ADOPSI ANAK
Ed : Anis Purwanto
Anak
merupakan anugerah terindah yang tidak tergantikan dalam sebuah keluarga.
Setiap orang yang berumah tangga sangat menginginkan akan hadirnya seorang
anak. Anak dapat memberikan hiburan tersendiri kepada orang tua dikala mereka
penat dengan kegiatan sehari-hari. Selain itu anak juga merupakan penerus
keturunan dalam keluarga.
Sayangnya,
tidak semua keluarga memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki anak kandung.
Banyak hal yang menyebabkan hal ini. Bisa jadi karenan alasan medis, usia, atau
karena memang belum “dipercaya” untuk memiliki anak oleh Tuhan.
Bagi
orang yang tidak mempunyai anak, adopsi merupakan jalan yang tepat. Banyak
keluarga yang mengadiopsi anak sebagai “pancingan” agar cepat dikaruniai anak
kandung. Namun ada yang mengadopsi anak untuk meringankan beban orang tua
kandung si anak, terlebih lagi jika orang tua kandung anak tersebut berasal
dari keluarga yang tidak mampu. Dalam Islam mengadopsi anak dinamakan tabbani
artinya pengangkatan anak atau adopsi.
Rasulullah SAW juga pernah mengadopsi anak yaitu ketika beliau
mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anaknya.
Tabbani
secara harfiah artinya seseorang yang mengambil anak orang lain untuk
diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Hal ini untuk memberikan kasih
sayang, nafkah, pendidikan dan keperluan lainnya. Maka itu, sangat baik jika
mengambil anak orang lain yang kurang mampu (yatim piatu) , hukum anak itu
bukanlah anaknya.
Di
Indonesia, peraturan terkait pengangkatan anak terdapat pada UU Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak. Demikian pula dalam Kompilasi Hukum Islam juga
turut memperhatikan aspek ini, seperti tertuang dalam Pasal 171 huruf h : “Anak angkat adalah anak yang dalam
pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya
beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya
berdasarkan putusan pengadilan”. (Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Dep
RI, 2001, hal 82).
Kalangan
MUI dalam fatwanya mengingatkan bahwa ketika mengadiopsi anak, jangan sampai si
anak putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya. Sebab hal
itu sangat bertentangan dengan syariat Islam.
Sebagai pertimbangan, sebagaimana salah satu hasil dari Rakernas MUI yang
berlangsung pada bulan Maret 1984 MUI
memandang bahwa Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, yaitu anak yang
lahir dari perkawinan (pernikahan).
Dalam
Al-Qur’an disebutkan bahwa , “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi
seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu
yang kamu zhihar(*1) itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak
angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah
perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia
menunjukkan jalan (yang benar)” (Al-Ahzab : 4 ).
Juga disebutkan dalam Surat Al-Ahzab ayat 5 : “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu)
dengan (memakai) nama bapak bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi
Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah
mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu(*2). Dan tidak ada
dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya)
apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.
Keterangan :
(*1). Zhihar ialah perkataan seorang suami
kepada istrinya : Punggungmu haram bagiku seperti punggung ibumu”. Atau perkataan lain yang sama
maksudnya.adalah menjadi adat kebiasaan bagi orang Arab Jahiliyah bahwa dia
berkata demikian kepada istrinya maka
istrinya itu haram baginya untuk selama-lamanya. Tetapi setelah Islam dating,
maka yang haram untuk selama-lamanya itu dihapuskan dan istri-istri itu kembali
halal dengan membayar kafarat (denda).
(*2). Maula-maula ialah seorang hamba sahaya
yang sudah dimerdekakan atau seseorang yang telah dijadikan anak angkat,
seperti Sali anak angkat Huzaifah,
dipanggil maula Huzaifah.
Dalam Surat Al-Ahzab ayat 40 disebutkan bahwa :
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki
diantara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Nabi Muahmmad SAW
bersabda : “Dan Abu Dzar RA sesungguhnya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda
:”Tidak seorangpun mengakui (membangsakan diri) kepada bukan ayah yang
sebenarnya, sedang ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur”.
(HR Bukhari dan Muslim). Contohnya : Rasulullah SAW tetap mempertahankan nama
ayah kandung Zaid, yakni Haritsah, dengan sebutan Zaid bin Haritsah bukan Zaid bin
Muhammad. Karena pengangkatan anak tak bisa menjadikan anak itu sederajat
dengan anak sendiri di dalam nasab, mahram maupun hak waris.
Menurut Islam,
pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak dengan orang tua
kandungnya. Namun demikian, terkadang terjadi dimana dalam mengangkat anak
orang tua angkat merahasiakan kepada anak mengenai orang tua kandungnya dengan
maksud agar anak akan menganggap orang tua kandungnya. Disamping itu bila anak
tersebut nantinya menjadi anak yang sukses, misalnya dalam status ekonomi dan
sosial (terkenal, kaya, artis dll), orang tua asli akan menuntut agar anaknya
kembali kepadanya. Dan ini nantinya akan membawa implikasi hukum (kontra
produktif). Karenanya, banyak kasus orang yang mengadopsi anak selalu merahasiakan
alamatnya, bahkan ketika serah terima adopsi orang tuanya tidak boleh
mengabadikan dengan foto si jabang bayi, dikawatirkan dia mengenang selalu
wajah anaknya.
MUI menilai
pengangkatan anak adalah merupakan perbuatan terpuji dan dianjurkan oleh agama
serta diberi bahala. Nantinya, bagi ayah angkat, boleh mewasiatkan sebagian
dari peninggalannya untuk anak angkatnya.
Pasal 12 (1) UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak berbunyi :
“Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan
kepentingan kesejahteraan anak”.
PP Nomor 7 Tahun 1977
tentang gaji PNS, memungkinkan PNS untuk mendapatkan tunjangan bagi anak yang
diadopsi melalui penetapan pengadilan, mulai praktek adopsi dengan ketetapan
pengadilan.
Juga diatur dalam UU
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 56 :
1.
Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik,
diarahkan dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.
Dalam hal orang tua tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya
dengan baik dan sesuai dengan undang-undang ini maka anak tersebut boleh diasuh
atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
Sejalan dengan Konvensi
Hak Anak pada pasal 21 (a). Negara akan : Menjamin bahwa adopsi anak hanya
disahkan oleh puasa yang berwenang yang menetapkan, sesuai hukum dan prosedur
yang berlaku dan berdasarkan dengan semua informasi yang terkait dan terpercaya
bahwa adopsi itu diperkenankan mengingat status anak sehubungan dengan keadaan
orang tua, keluarga, walinya yang sah dan jika diisyaratkan, orang-orang yang
berkepentingan telah memberi persetujuan mereka atas adopsi tersebut atau dasar
nasehat yang mungkin diperlukan.
Hal tersebut diatas
ternyata juga telah diakomodasikan di dalam RUU Perlindungan Anak pasal 39 :
1.
Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik
bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.
Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan
hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.
3.
Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon
anak angkat.
4.
Pengangkatan anak oleh warga Negara asing hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir.
5.
Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan
dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Motivasi
pengangkatan anak :
1.
Motivasi mengangkat anak, yang semata-mata berkaitan atau demi masa
depan anak tersebut.
2.
Penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut di masa yang akan
datang, lebih baik.
Akibat
pengangkatan anak dari segi hukum.
Setiap
tindakan pasti akan menimbulkan akibat tertentu. Demikian juga dengan adopsi
anak. Ada akibat yang harus diterima oleh anak maupun orang tua kandung dan
orang tua angkat. Dari segi hukum, ada dua akibat yang akan berpengaruh pada
kehidupan anak dimasa depan.
1.
Perwalian.
Dalam hal perwalian,
sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali
dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang
tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan
beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya
hanyalah orang tua kandungnya atau saudara sedarahnya.
2.
Waris.
Khazanah hukum kita,
baik hukum adat, hukum Islam maupun hokum nasional, memiliki ketentuan mengenai
hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa
memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak
angkat.
-
Hukum Adat.
Pengangkatan anak tidak
otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orang tua kandungnya.
Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orang tua amgkatnya, dia juga
tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya.
-
Hukum Islam
Pengangkatan anak tidak
membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan
hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris
dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah
kandungnya.
-
Peraturan Perundang-undangan.
Dalam Staatblaad 1917
No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hokum
memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari
perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya,
akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang
berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan
anak tersebut.
Perwalian
Dalam Pernikahan.
Sebagai ilustrasi
tentang bagaimana kelak si anak hasil adopsi bila sudah dewasa dan melaksanakan
pernikahan. Maka yang harus dipikirkan adalah tentang wali nikah, karena
prasyarat utama/syahnya nikah harus ada wali. Wali nikah ada dua macam, yakni
wali nasab dan wali hakim. Dalam
Kompilasi Hukum Islam, Bagian Ketiga tentang wali Nikah diterangkan dalam
beberapa pasal, yakni :
Pasal 19 : Wali nikah dalamperkawinan
merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak
untuk menikahkan.
Pasal 20 :
(1) Yang bertindak sebagai
wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari :
a. Wali nasab.
b. Wali hakim.
Pasal 21 :
(1) Wali nasab terdiri dari
empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan
kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon
mempelai wanita.
Pertama , kelompok kerabat laki-laki garis
lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua , kelompok kerabat saudara laki-laki
kandung atau laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara
laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung
kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu
kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali,
maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat
kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Apabila dalam satu
kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali nikah
ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
(4) Apabila dalam satu
kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau
sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah,
dengan mengutamakan yang lebih tuadan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22 :
Apabila wali nikah yang paling berhak,
urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah
itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali
bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Pasal 23 :
(1) Wali hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin
menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal
atau enggan.
(2) Dalam hal wali dlal atau enggan
maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan
Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Karenanya, yang
bertidak sebagai wali nikah kelak bila si anak hasil adopsi menikah adalah
dengan menggunakan wali hakim, apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau karena tidak
diketahui tempat tinggalnya.
Kesimpulan:
1. Dalam ajaran Islam tentang
adopsi anak, jangan sampai si anak putus hubungan nasab dengan ayah dan ibu
kandungnya. “Barang siapa mengaku orang lain sebagai bapaknya, dan ia tahu
bahwa orang tersebut bukan bapaknya, maka surga diharamkan terhadap dirinya”.
(Hadits Nabi).
2. Tidak diragukan lagi bahwa
adopsi merupakan perbuatan yang terpuji dan dianjurkan oleh agama serta diberi
pahala.
3. Wali nikah terhadap anak
hasil adopsi menggunakan wali hakim KHI pasal 23 ayat 1), karena wali nasab
tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat
tinggalnya (gaib).
·
Sumber Bacaan :
-
Diambil dari beberapa tulisan tentang adopsi anak.
-
Al-Qur’an dan Tarjamahannya.
-
KHI di Indonesia, 2001.
-
UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
-
dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar