban ini yang akan membuahkan keterikatan hati dan ruh mereka serta
bersatunya kalimat mereka. Puasa juga menjadi sebab terjalinnya kasih saying
antara umat ini satu sama lain. Maka
ini adalah kesempatan yang besar, sekaligus nikmat yang agung. Akan tetapi,
peluang besar ini juga menjadi sebuah kecelakaan bagi orang-orang yang
menyia-nyiakannya, sehingga ia keluar dari Ramadhan tanpa ampunan dari
Rabb-Nya, “Celakalah seorang yang
memasuki bulan Ramadhan namun dia tidak diampuni” (HR. Hakim dan Thabrani). Sehingga
harapan diampuni dosa adalah merupakan cita-cita besar bagi setiap muslim,
sebab untuk meraih derajat itu dibutuhkan perjuangan yang sangat berat. Maka
pantaslah jikalau Ramadhan juga disebut sebagai syahrul jihad. Bahwa Ramadhan
adalah bulan disaat kaum muslimin memiliki gairah besar untuk berjihad
menegakkan agama Allah, bukan bulan yang memperlemah umat Islam dalam hari-hari
yang penuh kelesuan. Maka peristiwa heroik para pejuang
bangsa didalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia, menjadi inspirasi
utama didalam upaya mngisi kemerdekaan ini dengan pembangunan disegala bidang.
Tentu saja kesemuanya ini dapat kita hitung sebagai upaya berjihad. Bahkan
sejarah umat telah berbicara, perang Badar yang terjadi pada bulan Ramadhan,
kaum muslimin menunai kemenangan gemilang, 313 pasukan Islam berhasil
mengalahkan 1000 pasukan kafir Quraisy yang bersenjatakan lengkap. Kemenangan
gemilang pertama yang diraih umat Islam ini kemudian menjadi penguat eksistensi
kaum muslimin di Madinah dan pembuka bagi kemenangan-kemenangan Islam
berikutnya. Adakah pakar militer saat itu yang bisa memprediksi bahwa
Rasulullah dan para sahabatnya bisa memenangkan peperangan. Dan kemenangan
jihad ini terjadi pada bulan Ramadhan. Meskipun kemudian peristiwa perang Badar
ini oleh Nabi dinilai sebagai peperangan yang kecil, Sebab senyatanya, menurut
Nabi kita selalu dihadapkan dengan peperangan yang lebih besar, yakni jihadun
nafs. Meski
demikian adanya, namun enam tahun kemudian terjadi peristiwa yang jauh lebih
besar dan mempesona, ada penaklukan paling indah dalam sejarah umat manusia
yakni peristiwa fathul mekkah. Penaklukan tanpa korban jiwa. Kemenangan besar
tanpa tetesan darah. Sepuluh ribu pasukan Islam yang dipimpin oleh Rasulullah
memasuki Makkah dengan tenang, menang tanpa perlawanan. Bukan hanya kemenangan
fisik yang membuat pasukan Makkah tidak berani memberontak, tetapi juga
kemenangan jiwa, sehingga keimanan masuk ke jiwa-jiwa mayoritas penduduk
Makkah, menggantikan seluruh kekufuran dan permusuhan mereka. Maka, tidak ada
satupun yang membela saat 360-an berhala di sekeliling Ka’bah dihancurkan.
Tidak ada yang meratapi atau melakukan demonstrasi saat berhala-berhala itu
dilenyapkan. Sebab, sesaatlum dilenyapkan dari Masjidil Haram, Allah telah
melenyapkan dari hati mereka. Inilah jihad dan kemenangan besar yang juga
terjadi di bulan Ramadhan.
Jika
Ramadhan telah mmenjadi bulan jihad, maka mari kita berdiri untuk memandangi
wajah negeri kita. Sudahkah ia merdeka secara hakiki. Dan sudahkah kita
mendapatkan kemerdekaan hakiki sebagai umat Islam Indonesia ?. Bila jawabnya
belum, maka senyatanya kita harus tetap berjuang menegakkan syariat Islam, agar
dapat dilaksanakan dengan baik dan benar oleh umat Islam. Perjuangan itu tiada
henti kita lakukan, sebab “sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa” (QS.Al-Hujurat:13). Maka kemerdekaan yang utama bagi umat Islam
adalah kemerdekaan dari segala bentuk peribadatan kepada selain Allah “kemerdekaan aqidah”, Kita hanya
beribadah kepada Allah, takut kepada Allah, dan mengharap hanya kepada Allah.
Bertauhid dengan benar. Sehingga seseorang mukmin tidak lagi memiliki
kekhawatiran dan ketakutan melaksanakan ibadah, sesuai dengan syariat islam. “Janganlah kamu bersikap lemah, dan
janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling
tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman, (QS.Ali Imran:139). Sebab
kemerdekaan ber-akidah ini membawa implikasi yang sangat besar pada kemerdekaan
menjalankan syariat Islam, agar Islam dapat dijalankan secara kaffah.
Kemerdekaan
hakiki juga berarti seseorang merdeka untuk memperbanyak kebaikan, tidak ada
halangan seseorang untuk melaksanakan yang makruf dan meninggalkan yang
mungkar. Sekarang ini, saatnya kita
mendapatkan semuanya, di bulan Ramadhan yang penuh berkah dan ampunan Allah
SWT, di bulan Agustus disaat kita juga memperingati kembali HUT RI dan di akhir
bulan Agustus ini pula kita akan mengakhiri ibadah Ramadhan dengan ber-Idul
Fitri. Umat Islam mempunyai kesempatan yang sangat besar untuk kembali kepada
fitrahnya, kembali kepada kemerdekaan hakiki. Banyak yang dapat kita perbuat
untuk meraih kemerdekaan hakiki, sebab QS An Nisa’: 97 telah memberikan ibrah
kepada kita mengenai orang yang berdiam diri dalam keterjajahan, “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan
malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat
bertanya:”Dalam keadaan bagaimana kamu ini?. Mereka menjawab:”Adalah kami
orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para Malaikat berkata:”Bukankah
bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu “. Orang-orang
itu tempatnya neraka jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. Sebab senyatanya, ada diantara umat
Islam yang ketika mengetahui kemungkaran
dia tidak “mampu” untuk mencegahnya. Namun ketika didalam Islam terlihat
menguntungkan, beramai-ramai berteriak “kembali kepada Islam”. Ini artinya,
kita tidak boleh berdiam diri dalam kelemahan, tidak boleh menyerah dalam
kondisi yang tidak ideal sekalipun. Kita tetap berupaya sekuat kemampuan, untuk
sama-sama meneriakkan “Islam itu indah kawan”. Sekecil apapun peran kita,
itulah sumbang sih terbesar, “Barang
siapa mengetahu ada kemungkaran, maka rubahlah dengan tanganmu, apabila tidak
mampu, maka rubahlah dengan lesanmu, dan apabila itu juga tidak mampu, maka
rubahlah dengan hatimu, meski jalan itu adalah pertanda selemah-lemah iman (
upaya)”. Maka bula Ramadhan merupakan momentum yang sangat tepat bagi kita
untuk bangkit. Bangkit dalam beraqidah yang benar, bangkit dalam menjalankan
syariat Islam. Bangkit untuk menunjukkan peran dan semua potensi kita.
Bahkan kita harus siap, dengan identitas
kita mencapai kemerdekaan hakiki. Mencapai kemuliaan hidup di dunia dan di
akhirat. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar