KEMULIAAN SEORANG MUSLIM
Oleh : Anis Purwanto*
Dalam kehidupan sehari-hari yang kita jalani, berbagai
macam cara yang ditempuh oleh manusia untuk mencari sesuatu yang dapat
melegakan jiwanya, mencari kemuliaan dan martabat kemanusiaan. Berbagai macam cara
dilakukan, baik dengan cara yang terhormat ataupun melanggar aturan sekalipun.
Bahkan terkadang tak memperdulikan nilai-nilai dan norma agama dan masyarakat.
Ketika kebutuhan jiwa terpenuhi, perasaan bahagiapun tersegarkan, kemudian
merasa bangga dan mulia. Namun, kadang kala kebanyakan dari kita melupakan
hakikat dan karakteristik kemuliaan yang sebenarnya.
Diantara
karakter kemuliaan sebagai seorang hamba beriman yang kami sampaikan kali ini
adalah tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak berfaedah, apalagi yang
senyatanya melanggar syariat agama atapun nilai-nilai dan norma kemanusiaan.
Sebab sebagai orang yang beriman, kita mempunyai urusan yang sangat penting,
bahkan melebihi yang ada di dunia ini, yakni
urusan keakhiratan. Orang-orang yang beriman tak memiliki waktu kosong lagi
untuk bermain-main yang tak berarti, karena ia disibukkan dengan tuntutan
keimanannya, dakwahnya dan beban-beban tugasnya yang ia tanggung.
Orang-orang
yang mulia juga adalah orang-orang yang segera sadar ketika diingatkan dan
mudah mengambil pelajaran jika diberi nasehat, hatinya terbuka untuk menerima
ayat-ayat Allah yang mereka terima dengan pemahaman dan mengambil pelajran.
Sehingga, mereka mengimaninya dengan keimanan yang penuh dengan kesadaran,
bukan fanatisme buta dan tidak menenggelamkan wajah. Jika mereka bersemangat
membela aqidahnya, membela agamanya, membela saudara seiman mereka, maka hal
itu mereka lakukan dengan sikap semangat seorang yang benar-benar mengetahui
dan memahami ajaran agamanya, penuh kesadaran dan hatinya terbuka. “Dan
orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka,
mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta”. (QS. Al
Furqon 73)
Inilah
perasaan fitrah keimanan yang mendalam. Perasaan senang untuk menambah bilangan
orang-orang yang berjalan dijalan Allah, dengan mengedepankan perjuangannya
untuk menegakkan kalimah Allah dimuka bumi ini, dengan melaksanakan amar makruf
nahi mungkar, mengajak untuk melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan
Allah SWT. Sebab tidak cukup kesholihan
itu adalah milik pribadi, akan tetapi milik semua, sebagai rahmatan lil
‘alamamin. Orang-orang yang beriman juga selalu menyenandungkan do’a-do’a untuk
menambah jumlah orang-orang penyembah Allah. Dan yang pertama adalah diri dan
keluarganya, baru kepada kita semua.
Setiap
orang beriman pasti akan menyadari bahwa
ketika ia hidup di dunia ini, ia akan hidup dalam batas waktu tertentu yang
telah ditetapkan oleh san pencipta. Usia kita berbeda satu sama lain, begitu
juga amal dan bekalnya. Setiap orang yang berimanpun amat menyadari bahwa
mereka tidak mungkin selamanya tinggal di dunia ini. Kita menyadari bahwa kita
sedang melalui perjalanan menuju kepada kebahagiaan yang kekal abadi. Dan ini
sungguh berbeda dan sangat berlawanan sekali dengan kehidupan orang-orang yang tidak
beriman. “Tetapi kamu (orang-orang kafir) lebih memilih kehidupan duniawi.
Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal”. (QS. Al A’la
:16-17).
Sayangnya,
kesadaran ini seringkali terlupakan oleh diri kita sendiri. Padahal, bukan
tidak mungkin, hari ini, esok, atau lusa, perjalanan itu harus kita lalui,
bahkan dengan sangat tiba-tiba. Jiwa manusia yang selalu digoda dan diuji oleh
hawa nafsu, kemalasan bahkan lupa, kemudian menjadi lemah semangat dalam
mengumpulkan bekal dan beribadah, membuat kita menyadari sepenuhnya bahwa kita adalah manusia yang selalu membutuhkan
siraman-siraman suci berupa firman Allah
dan sabda Rasulullah, ucapan hikman para ulama, bahkan saling menasehati dengan
penuh hikmah dan penuh keihklasan sesama saudara seiman. Sehingga kita tetap
berada pada jalan yang benar, istiqomah melaui sebuah proses perjalanan menuju
Allah SWT.
Lalu
yang perlu menjadi bahan perhatian kita dalam
mempersiapkan bekalan untuk melalui perjalanan dari dunia ini menuju kehidupan
yang abadi di akhirat, adalah :
Pertama, bekal berupa
keimanan yang benar dan kokoh, aqidah yang bersih dan suci dar unsur-unsur
syirik. Meyakini dengan sebenarnya bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa,
kepada-Nya sajalah tempat bergantung, Ia adalah Pencipta, Pemberi rizki,
Pengatur Alam semesta, kemudian memurnikan ibadah kepadaNya, ihklas dalam
melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah diperintahkan oleh Allah dan
meninggalkan seluruh laranganNya.
Kedua, adalah kesungguhan
dalam amal sholeh dan dalam menangkap segala peluang kebajikan. Seperti halnya
perjalanan jauh yang akan dilalui, jika tidak disertai dengan kesungguhan dalam
mengatur waktu dan mempersiapkan segala sesuatunya, maka boleh jadi ia akan
tertinggal, bahkan tersesat dan kebingungan. Sesunguhnya apa yang dilakukan
seseorang adalah berpulang untuk dirinya sendiri. Kemudian penting halnya juga
untuk menangkap setiap peluang amal di sekitar kita, meski amal itu sederhana
dan tidak datang setiap waktu. Cukuplah menjadi pelajaran kita bersama tentang
seorang pelacur yang rela mengambilkan minum untuk seekor anjing yang kehausan,
padahal ia sendiri sedang dahaga luar biasa, dahaga akan ampunan Tuhan, namun
dengan amalan yang sangat sederhana itu ternyata dapat menghantarkan ampunannya
dan menghantarkan dirinya ke surga. Maha suci Allah, kesempatan yang seperti
ini memang tidak datang dua kali, namun pasti akan kita temui dalam kehidupan
sehari-hari. Misalnya yang paling
sederhana lagi menyingkirkan duri yang melintang dijalan. Hanya saja, perlu
kejelian dan kesungguhan hati.
Ketiga, mewaspadai akan
hilangnya bekal yang telah dikumpulkan, lantaran sikap kita terhadap orang
lain. Inilah kerugian yang sangat besar, jika hilangnya bekal di dunia, masih
ada kesempatan untuk dicari kembali, namun jika hilangnya bekal itu di akhirat
bagaimana mungkin untuk mengumpulkannya kembali, sedang hisab telah
menunggu. Sungguh inilah kerugian yang
besar dan amat menyedihkan. Bekalan yang sudah disiapkan semasa di dunia, tidak
dapat menolongnya sama sekali. Maka kebersihan hati, kebersihan ucapan,
kebersihan sikap, berbaik sangka pada sesama orang beriman harus selalu
ditanamkan di dalam hati kita masing-masing, agar setiap kebaikan yang telah
dilakukan tidak hilang sia-sia.
Maka seharusnyalah setiap orang beriman benar-benar
memberikan perhatian besar dalam mempersiapkan diri dan mengumpulkan bekal
untuk menghadapi hari yang kekal dan abadi itu. Karena hakekatnya, hari inilah
masa depan manusia yang sesungguhnya. “Hai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
disiapkannya untuk hari esok, dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Harapannya, kita selalu dapat memperbaharui kembali komitmen yang
telah kita ikrarkan, untuk selalu menjadikan sholat kita, ibadah kita, hidup
dan mati kita hanyalah untuk Allah , Tuhan semesta alam. Wallahu a’lam. (Diambil
dari beberapa tulisan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar