Kamis, 25 April 2013

KEMULIAAN SEORANG MUSLIM



KEMULIAAN SEORANG MUSLIM

Oleh : Anis Purwanto*

Dalam kehidupan sehari-hari yang kita jalani, berbagai macam cara yang ditempuh oleh manusia untuk mencari sesuatu yang dapat melegakan jiwanya, mencari kemuliaan dan martabat kemanusiaan. Berbagai macam cara dilakukan, baik dengan cara yang terhormat ataupun melanggar aturan sekalipun. Bahkan terkadang tak memperdulikan nilai-nilai dan norma agama dan masyarakat. Ketika kebutuhan jiwa terpenuhi, perasaan bahagiapun tersegarkan, kemudian merasa bangga dan mulia. Namun, kadang kala kebanyakan dari kita melupakan hakikat dan karakteristik kemuliaan yang sebenarnya.
            Diantara karakter kemuliaan sebagai seorang hamba beriman yang kami sampaikan kali ini adalah tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak berfaedah, apalagi yang senyatanya melanggar syariat agama atapun nilai-nilai dan norma kemanusiaan. Sebab sebagai orang yang beriman, kita mempunyai urusan yang sangat penting, bahkan melebihi yang ada di dunia ini,  yakni urusan keakhiratan. Orang-orang yang beriman tak memiliki waktu kosong lagi untuk bermain-main yang tak berarti, karena ia disibukkan dengan tuntutan keimanannya, dakwahnya dan beban-beban tugasnya yang ia tanggung.
            Orang-orang yang mulia juga adalah orang-orang yang segera sadar ketika diingatkan dan mudah mengambil pelajaran jika diberi nasehat, hatinya terbuka untuk menerima ayat-ayat Allah yang mereka terima dengan pemahaman dan mengambil pelajran. Sehingga, mereka mengimaninya dengan keimanan yang penuh dengan kesadaran, bukan fanatisme buta dan tidak menenggelamkan wajah. Jika mereka bersemangat membela aqidahnya, membela agamanya, membela saudara seiman mereka, maka hal itu mereka lakukan dengan sikap semangat seorang yang benar-benar mengetahui dan memahami ajaran agamanya, penuh kesadaran dan hatinya terbuka. “Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta”. (QS. Al Furqon 73)
            Inilah perasaan fitrah keimanan yang mendalam. Perasaan senang untuk menambah bilangan orang-orang yang berjalan dijalan Allah, dengan mengedepankan perjuangannya untuk menegakkan kalimah Allah dimuka bumi ini, dengan melaksanakan amar makruf nahi mungkar, mengajak untuk melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah SWT.  Sebab tidak cukup kesholihan itu adalah milik pribadi, akan tetapi milik semua, sebagai rahmatan lil ‘alamamin. Orang-orang yang beriman juga selalu menyenandungkan do’a-do’a untuk menambah jumlah orang-orang penyembah Allah. Dan yang pertama adalah diri dan keluarganya, baru kepada kita semua.
            Setiap orang beriman  pasti akan menyadari bahwa ketika ia hidup di dunia ini, ia akan hidup dalam batas waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh san pencipta. Usia kita berbeda satu sama lain, begitu juga amal dan bekalnya. Setiap orang yang berimanpun amat menyadari bahwa mereka tidak mungkin selamanya tinggal di dunia ini. Kita menyadari bahwa kita sedang melalui perjalanan menuju kepada kebahagiaan yang kekal abadi. Dan ini sungguh berbeda dan sangat berlawanan sekali dengan kehidupan orang-orang yang tidak beriman. “Tetapi kamu (orang-orang kafir) lebih memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal”. (QS. Al A’la :16-17).
            Sayangnya, kesadaran ini seringkali terlupakan oleh diri kita sendiri. Padahal, bukan tidak mungkin, hari ini, esok, atau lusa, perjalanan itu harus kita lalui, bahkan dengan sangat tiba-tiba. Jiwa manusia yang selalu digoda dan diuji oleh hawa nafsu, kemalasan bahkan lupa, kemudian menjadi lemah semangat dalam mengumpulkan bekal dan beribadah, membuat kita menyadari sepenuhnya bahwa  kita adalah manusia yang selalu membutuhkan siraman-siraman suci  berupa firman Allah dan sabda Rasulullah, ucapan hikman para ulama, bahkan saling menasehati dengan penuh hikmah dan penuh keihklasan sesama saudara seiman. Sehingga kita tetap berada pada jalan yang benar, istiqomah melaui sebuah proses perjalanan menuju Allah SWT.
            Lalu yang  perlu  menjadi bahan perhatian kita dalam mempersiapkan bekalan untuk melalui perjalanan dari dunia ini menuju kehidupan yang abadi di akhirat, adalah :
Pertama, bekal berupa keimanan yang benar dan kokoh, aqidah yang bersih dan suci dar unsur-unsur syirik. Meyakini dengan sebenarnya bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa, kepada-Nya sajalah tempat bergantung, Ia adalah Pencipta, Pemberi rizki, Pengatur Alam semesta, kemudian memurnikan ibadah kepadaNya, ihklas dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan seluruh laranganNya.
Kedua, adalah kesungguhan dalam amal sholeh dan dalam menangkap segala peluang kebajikan. Seperti halnya perjalanan jauh yang akan dilalui, jika tidak disertai dengan kesungguhan dalam mengatur waktu dan mempersiapkan segala sesuatunya, maka boleh jadi ia akan tertinggal, bahkan tersesat dan kebingungan. Sesunguhnya apa yang dilakukan seseorang adalah berpulang untuk dirinya sendiri. Kemudian penting halnya juga untuk menangkap setiap peluang amal di sekitar kita, meski amal itu sederhana dan tidak datang setiap waktu. Cukuplah menjadi pelajaran kita bersama tentang seorang pelacur yang rela mengambilkan minum untuk seekor anjing yang kehausan, padahal ia sendiri sedang dahaga luar biasa, dahaga akan ampunan Tuhan, namun dengan amalan yang sangat sederhana itu ternyata dapat menghantarkan ampunannya dan menghantarkan dirinya ke surga. Maha suci Allah, kesempatan yang seperti ini memang tidak datang dua kali, namun pasti akan kita temui dalam kehidupan sehari-hari.  Misalnya yang paling sederhana lagi menyingkirkan duri yang melintang dijalan. Hanya saja, perlu kejelian dan kesungguhan hati.
Ketiga, mewaspadai akan hilangnya bekal yang telah dikumpulkan, lantaran sikap kita terhadap orang lain. Inilah kerugian yang sangat besar, jika hilangnya bekal di dunia, masih ada kesempatan untuk dicari kembali, namun jika hilangnya bekal itu di akhirat bagaimana mungkin untuk mengumpulkannya kembali, sedang hisab telah menunggu.  Sungguh inilah kerugian yang besar dan amat menyedihkan. Bekalan yang sudah disiapkan semasa di dunia, tidak dapat menolongnya sama sekali. Maka kebersihan hati, kebersihan ucapan, kebersihan sikap, berbaik sangka pada sesama orang beriman harus selalu ditanamkan di dalam hati kita masing-masing, agar setiap kebaikan yang telah dilakukan tidak hilang sia-sia.
Maka seharusnyalah setiap orang beriman benar-benar memberikan perhatian besar dalam mempersiapkan diri dan mengumpulkan bekal untuk menghadapi hari yang kekal dan abadi itu. Karena hakekatnya, hari inilah masa depan manusia yang sesungguhnya. “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah disiapkannya untuk hari esok, dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Harapannya, kita selalu  dapat memperbaharui kembali komitmen yang telah kita ikrarkan, untuk selalu menjadikan sholat kita, ibadah kita, hidup dan mati kita hanyalah untuk Allah , Tuhan semesta alam. Wallahu a’lam. (Diambil dari beberapa tulisan).