MEMBANGUN PRIBADI
MUSLIM
Oleh : Anis Purwanto
Sebagaimana kita ketahui, hidup merupakan suatu perjalanan
sari satu titik ke titik yang lain, beranjak dari garis masa lalu, melewati
masa kini, untuk menuju masa depan. Masa lalu adalah sebuah sejarah, masa kini
adalah realita dan masa yang akan datang adalah cita-cita. Sebagai seorang
muslim, tentunya kita tidak akan membiarkan hidup ini sia-sia. Apabila
kita perhatikan dengan seksama. Keadaan kehidupan manusia di dunia ini dapat
kita umpamakan laksana seorang musafir yang sedang menempuh perjalanan berat
nan panjang, mengarungi samodra menerjang ombak menuju pantai kebahagiaan. Di
tengah jalan banyak ditemui tantangan, rintangan dan hambatan, yang silih
berganti. Sehingga apabila si musafir tidak hati-hati perahu hidupannya akan
kandas dan tenggelam di tengah-tengah samodera nan luas. Akhirnya semua tujuan
hidupnya tidak dapat tercapai, dan senyatanya memang tidak semua cita-cita
manusia dapat terlaksanan, meski telah diupayakan dengan semaksimal, tidak semua
upaya manusia mesti berhasil.
Oleh
karenanya, karena diatas manusia masih ada dzat yang melebihi segala-galanya,
dzat yang Maha menentukan , yaitu Allah SWT. Dunia dan segala isinya ini berada
dalam kekuasaan Allah, manusia siapapun tidak akan lepas dari kengawasan Allah
SWT. Sehingga didalam hidup dan kehidupannya diwajibkan untuk berihtiyar sekuat
kemampuan untuk meraih apa yang menjadi cita-citanya. Menjauhkan diri dari
hal-hal yang dapat merugikan diri dan orang lain (syariat Islam). Manusia ingin pandai harus mau belajar, kepingin harta benda yang banyak (kaya)
juga harus mau berusaha dan bekerja dengan cara yang halal. Tidak boleh
berangan-angan ingin kaya tetapi tidak kerja, mengharap hujan emas dari langit.
“Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (QS Jumu’ah:10).
Jadi hidup di dunia ini mejadi terlalu singkat jika hanya dipenuhi
dengan keluhan-keluhan, kegelisahan, rasa pesimis dan angan-angan. Jiwa seperti
ini, tidak mencerminkan jati diri seorang muslim sejati, “Seorang muslim tidak akan pernah ditimpa kecuali kebaikan, apabila
ditimpa kejelekan ia bersabar, dan jika dilimpahkan kenikmatan ia bersyukur”.
Sebab seorang muslim tidak akan pernah mengeluh menghadapi kehidupan, karena ia
telah memiliki kepribadian yang utuh dalam menghadapi segala macam ujian hidup.
Mari
kita lihat, masyarakat saat ini yang berada dalam zaman yang serba modern.
Tetapi disisi lain kondisi umat berada dalam keadaan lemah, terjadi berbagai
krisis dan rentan tertimpa perpecahan, suka bentrok, bahkan perselisihan yang
berbau SARA sering terjadi. Berbagai symbol negative pun acap kali tersematkan
di dada bangsa ini. Padahal dulu, bangsa kita terkenal sebagai bangsa yang
sangat santun dan menjunjung toto kromo. Mengapa
sekarang berbeda ?. Nyawa manusia begitu menjadi lebih rendah harganya. Hanya
karena gara-gara dituduh mencuri uang sepuluh ribu rupiah, seseorang dapat
menemui kematian. Bahkan saat terakhir ini, sering kita lihat fenomena baru
didalam menyelesaikan suatu perkara dengan hukum
massa. Hukum masih pandang bulu.
Dekadensi moral terjadi hampir di semua lapisan masyarakat.
Kekerasan,
dan ancaman kekerasan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan
kita saat ini. Penculikan, penjarahan, pembunuhan telah menjadi fakta
keseharian. Aksi-aksi teror dan intimidasi yang bermunculan dimana-mana
merenggut rasa aman, menyebarkan rasa ketakutan dan menambah ketidakpastian.
Sungguh sebuah tantangan tersendiri dalam upaya kita membuka lembar sejarah
kehidupan baru. Bahkan, kekerasan
terhadap perempuan merupakan bagian integral dari fenomena kekerasan secara
umum. Kekerasan seksual terhadap perempuan muncul sejalan dengan meningkatnya
kekerasan di masyarakat dan sama-sama berakar pada kegagalan system politik,
ekonomi dan social untuk mengelola konflik.
Kondisi
semacam ini tidak mungkin terus menerus dibiarkan. Siapapun yang merasa sebagai
muslim yang memiliki ghirah
(semangat) keislaman, tidak akan merelakan hal ini. Agama kita bukan agama fardiyah (individual), tetapi agama pemersatu (ummatan wahidah), bahkan satu
jasad. Jika sakit salah satu anggota tubuh, maka yang lain akan merasakannya.
Islam bukan hanya agama ibadah. Tetapi merupakan the way of life (jalan hidup) yang paripurna, mengatur segala
urusan dunia akhirat. Agama kita mengajak kepada wihdah (persatuan), al-quwwah
(kekuatan), al ‘izzah (harga diri), al-‘adl (keadilan0 serta kepada jihad (perjuangan).
Maka,
misi risalah Islam yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) ini
bertujuan untuk memberikan hidayah (petunjuk) manusia pada agama yang haq, yang
diridlai Allah SWT. Fungsi Islam yang menyejukkan bagi seluruh umat manusia
ini, tidak mungkin terwujud, kecuali jika benar-benar diamalkan oleh
orang-orang yang memiliki kepribadian, atau mempunyai jati diri sebagai seorang
muslim. Karenanya, semua itu pasti berawal dari diri, lalu keluarga, masyarakat
dan lingkungan.
Kaum
muslimin adalah mayoritas di negeri ini, namun seberapa banyak dari kita yang
telah mempunyai kepribadian sebagai seorang muslim. Selebihnya, ada yang
mempunyai kepribadian terpisah (split
personality). Orang semacam ini meski agamanya saja sebagai muslim, namun
perilaku, sikap dan tindakannya sama sekali tidak menunjukkan keislamannya.
Kalau demikian keadaannya, bagaimana Islam ini dapat menjadi rahmatan lil
‘alamin. Jika pemeluknya tidak mau memehami, menghayati dan mengamalkan
agamanya. Inilah persis apa yang telah disinggung oleh Rasulullah SAW , “Akan datang suatu masa, dalam waktu dekat,
ketika bangsa-bangsa (musuh-musuh Islam) bersatu padu mengalahkan
(memperebutkan) kalian. Mereka seperti gerombolan orang rakus yang berkerumun
berebut hidangan makanan yang ada di sekitar mereka”. Salah seorang shahabat
bertanya : “Apakah karena kami (kaum muslimin) ketika itu sedikit ?”.
Rasulullah menjawab : “Tidak ! Bahkan kalian waktu itu sangat banyak jumlahnya.
Tetapi kalian bagaikan buih diatas lautan (yang terombang-ambing). (Ketika itu)
Allah telah mencabut rasa takut kepadamu dari hati musuh-musuh kalian, dan
Allah telah menancapkan di dalam hati kalian “wahn”. Seorang shahabat
Rasulullah bertanya; “Ya Rasulullah, apa yang dimasud dengan ‘wahn’ itu ?.
Dijawab oleh Rasulullah SAW : “Cinta kepada dunia dan takut (benci) kepada
mati”. (Imam Bukhari).
Karenanya,
satu kunci untuk membangun pribadi muslim yang sejati adalah iman dan taqwa
kepada Allah SWT. Karena keyakinan terhadap Allah membuat muslim selalu dalam
keadaan optimis akan pertolongan-Nya. Yakin terhadap Malaikat membuat muslim
menyadari bahwa mahkluk Allah yang paling taat ini, akan selalu mencatat segala
perbuatannya di dunia, sehingga amal perbuatan muslim selalu dipenuhi dengan
hal-hal positif. Taat melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dan
meninggalkan semua yang dilarang, dengan melaksanakan ibadah kepada Allah SWT.
Karena ibadah adalah implementasi dari sebuah keyakinan. Ibadah dalam Islam
tidak hanya mencakup ritual keagamaan semata, tetapi semua lini kehidupan
didalam memakmurkan dunia ini yang tidak bertentangan dengan landasan Al-Qur’an
dan Sunnah. Demikianlah, seseorang muslim harus memahami arti ibadah dengan
benar. Ibadah yang benar lahir dari aqidah yang benar. Ibadah yang benar adalah
ibadah yang membawa pengaruh pada diri sendiri dan orang lain (umat). Sehingga
terbentuk pribadi muslim yang sejati, sebagaimana yang digarisan oleh Al-Qur’an
dan Sunnah. Hal tersebut akan kita miliki apabila kita upayakan dengan amal
usaha yang sungguh-sungguh, intensif dan berkesinambungan, hingga akhir hayat.
Sehingga pribadi yang demikian ini adalah pribadi yang mampu mengemban dan
memikul misi Risalah Islam, dalam upaya mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil
‘alamin. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar