Keluarga Tiang Negara
Oleh : Anis Purwanto
Saudara hadirin yang dirahmati oleh Allah SWT, kajian kita dalam telaah
agama ini adalah keluarga tiang Negara, yang insya Allah kajian kita akan lebih
menfokuskan kepada aspek keluarga sakinah sebagai salah satu sarana untuk
menjaga kelangsungan generasi pengabdi Tuhan. Hal ini sangat penting kita kaji
karena didalam kehidupan modern seperti sekarang ini peranan keluarga sangat
besar. Sebab selain keluarga sebagai bagian dari system bermasyarakat, dalam
Islam keluarga merupakan tempat bagi terciptanya kehidupan yang bahagia bagi
seluruh anggotanya baik di dunia sampai di akhirat nanti.
Oleh karena itu, sebelumnya marilah dalam kesempatan yang sangat
berbahagia ini, kita panjatkan rasa
syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberi rahmat serta hidayah kepada kita
semua, hingga sampai saat ini, kita dapat melaksanakan ibadah kepada Allah SWT
dengan ihklas, dengan iman dan mengharap ridho Allah SWT. Shalawat dan salam kita aturkan kepada
junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW.
Saudara hadirin. Keluarga, yang merupakan unit terkecil dalam
masyarakat, biasa diartikan dengan ibu dan bapak beserta anak atau
anak-anaknya; belakangan diartikan dengan semua dan setiap orang yang ada dalam
sebuah keluarga/rumah tangga. (hal ini dapat dilihat dalam pasal 2, UU RI Nomor
23 Tahun 2004, Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tanggga). Keluarga,
dalam sistem hukum apapun dan di manapun, apalagi dalam perspektif hukum Islam,
dipastikan memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial kemasyarakatan
tingkat manapun. Mulai dari tingkat rukun tetangga (RT), desa/kelurahan, kecamatan,
kabupaten/kota, dan seterusnya sampai masyarakat dunia. Tanpa keluarga, yang
sejatinya menjadi unit terkecil dalam sebuah komunitas, mustahil ada, apa yang
dikenal dengan sistem social, mulai dari sistem sosial yang sangat terbatas,
sampai komunitas yang bersekala nasional, regional dan internasional.
Sekedar untuk menunjukan arti penting keluarga, ada ungkapan yang
menyatakan bahwa “Keluarga adalah tiang masyarakat dan sekaligus tiang negara;
bahkan juga tiang agama.” Atas dasar ini, maka mudahlah difahami bahwa agama
Islam menaruh perhatian sangat serius terhadap perkara keluarga. Di antara
indikatornya, dalam Al-qur’an dan atau Al-hadits, tidak hanya dijumpai sebutan
keluarga dengan istilah “al-ahl” – jamaknya “al-ahluna,” atau “dzul qurba,”
“al-aqarib” dan lainnya; akan tetapi, juga di dalamnya dijumpai sejumlah ayat
dan bahkan surat Al-qur’an yang mengatur ihwal keluarga dan kekeluargaan.
Di antara surat yang menyimbulkan arti penting tentang peran
keluarga dalam kehidupan sosial adalah surat ketiga, yakni surat Ali Imran ,
yang terdiri atas: 200 ayat, 3,460 kata dan 14,525 huruf. Secara umum dan garis
besar, surat Ali Imran memuat perihal: keimanan, hukum, dan kisah-kisah
lainnya. Yang menariknya lagi surat Ali Imran ini diiringi surat An-Nisa , yang
mengisyaratkan arti penting bagi kedudukan seorang ibu khususnya dan kaum
wanita pada umumnya, dalam hal pembentukan dan pembinaan keluarga ideal yang
disimbulkan dengan Keluarga Imran.
Masih dalam konteks peduli Al-qur’an terhadap peran keluarga, bisa
difahami dari isi kandungan ayat 6 surat Al-tahrim:
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارً۬ا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ
وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡہَا مَلَـٰٓٮِٕكَةٌ غِلَاظٌ۬ شِدَادٌ۬ لَّا يَعۡصُونَ
ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
Ayat tersebut pada dasarnya
mengingatkan semua kepala keluarga dalam hal ini Bapak dan atau Ibu, supaya
membangun, membina, memelihara dan atau melindungi semua anggota keluarga yang
menjadi tanggungannya , dari kemungkinan mara bahaya yang disimbulkan dengan
siksaan api neraka. Sebab, dalam pandangan Islam, berkeluarga itu tidak hanya
untuk sebatas dalam kehidupan duniawi; akan tetapi juga sampai ke kehidupan
akhirat.
Indikator lain dari peduli Islam terhadap eksistensi dan peran
keluarga dalam kehidupan sosial kemasyarakatan ialah adanya hukum keluarga
Islam yang secara spesifik mengatur persoalan-persoalan hukum keluarga mulai
dari perkawinan, pengasuhan dan pendidikan anak, sampai kepada hukum kewarisan
dan lain-lain. Hukum Keluarga Islam
benar-benar mengatur semua dan setiap urusan keluarga mulai dari hal-hal yang
bersifat filosofis dan edukatif, sampai hal-hal yang bersifat akhlaqi yang
teknis operasional sekalipun. Itulah sebabnya mengapa Islam memerintahkan
pemeluknya agar selalu saling menyayangi dan bekerjasama antara sesama
keluarga.
Saudara pendengar Mimbar Agama Islam yang dirahmati oleh Allah SWT.
Ada banyak pesan Rasulullah saw, mengenai wanita yang sholeh,salah
satunya adalah wanita tiang negara. Dan itu benar adanya.. Bahwa istri sholehah
adalah tiang rumah tangga, tiang keluarga, bahkan tiang negara. Dia yang
membuat rumah dalam hati setiap anggota keluarga, rumah bagi setiap
anak-anaknya, bahkan tanpa ada dia, tidak akan ada negara yang kuat kokoh dan
aman..
Maka dari itu, membangun rumah tangga yang bahagia itu adalah ibadah.. bukan diberi, tapi
memberi, dan terus-terusan memberi,
khususnya perempuan, mereka harus menjadi tiang2.. jangan heran bagaimana
seorang anak harus 3 kali lebih menghormati ibunya drpd bapaknya.. karena
menjadi ibu itu tidak mudah, karena menjadi ibu itu butuh kekuatan yang mungkin
3 kali lipat dari pada menjadi bapak.
Semua masalah rumah tangga, seberat apapun itu tidak akan ada
artinya ditangan seorang perempuan yang sholehah.. Dia akan selalu mencari
jalan keluar, dan insya Allah dia akan selalu mendapatkan jalan keluar. karena
Allah sendiri yang sudah menjamin, akan memberikan jalan keluar apalagi dalam
masalah rumah tangga..
Oleh karena itu, disilah pentingnya membina keluarga yang sakinah,
yaitu keluarga yang hidupnya damai. Seluruh anggotanya saling menghormati dan
saling mencintai. Suka dan duka dihadapi bersama dengan penuh ketulusan hati.
Keluarga yang harmonis bukan berarti tidak pernah ada masalah, sebab
perselisihan dan perbedaan adalah manusiawi. Hanya saja perbedaan itu tidak
sampai meruncing, sehingga menimbulkan pertengkaran, permusuhan atau bahkan
lebih dari itu.
Dalam keluarga
perbedaan pasti terjadi, baik yang menyangkut kepentingan, sikap dan pikiran.
Namun betapapun telah terjadi perbedaan, hendaknya kita dapat menyelesaikan
secara jernih dan dingin hingga hasilnya bisa melegakan bagi siapapun dan dapat
menumbuhkan rasa kasih sayang. Oleh karena itu maka masing-masing anggota
keluarga hendaknya tahu akan posisi dirinya, demikian juga hak dan
kewajibannya. Selain itu masing-masing anggota keluarga harus saling menghargai
menyayangi, sehingga tercipta suasana yang damai dan harmonis. Dan keluarga
sakinah tidak mungkin tercipta secara kebetulan dan tiba-tiba. Namun harus ada
usaha yang maksimal dari semua anggota keluarga.
Sedangkan
prinsip-prinsip yang harus diperhatikan untuk membina keluarga sakinah adalah :
Pertama, Bahwa anggota keluarga kita semua adalah manusia. Entah itu
bapak, ibu dan anak atau yang lainnya yang ada dalam keluarga. Maka hendaknya
kita memanusiakan mereka. Masing-masing anggota hendaknya dapat hidup bersama,
saling menghargai dan menghormati.
Kedua, mereka semua adalah
mahkluk hidup yang berarti memiliki kebutuhan dan keinginan. Untuk itu
hendaknya diantara mereka saling memperhatikan kepentingan yang lainnya.
Masing-masing anggota keluarga hendaknya
tak memaksakan kehendaknya, tak memaksakan kepentingannya tanpa menghiraukan
kepentingan anggota lainnya.
Ketiga, semua anggota keluarga hendaknya mempunyai
rasa tanggung jawab, ada tanggung jawab yang harus dipikul bersama, ada pula
yang harus dipikul perorangan. Semua membutuhkan tanggung jawab dari
masing-masing anggota keluarga. Terutama dari ayah dan ibu, karena mereka itu
pokok dari pada sebuah keluarga.
Keempat, semua anggota keluarga
harus mempunyai rasa kasih sayang. Dengan adanya rasa kasih sayang di dalam
keluarga, maka akan membawa rasa bahagia diantara mereka. Sebab dengan rasa
kasih sayang, mereka akan jauh dari rasa curiga, benci, dendam dan sebagainya
dan juga akan menumbuhkan rasa saling percaya dan saling membantu dengan
lainnya.
Kelima, semua anggota keluarga harus sadar bahwa mereka merupakan ciptaan
Allah dengan titah dan sifatnya masing-masing. Yang dengan itulah justru akan membuat sebuah keluarga
menjadi lengkap. Ada laki-laki, ada perempuan. Keduanya diciptakan oleh Allah
banyak kesamaan dan juga banyak perbedaan. Untuk masing-masing hendaknya tahu
persamaannya dan perbedaannya. Seringkali kesalah pahaman yang timbul akan
berlanjut menjadi gangguan dalam kehidupan keluarga. Sang suami lupa kalau istri adalah seorang
perempuan yang mempunyai kodrat lebih lemah dari dirinya. Atau sebaliknya istri
lupa kalau suaminya adalah seorang lelaki yang bersifat keras dalam setiap
gerak-geriknya. Mungkin suatu ucapan atau tingkah laku bagi laki-laki tidak
berpengaruh apa-apa, tapi bagi perempuan menimbulkan sakit hati dan
ketersinggungan.
Untuk itu maka mengingat manusia sebagai titah yang lemah dan tak
luput dari salah, hendaknya dijadikan sebagai pegangan oleh masing-masing
anggota keluarga agar saling mengingatkan pada kebenaran dan amal soleh demi
menuju ridha Allah. Dan inilah puncak dari segala kegiatan manusia di dunia
ini, baik yang berupa ibadah langsung maupun kegiatan sosial.
Jadi dari beberapa konsep dalam membentuk keluarga yang harmonis,
sebagaimana yang telah kami sampaikan, maka harta dan kekayaan bukan faktor
utama dari keharmonisan keluarga, akan tetapi saling pengertian dari
masing-masing anggota keluarga yang merupakan factor yang paling dominan. Dari
perasaan yang sama inilah pilar keharmonisan tumbuh dan ditegakkan. Tanpa rasa
pengertian yang sama, rasanya sulit keharmonisan itu akan terwujud.
Firman Allah di dalam Al-Qur’an Surat Ar Rum ayat 21:
وَمِنۡ ءَايَـٰتِهِۦۤ
أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٲجً۬ا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا
وَجَعَلَ بَيۡنَڪُم مَّوَدَّةً۬ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِى ذَٲلِكَ لَأَيَـٰتٍ۬
لِّقَوۡمٍ۬ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah
Dia ciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteranm kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan saying.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir”.
Keluarga sakinah
adalah keluarga yang dibina berdasarkan perkawinan yang syah. Menurut UU No 1 Tahun 1974 pasal 1 :
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kata lain
keluarga yang terbentuk dari perkawinan tersebut merupakan keluarga yang
bahagia dan sejahtera lahir batin atau keluarga sakinah. Keluarga yang mampu
memenuhi hajat hidup spiritual dan material yang layak’ mampu menciptakan
suasana cinta dan kasih saying (mawaddah warahmah) selaras, serasi, seimbang
serta mampu menanamkan dan melaksanakan nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, amal
saleh dan akhlakul karimah dalam lingkungan keluarga sesuai dengan ajaran
Islam.
Suami istri
mempunyai peran yang harus dipegangnya, lebih-lebih pada zaman sekarang, dimana
sebagai seorang istri tidak lagi mempunyai peran seperti waktu lampau, yang
peranannya hanya berkisar dikasur, didapur, dan disumur. Tetapi istri pada
zaman sekarang ini haruslah meningkat perannya, yang antara lain :
- Istri berperan sebagai sahabat dalam segala hal. Baik dalam keadaan suka maupun duka. Bukan sahabat bila suami sedang mempunyai uang, lalu kalau sudah bangkrut suami ditendang. Ada uang abang sayang, tidak ada uang abang aku tendang.
- Sebagai kawan dalam senda gurau. Bercengkrama, saling menghibur untuk melepaskan ketegangan dan kepenatan setelah bekerja sepanjang hari.
- Istri sebagai mitra terpercaya dalam hal mengelola keuangan dan ekonomi rumah tangga, karena cukup atau tidak cukupnya biaya hidup keluarga ada di tangan istri.
- Istri merupakan pendamping suami menjadi teman tawa dalam suka dan penghibur dikala duka.
Selain peran tersebut, istri juga bertugas menyiapkan generasi
penerus, generasi baru. Istrilah yang melahirkan, menyusui, membesarkan dan
membinanya sehingga generasi baru tersebut akan menjadi penerus yang dapat
diandalkan baik fisik maupun mentalnya.
Allah swt memberi arahan yang sangat tepat, supaya sebuah keluarga
menurunkan generasi yang lebih tangguh, sebagaimana firman Allah SWT dalam
surat An Nisa ayat 9 :
وَلۡيَخۡشَ ٱلَّذِينَ
لَوۡ تَرَكُواْ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةً۬ ضِعَـٰفًا خَافُواْ عَلَيۡهِمۡ
فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلاً۬ سَدِيدًا
“Dan hendaknya
takut karena Allah, orang-orang yang meninggalkan dibelakang mereka anak-anak
yang lemah, yang mereka kawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar”.
Disinilah
sebenarnya letak pentingnya selalu menjaga generasi kita, agar menjadi generasi
pengabdi Tuhan yang sejati dan sejauh mungkin menghindari sesembahan-sesembahan
lain termasuk didalamnya nafsu-nafsu duniawi.
Salah satu cara
menjaga kelangsungan generasi pengabdi Tuhan ini adalah dengan memaksimalkan
peran keluarga. Allah secara gamblang menjelaskan fungsi ini melalui contoh
profil keluarga Luqman, dalam firmanNya QS Luqman ayat 13 :
وَإِذۡ قَالَ لُقۡمَـٰنُ
لِٱبۡنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُ ۥ يَـٰبُنَىَّ لَا تُشۡرِكۡ بِٱللَّهِۖ إِنَّ
ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيمٌ۬
“Dan ketika Luqman berkata
kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah
kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan adalah benar-benar
kezaliman yang besar”.
Hal inilah
tampaknya yang seringkali kita lupakan. Kita lebih suka membekali anak-anak
kita dengan ilmu-ilmu tentang bagaimana meraih kesuksesan material dari pada
memberi bekal mereka dengan ajaran tentang tauhid dan akhlak. Akibatnya jelas,
anak-anak kita piawai mencari rejeki tapi jadi lupa untuk berbagi, anak kita
pandai beranalogi tapi kadang terperosok lupa diri, anak kita pandai
berargumentasi tapi pandai juga menipu diri, dan anak kita sangat suka materi
hingga lupa pada hati nurani.
Gejala munculnya
generasi salah asuh semacam ini mulai terasa kian nyata. Anak-anak menjadi
korban kesibukan orang tuanya mencari materi. Mereka dibiarkan terasuh oleh
seperangkat alat berteknologi tinggi macam internet, handphone, televise, dan
media-media elektronik lain.
Tehnologi adalah
serangkaian alat yang berjalan berdasarkan program-program. Ia tidak peduli
siapa yang menjalankan program dan memberikan perintah-perintah kepadanya. Anak
kecilkah, remajakah, atau mungkin orang dewasa, atau bahkan orang tua ompong
peyot. Sekali lagi ia tidak peduli. Selama benar cara memencet keypad atau
keybordnya maka informasi apapun akan ia munculkan. Padahal ahli teknologi
informasi manapun sepakat bahwa setiap informasi pasti memiliki aturan main
tentang siapa yang layak mengkomsumsinya.
Cost sosial yang
harus kita tanggung atas kesalahan pemanfaatan tehnologi tentu sangat mahal dan
berat kita rasakan. Tentu sudah sangat sulit menghitung tentang berapa banyak
korbannya, ada anak yang nekat mencuri untuk mendapatkan HP, ada anak yang
mesti drop out dari sekolah lantaran hamil setelah mempraktekkan adegan porno
yang ditontonnya, ada yang terpaksa mreman untuk sekedar beli pulsa, dan
lahirnya para pengangguran biaya tinggi yang semakin menambah berat beban Negara,
serta akibat-akibat sosial lainnya.
Ayat yang kami
sebutkan diatas, menjelaskan tentang betapa pentingnya penanaman nilai-nilai
ketuhanan pada diri anak-anak kita. Nilai tersebut terkristal dalam konsepsi
taqwa yang oleh para ulama diberikan pengertian sebagai menjalankan
perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah SWT. Artinya,
sejak dini seorang anak harus mulai dilatih untuk menjalankan perintah-perintah
agama dan hal ini juga sejalan dengan petunjuk Rasulullah SAW: “Perintahkanlah anak-anakmu untuk
melaksanakan shalat saat berumur tujuh tahun dan pukullah mereka (jika tak mau
menjalankan shalat) jika sampai umur sepuluh tahun”. (HR Ahmad, Abu Daud dan
Hakim).
Disamping
penanaman nilai-nilai ketaqwaan sejak dini, anak-anak juga harus dilatih untuk
jujur dalam perkataan-perkataan mereka. Salah satu caranya adalah dengan
senantiasa memberikan contoh tauladan dalam keseharian kita. Kiat semacam ini
tidak bisa ditawar-tawar lagi, apalagi dinamika zaman telah membawa anak-anak
kita selalu berlaku kritis dalam menyikapi fenomena sekitarnya. Seringkali
ketidakjujuran dan ketidakmampuan kita memberi suri tauladan yang baik
terkadang justru menjadi momok penyebab ketidakpercayaan anak kepada orang
tuanya, sehingga pendidikan keluarga menjadi tidak efektip.
Mengembalikan
fungsi-fungsi keluarga sebagai tiang negara menjadi sebuah keniscayaan bila
kita ingin tetap menjaga kelangsungan generasi zaman ini. Berbagai disfungsi
keluarga yang menggejala dewasa ini telah jelas-jelas merugikan dinamika sosial
masyarakat kita. Budaya pengejaran tak berujung pangkal pada kepentingan
duniawi yang terkadang membuat kita lupa untuk memperhatikan perkembangan
psikologis anak-anak kita haus kita tinggalkan. Islam tentu saja tidak melarang
kita untuk berlomba-lomba mencari setinggi mungkin kesejahteraan hidup, tetapi
melupakan pendidikan agama yang akan menjadi pengawal langgengnya nilai-nilai
budi pekerti anak-anak kita tentu bukanlah hal yang bijaksana. Kita harus
menyadari sepenuhnya, bahwa sejauh apapun kita mengejar dan setinggi apapun
kita meraih kebutuhan duniawi kita semua akan tiada artinya jika anak-anak kita
yang merupakan harta paling berharga kita tiba-tiba kehilangan tabiat
kemanusiaannya karena kealpaan kita mendidiknya.
Kehadiran kita
sebagai profil seorang ibu dan seorang ayah yang mampu menyisihkan waktu untuk
keluarga adalah kebutuhan primer yang sangat mereka perlukan. Peluk cium penuh
perhatian dan kasih sayang akan menyadarkan mereka tentang arti pentingnya
hidup, sehingga anak-anak kita akan terhindar dari sketsa terorganisir
pihak-pihak yang menginginkan mereka terjerumus dalam lembah kesesatan, sebab
senyatanya perseteruan antara haq dan batil terus akan ada selama planet bumi
ini masih ada dan senyatanya juga para pembela kebatilan terus berusaha
melahirkan generasi mereka sehingga jika generasi pembela kebenaran tidak kita
munculkan, maka kehancuran peradaban tidak akan mampu kita hindari.
Akhirnya di bulan
Ramadhan penuh berkah inilah harapan itu kita ketengahkan kembali, semoga
peranan keluarga sebagai pencetak generasi yang taat kepada Allah SWT terwujud.
Generasi yang bertaqwa akan tumbuh didalam keluarga yang mawaddah wa rahmah,
yakni keluarga yang sakinah, sebagai wujud dari cita-cita menjadikan keluarga
sebagai tiang Negara. Demikian kajian kita kali, terima kasih atas segala
perhatiannya dan mohon maaf atas segala kesalahan, billahit taufil wal hidayah,
wassalamu ‘alaikum wr. Wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar