PASCA
RAMADHAN DAN IDUL FITRI
Oleh
: Anis Purwanto
Ramadhan
dan Idul Fitri telah berlalu. Kenangan indah sewaktu menjalankan ibadah puasa
selama satu bulan penuh masih terpatri kuat dalam ingatan. Semarak beridul
fitri juga masih kita rasakan. Akan tetapi sesungguhnya yang menjadi perhatian
kita selanjutnya adalah lebih kepada bagaimana pelaksanaan ibadah puasa itu
sendiri. Sebab kemampuan menahan diri ini akhirnya tidak dipahami hanya
dilakukan pada bulan Ramadhan saja akan tetapi terus berlanjut pada bulan-bulan
berikutnya. Kegembiraan pada Hari Raya Idul Fitri adalah hak bagi setiap orang,
namun kegembiraan ini tidak hanya sekedar menunjukkan partisipasi lahiriyah
yang semu ketika menyambut hari yang mulia ini. Akan tetapi kegembiraan
dimaksud dapat terpancar melalui adanya suatu keyakinan bahwa puasa dan amal
ibadahnya yang lain selama Ramadhan ini diterima oleh Allah SWT. “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan
Ramdahan dan hendaklah kamu mengagungkan Tuhan sesuai dengan petunjuk yang
telah diberikan-Nya kepadamu supaya kamu bersyukur”.
Idul
Fitri merupakan terminal baru yang kita singgahi setelah satu bulan penuh
menjalankan ibadah puasa. Terminal ini ternyata lebih sulit bila dibanding
dengan terminal sebelumnya yakni puasa itu sendiri. Karena terminal puasa hanya
dijejali dengan latihan-latihan sesuai dengan namanya syhr al-riyadhah (bulan latihan). Hasil dari latihan ini akan
dipertandingkan dengan masuknya hari raya Idul Fitri, untuk mengevaluasi
sejauhmana kemajuan-kemajuan yang telah diperoleh sewaktu latihan, kemudian
akan dipertandingkan dalam rentang waktu yang sangat panjang.
Maka
kemudian yang sangat berat adalah ketika kita memasuki terminal pasca lebaran yakni memelihara dan
melestarikan nilai-nilai Ramadhan dalam kehidupan sehari-hari. Setelah puasa
selesai nampaknya kita harus tetap “puasa”. Sebab tugas memelihara ini justru
lebih berat ketimbang melaksanakan perintah ibadah puasa itu sendiri. Selama
bulan suci Ramadhan, ada faktor pendukung yang sangat menguntungkan, sehingga
kita kuat menghadapi godaan dan ujian iman. Ketika itu seluruh kaum muslimin
serentak melaksanakan ibadah puasa, taraweh rame-rame, tadarus bersama.
Begitupun lingkungan sekitar kita , ikut menghormati bulan suci Ramadhan ,
warung makan tidak buka disiang hari, tempat-tempat hiburan pun diimbau tidak
menyajikan acara-acara yang bertentangan dengan norma susila, para penjaja
“kenikmatan sesaat” di lokalisasi banyak yang tutup, bahkan yang oprasinya
dipinggir-pinggir jalan di “garuk” disingkirkan dari peredaran, meskipun
bersifat sementara. Begitupula seluruh tayangan TV, sangat sarat dengan muatan
dakwah. Bergagai paket acara yang bernuansa Ramadhan pun disajikan. Seakan
tiada hari tanpa dakwah. Sehingga selama Ramadhan kita merasakan suasana yang
sangat Islami, jauh dari aroma mungkarot yang kerap mewarnai kehidupan kita.
Sehingga setelah puasa dan Idul
Fitri, kita masih harus tetap menjalankan puasa
sepanjang masa. Dan Idul Fitri merupakan awal perjanjian manusia dengan Allah
SWT, untuk melanjutkan tradisi positip yang telah dibangun ketika puasa
Ramadhan, sehingga masuk bulan Ramadhan berikutnya, yakni mengaplikasikan
amalan-amalan yang dilakukan pada bulan Ramadhan baik amalan yang berkaitan
dengan pisik maupun yang berkaitan dengan mental.
Sayangnya
situasi itu hanya dalam bulan Ramadhan, setelah Ramadhan usai semuanya kembali
pada posisinya masing-masing. Seakan kita tak pernah dilalui bulan Ramadhan.
Ibadah puasa dan qiyamullail (shalat malam) yang kita lakukan selama satu
bulan, tak nampakkan bekas sama sekali dalam diri kita. Sehingga inilah
nampaknya sinyalemen Rasulullah SAW, bahwa “sesungguhnya kita baru pulang dari
perang kecil menuju perang yang lebih dahsyat lagi, yaitu perang melawan hawa
nafsu”, menjadi kenyataan. Kita memang masih harus puasa lagi setelah puasa
usai. Buah nilai puasa satu bulan sebetulnya sudah mampu mewarnai corak
kehidupan kita selanjutnya. Dengan catatan bahwa puasa yang kita lakukan itu
puasa yang “imanan wah tisyaban” dan “ghufiralahu mataqodan min dambih”. Sebab
ada banyak model puasa yang juga banyak dilakukan , dimana dia melaksanakan
puasa akan tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa keculai hanya lapar dan haus.
Kasihan tentunya orang yang model puasa seperti itu, laksana orang yang jatuh
ketimpa tangga.
Selama bulan
Ramadhan pelaksanaan ibadah kita sangat baik, setidaknya menurut kita, bahkan
iman dan taqwa kita terasa sangat mantap. Laksana seorang prajurit yang pulang
dari medan peperangan dengan membawa kemenangan yang gilang gemilang. Kita
kembali menjadi suci lahir batin, bahkan
kita terasa dilahirkan kembali dari kandungan ibu, mental kita jadi kuat,
kesabaran kita menjadi tangguh, watak dan kepribadian kita berubah menjadi
pribadi yang luhur, sikap kita menjadi sikap yang siap menghadapi ujian didalam
menghadapi segala persoalan hidup dan kehidupan. Bahkan selama bulan Syawal,
kita aktip silaturahmi ke mana-mana, berhalal bihalal, minta maaf kepada sanak
kerabat dan handai taulan.
Akan tetapi
kini, kita saksikan, semua yang pernah ada hilang begitu saja. Semua kembali
kepada posisinya masing-masing. Bahkan sifat kemalas-malasan beribadah kambuh
lagi. Tradisi keislaman dalam bulan Ramadhan dan Idul Fitri tenggelam seakan
ditelan bumi. Masjid-masjid tampak sepi. Para muballigh bahkan penyuluh agama
yang selama Ramadhan dan Idul Fitri menjadi orang yang sangat sibuk mengisi
berbagai kultum atau ceramah, sekarang istirahat. Meski sebetulnya tidaklah
nganggur total, karena para da’I dan penyuluh agama biasanya sudah mempunyai
kelompok binaan yang rutin ia lakukan sebagai upaya pembinaan umat.
Malah yang
sangat mencengangkan bagi kita warga Pacitan, adalah pasca lebaran ini justru
pendaftaran cerai melonjak (Radar Pacitan, Rabu,14 September 2011). Tradisi
pulang kampung (mudik lebaran) yang
seharusnya hanya kita gunakan untuk silaturrahmi, rupanya dimanfaatkan sebagian
warga untuk mengurus perceraian. Hal ini dibuktikan bahwa waktu sepekan saja
jumlah perceraian yang didaftarkan di PA Pacitan mencapai 62 perkara. Meningkat
dua kali lipat, bila dibandingkan perkara yang masuk pada bulan sebelumnya yang
tercatat sekitar 20-30 perkara. Terlepas apapun alasan penyebab perceraian,
namun yang pasti kita sangat sayangkan, karena disaat kita bergembira ria
merayakan Idul Fitri, ada sebagaian masyarakat kita yang justru harus
mempertaruhkan keutuhan keluarganya dengan mendaftarkan cerai di Pengadilan
Agama. Apakah kemudian pantas apabila pasca lebaran yang seharusnya kita
pergunakan untuk melanjutkan tradisi keagamaan seperti yang kita lakukan di
bulan Ramadhan dan Idul Fitri menjadi tradisi
untuk cerai.
Kenapa persoalan
keluarga itu justru muncul disaat kedamaian selama bulan Ramadhan dan Idul
Fitri “Lebaran” sedang peroleh, hingga memutuskan mendaftarkan cerai.
Mestinya apabila nilai Ramadhan dan Idul Fitri betul-betul tertanam kuat dalam
sanubari, apapun persoalan yang timbul akan dapat kita antisipasi dan dicarikan
pemecahan yang terbaik. Akan tetapi semua memang kembali kepda kita
masing-masing. Kita menyadari bahwa perceraian itu adalah diperkenankan meski
di benci oleh Allah. Kita mengetahui bahwa faktor penyebab perceraian antara
lain tidak ada tanggung jawab, tidak ada keharmonisan, masalah ekonomi,
gangguan pihak ketiga, cacat biologis, krisis akhalak, KDRT dll, namun factor
nikah usia dini juga perlu mendapat perhatian. Sebab selain perceraian yang naik
tajam, pernikahan dini di Pacitan juga meningkat. Setidaknya, ada 74 dispensasi
nikah karena umur mempelai perempuan kurang 16 tahun. Faktor penyebabnya
didominasi kehamilan diluar nikah alias nikah kecelakaan atau marriage by accident (MBA). (Radar Pacitan,
Kamis 15 September 2011).
Jadi meraih
suatu prestasi memang sangatlah berat,
akan tetapi lebih berat lagi mempertahankannya. Selama Ramadhan dan Idul Fitri
kita telah diikat dengan tradisi keagamaan yang kuat dan kita berhasil
meraihnya. Karena itu tak pantaslah apabila kemudian tradisi keagamaan itu kita
tinggalkan. Lebih lagi kenapa ada tradiri lain (cerai) yang muncul secara
mencolok justru di waktu pasca lebaran. Sebagai
salah seorang praktisi dakwah “semampu
kita”, kita sangatlah prihatin. Apakah dakwah kita selama bulan Ramadhan
dan Idul Fitri itu tidak mengenai sasaran ?. Apakah ada faktor lain yang
menyebabkan semua ini terjadi pada umat Islam ?. ya sudahlah kita hanya
menyampaikan risalah tauhid itu kepada umat. Selanjutnya terserah kepada kita
masing-masing. Bagaimana merealisasikan semua yang telah diterima selama ini
dalam kegiatan nyata, Sehingga pasca Ramadhan dan Idul Fitri ini nampaklah ada
perubahan, dari yang negatip kepada yang positip dalam segala hal. Wallahu
a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar