KEMBALI KEPADA FITRAH
Oleh
: Anis Purwanto
Puasa
Ramadhan telah usai. Kini memasuki Idul Fitri. Kita berharap puasa, shalat dan
amal lainnya diterima oleh Allah SWT. Mudah-mudahan kita kembali kepada fitrah.
Sebab satu bulan lamanya, dimana umat Islam berjuang melawan hawa nafsu,
mengendalikan diri dan menjaga dari hal-hal yang mengakibatkan batal bahkan
rusak pahala puasanya. Bulan Ramadhan adalah salah satu bulan yang dapat
dijadikan tolok ukur meningkatnya kualitas iman dan taqwa kita kepada Allah
SWT.
Fitrah, mempunyai arti asal
kejadian, kesucian dan agama yang benar. Fitrah dalam arti asal kejadian
bermakna bebas dari noda dan dosa. Bagi orang yang berpuasa dan diterima
ibadahnya itu, diampuni segala dosa-dosanya, maka ia bagaikan bayi yang baru
dilahirkan dari perut ibunya. Bagaikan kertas putih yang bersih, tidak
tercoreng oleh cacat dan aib. Sedangkan
fitrah dalam artian agama yang benar mempunyai pengertian bahwa orang
yang kembali kepada fitrah adalah orang yang memiliki watak yang senang
menerima ajaran agama, yang berarti seseorang mempunyai keinginan yang kuat
untuk berupaya melaksanakan semua ajaran syariat Islam, “melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi laranga-Nya”, dalam hidup
dan kehidupannya, dunia dan akhirat. Fitrah selalu cenderung kepada kebenaran
dan tidak senang kepada segala bentuk kemungkaran dan berorientasi kepada “amar makruf nahi mungkar”.
Secara fitri, manusia dengan fitrahnya selalu
ingin berbuat baik, cinta damai dan menghindari permusuhan. Akan tetapi dalam
kenyataannya dalam kehidupan kita sehari-hari,
kita temui berbagai penyimpangan. Kemanakah kecenderungan fitrah kita
itu?. Yang pasti bahwa manusia dekat juga dengan sifat salah, sehingga aneka
ragam penyimpangan terjadi karena kesalahan diri, bukan dari dorongan naluri dasarnya,
melainkan karena situasi dan kondisi yang melingkupi dirinya. Jadi,
perbuatan-perbuatan buruk bisa saja terjadi, tetapi tidak berasal dari
fitrahnya. Sebab secara fitrah manusia adalah baik.
Kejahatan-kejahatan sering muncul
karena dorongan oleh tatanan sosial yang sesuai dengan ajaran agama, sehingga
yang buruk mengakibatkan yang buruk pula, misalnya tidak tegaknya hukum
mendorong orang manipulasi hukum , “main
hakim sendiri. Maraknya kriminalitas, antara lain disebabkan oleh kebebasan
manusia melakukan pelanggaran syariat. Semakin maraknya tindak kejahatan
sekarang ini karena dorongan setan yang telah menguasai manusia dan dunia.
Dalam kondisi dimana hawa nafsu telah menguasai diri, hati nurani menjadi
tumpul dan sulit menerima hidayah Allah SWT. Manusia makin jauh dari fitrah.
Sebab, hati tempat fitrah bersemayan dan berkembang biak, tertutup oleh noda
dan dosa.
Kini fitrah itu telah terbuka
kembali. Setelah kita berjuang selama satu bulan itu, kita di “gembleng” dalam irama peribadatan
yang sangat menjanjikan keindahan pahala dari Allah SWT. Sebab Syawal yang
berarti peningkatan, mengandung maksud agar hamba-hamaba Allah yang beriman
sadar, bahwa setelah mereka ditempa jasmani dan rohani dengan gemblengan yang
sangat ketat selama bulan Ramdhan , kualitas spiritualnya akan meningkat
menjadi mukmin yang sejati.
Bulan Ramadhan, Al-Qur’an dan
hidayah Allah merupakan satu paket, yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT.
Hidayah Allah SWT harus terus kita upayakan. Puasa, shalat tarawih, tadarus
Al-Qur’an, zakat, infaq, sadaqah serta amalan-amalan lainnya, merupakan upaya
untuk mendapatkan hidayah. Selain itu, juga harus bisa menjauhkan diri dari perbuatan
yang mungkar. Sebab ibadah yang merupakan perwujudan dari taqwa dapat
membersihkan diri dari noda dan dosa serta dapat mengembalikan manusia kepada
fitrahnya. Sebaliknya dosa dapat menjauhkan manusia dari fitrahnya. Karenanya, fitrah juga berarti hanif, maka manusia pada
dasarnya lebih condong kepada al-haq. Sehingga manusia mempunyai kecenderungan
berbuat baik dan menjauhkan diri dari perbuatan jahat.
Sedang fitrah yang terkait dengan
agama, Tauhid menyatu dengan fitrah. Maka Rasul diutus untuk membimbing umat
manusia untuk kembali kepada tauhid yang benar dan fitrahnya itu. Karenanya,
agama Islam disebut juga sebagai agama fitrah, yaitu agama yang sesuai dengan
fitrah manusia. Kembali kepada fitrah, berarti juga kembali kepada aqidah yang
benar, “Dinullah”. Manusia sebagai
mahkluk yang sempurna, dikarunia oleh Allah akal dan iradah. Dengan akal dan
iradah manusia mempunyai kemampuan untuk membedakan dan memilih mana yang baik dan yang buruk. Manusia yang
dilengkapi dengan iradah “kehendak bebas”,
dapat berfikir kritis terhadap semua hal yang terjadi di dalam hidup dan
kehidupannya. Sebab manusia tidak harus tunduk dengan kondisi sosial
lingkungannya. Karena apapun yang kita lakukan akan kita pertanggungjawabkan
kelak dihadapan perhitungan ilahi rabbi.
Pengaruh lingkungan memang sangat
menentukan. Sehingga anak yang semula dilahirkan dalam keadaan fitrah, setelah
dewasa bisa menyimpang jauh dari sifat dasarnya. Dengan kata lain dapat
tersesat aqidahnya, yang mestinya menjadi insan tauhid, berubah wujud menjadi
manusia yang kufur. Karena fitrah merupakan sifat universal manusia , maka
sebetulnya fitrah itu tidak bisa berubah. Akan tetapi karena unsur akal dan
iradah yang keliru didalam memilih dan mengambil keputusan, maka manusia
terjauh dari fitrahnya dan menyimpang jauh dari aqidah yang benar.
Manusia sebagai mahkluk sosial
tidak bisa terlepas dari kehidupan sehari-hari. Ia berada ditenga-tengah
realitas sosial, yang sewaktu-waktu dapat menyeret dirinya menyimpang dari
fitrahnya. Karenanya, ia dituntut untuk mampu beradaptasi, namun tidak boleh
lebur sehingga terasing dari fitrahnya. Meski ia hidup ditengah-tengah aneka
ragam paham dan perilakunya, idiologi dan agamanya, manusia dituntut juga mampu
hidup rukun dengan penuh kedamaian, tanpa mengorbankan fitrah dan aqidahnya.
Oleh
karenanya, dalam rangka memelihara dan mengembalikan fitrah, yang telah kita
upayakan memalui ibadah Ramadhan, ada baiknya selalu kita sandarkan harapan itu
kepada Allah SWT. “Ya Allah, tolonglah kami
(menjadi hamba) yang senantiasa selalu mengingat-Mu, dan tolonglah kami
(menjadi hamba) yang senantiasa bersyukur kepada-Mu, dan tolonglah kami untuk
memperbaiki ibadah kami kepada-Mu”. Dari itulah, yakin sandaran kita akan kuat
dan tak mudah tergoyahkan. Nilai-nilai Ramadhan akan menyinnari kehidupan kita,
dengan senantiasa mengingat Allah (dzikrullah atau zikir, bersykur akan karunia
yang telah Allah berikan dan tetap beribadah dimana kita berada dan dalam
suasana yang bagaimanapun. Walahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar