MEMAKNAI HIDUP DENGAN IMAN DAN TAQWA
Oleh
: Anis Purwanto
Kita diciptakan didunia ini untuk satu hikmah yang agung dan
bukan hanya untuk bersenang-senang dan bermain-main. Tujuan hidup dan hikmah
penciptaan manusia adalah ibadah
kepada-Nya tanpa syirik. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikitpun
dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya
Allah Dialah Maha Pemberi rizki Yang Mempunyai Kekuatan lagi sangat Kokoh”, (QS
Adz Dzariyat:56-58). Sehingga salah duga bilamana ada anggapan penciptaan
itu hanya dilakukan Allah dengan main-main saja, namun diciptakan untuk satu
hikmah, “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami ciptakan kamu
secara main-main (tanpa ada maksud), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan
kepada Kami”. (QS. Al-Mu’minun:115).
Allah
tidak menjadikan manusia hanya untuk makan, minum dan bersenag-senang dengan
perhiasan dunia, akan tetapi kita semua diciptakan untuk satu hikmah dan tujuan
yang agung dan dibebani perintah dan larangan, kewajiban dan pengharaman, untuk
kemudian dibalas dengan pahala atas kebajikan dan disiksa atas keburukan. Sebab yang kita lakukan didunia ini
mengandung konsekwensi dan kelak akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan
Allah.
Demikianlah
seorang manusia yang ingin sukses harus dapat bersikap profesional dan
proporsional dalam mencapai tujuan hidup tersbut. Sebab tujuan akhir seorang
manusia adalah terwujudnya peribadatan kepada Allah SWT dengan iman dan taqwa.
Karenanya, seseorang yang dianggap sukses dan paling mulia disisi Allah adalah
yang paling taqwa, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Naha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujurat:13). Manusia memang
tidak lepas dengan kepentingan duniawi, namun bagi umat Islam pencapaian
kesempurnaan ukhrowi adalah segala-galanya. Sehingga keserasian pencapaian
keduanya menjadi sangat penting, yakni bahagia di dunia dan di akhirat.
Sehingga seseorang yang ingin mendapatkan dunia harus bekerja sekuat tenaga,
seakan ia akan hidup selama-lamanya di dunia ini, akan tetapi ia harus
beribadah dengan khusuk, mengharap ridla Allah seakan-akan besuk ia akan mati.
Hidup memang penuh
perjuangan, halangan dan rintangan siap menghadang. Semakin tinggi tujuan yang
akan kita raih semakin berat ujian dan tantangan yang dihadapi. Di dunia tidak
ada yang serba “tinggal” enaknya saja, semua butuh perjuangan. Sebab,
sebagaimana dapat kita semisalkan hidup manusia di dunia ini bagaikan seorang
musafir, mengarungi samodera nan luas, menerjang ombak yang ganas, menuju
pantai kebahagiaan, hingga bila ia tidak hati-hati kapalnya akan tenggelam.
Karena manusia mempunyai sifat yang sangat lemah, tidak heran apabila kemudian
banyak tujuan manusia yang tidak dapat tercapai. Meski menurutnya ia telah
berjuang sekuat tenaga, peras keringat banting tulang, panas kepanasan hujan
kehujanan. Kita sadar bahwa diatas manusia ada dzat yang menentukan segalanya.
Manusia memang mahkluk
yang sangat unik kita rasakan, bagaimana Allah SWT menciptakan manusia dengan
diperlengkapi sepasang tangannya. Tangan sebagai alat untuk menyimpan dan
menyembunyikan berbagai bahan makanan demi kepuasan di masa depan. Hanya
manusia yang memahami hal ini tentunya. Hanya manusia yang mengerti bagaimana
cara menabung dan menyelamatkan aset kebutuhan yang akan datang. Hanya manusia
yang mempunyai kekawatiran mengenai rizki yang akan datang. Takut kalau tidak
kebagian, takut kalau tidak mendapatkan.
Hal ini sungguh berbeda
dengan hewan, semisal kambing atau ayam sekalipun. Mereka tidak dipersenjatai
tangan. Mereka makan untuk saat itu saja, tidak perlu memikirkan masa depan,
apalagi menimbun kebutuhan pangan. Sebanyak apapun padi yang ada di sawah,
seekor burung hanya akan makan
seperlunya saja. Burung tidak akan terbang sambil membawa tas kresek guna
persediaan hari esok. Dia akan makan dengan paruhnya. Begitu juga dengan
kambing, sebanyak apapun rumput yang tersedia di padang nan luas, dia akan
makan yang ada dihadapannya saja, meski rumput tetangga lebih hijau. Mereka
tidak pernah memikirkan bagaimana caranya membawa pulang rumput untuk anak
istrinya. Mereka akan makan seperlunya saja, dengan mulut yang dimilikinya.
Tidak demikian manusia,
setelah keperluan perut terpenuhi selanjutnya manusia akan memikirkan bagaimana
menjaga gengsi dengan kekayaan yang melimpah. Rumah mewah, kendaraan mengkilat,
wanita cantik yang memika, menjadi perhiasan istimewa. Kemudia yang lebih parah
dari semua itu adalah bila mana ada yang sampai menggadaikan agama demi harta
dan “ta” yang lain tentunya. Agama telah diselewengkan, iman dan taqwa
bukan lagi menjadi panduan hidup, akan tetapi agama hanya perhiasan identitas
semata. Islam menjadi tredmark tanpa subtansi, karena agama mereka telah
bergeser kepada uang. Semboyan mereka “waktu adalah uang”, semua akan
dihitung secara untung rugi, “Akan datang kepada manusia suatu waktu yang
mana perhatian utama mereka terletak pada kepentingan perutnya, kebanggaan
mereka adalah harta-bendanya, qiblatnya adalah para wanitanya dan agama mereka
adalah uang-uangnya. Mereka itulah mahkluk yang paling buruk yang tidak ada
tempat disisi-Nya”.
Kita rasa benar apa yang dikatakan Rasulullah SAW itu di masa
globalisasi ini seolah tidak ada orang yang tidak mementingkan urusan perutnya
menjadi yang utama. Bagaimana pekerjaan hanya menjadi tujuan utama untuk
menumpuk harta benda guna menjaga stabilitas urusan perut semata. Kalau perlu
kebutuhan itu di penuhi dengan menghalalkan segala cara, koropsi, manipulasi,
sogok menyogok. Jika telah demikian keadaannya maka kini umat Islam telah
menuju pasa satu titik lemah yang membahayakan. Minimnya kesadaran ber-Islam
dan ber-taqwa. Pelaksanaan peribadatan dihitung dengan untung rugi, semua
dikalkulasi layaknya ilmu ekonomi. Pada yang demikian ini, seseorang akan jauh
lebih ketakutan bila mana kehilangan harta benda, bila dibanding kehilangan
agama (iman dan taqwa). Senang hidup berfoya-foya dan sangat takut
kemiskinan dan kematian, padahal mereka tahu kematian pasti akan datang.
Kegilaan kepada dunia dan mengesampingkan akhirat inilah yang menurunkan
kwalitas iman dan taqwa serta menggiring manusia kepada kehancuran Islam.
Lantas
bagaimanakah seharusnya hidup ini ?. Janganlah kita biarkan zaman yang terus
bergerak dengan sangat cepat ini menghancurkan sendi-sendi keagamaan. Iman dan
taqwa lah yang seharusnya mampu membimbing kehidupan ini menuju kehidupan yang
bermartabat, berarti guna bagi orang lain, bahagia di dunia dan di akhirat.
Menjadi muslim yang sederhana, berfikir dan bertindak sederhana, serta memaknai
hidup dengan iman dan taqwa. Tidak tergiur dengan dunia, semampu tenaga
memagari diri dengan menahan hawa nafsu, “Janganlah sekali-kali hidup di
dunia ini, memperdayakanmu dan angan pula syaitan memperdayakan kamu dalam
mentaati Allah SWT. (QS. Luqman: 33). Hidup hanya dengan berlandaskan iman
dan taqwa, yang dapat menyelamatkan diri dan agama Islam dari kerusakan yang
selalu mengancam di sekitar kita. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar