Jumat, 25 Mei 2012

MENJAGA AMANAH


MENJAGA AMANAH
Ed : Anis Purwanto

Saudara pendengar Mimbar Agama Islam yang dirahmati oleh Allah SWT.
Marilah kita panjatkankan puja puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta hidayah kepada kita sekalian, sehingga sampai saat ini pengakuan kita senantiasa menggerakkakan hati kita untuk selalu mengakui kebenaran yang datang dari Allah SWT. Sebab dengan mengakui kebenaran dari Allah SWT secara istiqomah, insya Allah akan menjadikan kita tetap teguh untuk selalu melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, secara konsisten dan konsekuwen. Dengan demikian diharapkan kita dapat memperoleh seluruh keuntungan dari Allah SWT, baik dunia dan di akhirat. Sholawat dan salam kita sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam suasana yang sangat membahagiakan seperti saat ini, saudara, sudah sepantasnya apabila kedamaian hati kita sepenuhnya tertuju kehadirat Allah SWT, sembari bermunajat kepada-Nya, kita manfaatkan acara Mimbar Agama Islam ini sebagai sarana untuk dapat lebih meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Sikap dan prilaku taqwa itu hendaknya kita realisasikan dengan cara yang sadar melakukan segala yang diperintahkan Allah SWT dan Rasulullah SAW. Sekaligus dalam diri kita ada kemauan keras dan iktikat baik untuk meninggalkan segala bentuk larangan Allah SWT, walau dalam bentuk sekecil apapun. Dengan suatu harapan, apa yang kita lakukan ini akan mengantarkan diri kita untuk memperoleh ridlo-Nya kelak, baik ketika hidup di dunia maupun keridloaan kelak, kita di akhirat.
Saudara pendengar Mimbar Agama Islam yang dirahmati oleh Allah SWT.
            Diantara bentuk ketaqwaan seseorang hamba kepada Allah SWT adalah dengan menjalankan dan menjaga amanah yang dipikulnya. Baik amanah yang berkaitan dengan kewajiban kepada Allah SWT, seperti shalat, membayar zakat, haji dan lain-lain, maupun yang berkaitan dengan kewajiban kepada sesama manusia. Karenanya, perlu kita ketahui bahwa sebenarnya amanah itu sangat luas cakupannya. Dan amanah yang diemban oleh setiap orang tidak selalu sama dengan yang lainnya. Namun semua akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT, nanti atas pelaksanaan amanah yang kita pikul.                                 Saudara pendengar, perlu diketahui, bahwa menjalankan amanah dan menjaganya bukanlah perkara yang dilakukan semudah membalikkan tangan. Oleh karena itu, kajian kita dalam Mimbar Agama Islam kali ini akan kita fokuskan kepada bagaimana menjaga amanah yang sebetulnya. Sebab nyatanya Allah telah menjelaskan tentang betapa beratnya amanah yang dipikulkan kepada kita para manusia. Sebagaimana telah dilangsir oleh Allah dalan Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 72 : “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir kan mengkhianatinya, dan dipikullah  amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.
            Di dalam ayat tersebut kita ketahui, bahwa amanah ini sebenarnya telah ditawarkan kepada alam semesta, kepada langit, bumi dan gunung-gunung, namun mereka semua takut memanggulnya dan enggan menerimanya karena takut dengan azab Allah SWT, karena mereka menyadari betapa beratnya menjalankan amanah tersebut. Sehingga mereka khawatir akan menyelisihi amanah . hanya saja, manusia dengan berbagai kelemahannya, memilih untuk menerima amanah tersebut.
            Sesungguhnya amanat tersebut adalah beban syariat yang mengcakup hak-hak Allah dan hak-hak hambaNya. Siapa yang menunaikannya, maka dia mendapat pahala dan barang siapa yang menyia-nyiakannya, maka ia mendapatkan siksa. Berkenaan tentang menjaga amanah ini, terbagi menjadi 3 tipologi manusia :
-       Kelompok pertama adalah orang-orang yang menampakkan dirinya seolah-olah menjalankan amanah. Yaitu dengan menampakkan keimanannya namun sesungguhnya mereka tidak beriman. Mereka itulah yang disebut golongan orang-orang munafik.
-       Kelompok kedua, adalah orang-orang yang dengan terang-terangan menyelisihi amanah tersebut. Yaitu mereka tidak mau beriman baik secara lahir maupun batin. Mereka adalah golongan  orang-orang kafir dan musyikin.
-       Kelompok ketiga, adalah orang-orang yang menjaga amanah yaitu golongan orang-orang yang beriman baik secara lahir maupun batin.
Dua golongan yakni orang-orang munafik dan musyikin akan diadzab dengan adzab yang sangat pedih. Sedangkan golongn orang-orang yang beriman,  merekalah orang-orang yang akan mendapatkan ampunan serta rahmat dari Allah SWT. Sebagaimana disebutkan didalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 73 : “Sehingga Allah mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan serta orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
            Siapa yang memiliki kesempurnaan sifat amanah, maka ia telah menyempurnakan agamanya, dan siapa yang tidak memilikinya, maka ia telah membuang agamanya. Rasulullah SAW bersabda :


“Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki amanah dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menjaga janjinya”. (HR Imam Ahmad).
Saudara pendengar Mimbar Agama Islam yang dirahmati oleh Allah SWT.
            Perlu diingat, bahwa menyia-nyiakan dan tidak menunaikan amanah, memiliki implikasi buruk pada keadaan seseorang dan dapat menjadi sebab kerusakan di masyarakat. Oleh karena itu, marilah bertawakal kepada Allah SWT, untuk menjaga amanah  dan menunaikan hak-hak dan kewajiban sebagai seorang  hamba serta berupaya sekuat kemampuan untuk meninggalkan larangan Allah SWT. “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya”.(QS An Nisa’:58)
            Sedangkan cara untuk menjaga amanah ini, adalah dengan kita senantiasa menginginkan agar orang lain mendapatkan kebaikan sebagaimana kita menginginkan kebaikan itu pada diri kita. Sebab seseorang yang bermuamalah dengan orang lain, mestinys melihat dan bercermin pada dirinya. Misalnya dalam hal jual beli, sewa menyewa, sebagai seorang karyawan,  seorang pegawai dan lain-lain, dia tidak ingin memperlakukan kewajibannya dengan tidak baik, sebagaimana dia tidak ingin perlakuan tersebut menimpa dirinya. Seorang yang menjual barang, misalnya dia harus menjualnya dengan menjaga amanah. Termasuk dari menjaga amanah adalah yang berkaitan dengan pendidikan. Seorang pengajar, misalnya ia harus berusaha menjaga amanah yang dipikulnya. Dia harus perusaha untuk  menjadi contoh yang baik bagi anak didiknya. Ia berupaya menyampaikan ilmu yang bermanfaat dengan cara mudah dipahami oleh anak didiknya.
Saudara pendengar Mimbar Agama Islam yang dirahmati oleh Allah SWT.
            Termasuk menjaga amanah adalah yang berkaitan dengan tanggung jawab terhadap orang-orang yang berada dibawah kekuasaan dan pemeliharaannya. Semakin banyak atau semakin luas lingkup kekuasaannya maka semakin besar tanggung jawabnya. Seorang kepala desa tanggung jawabnya lebih besar dari pada seorang kepala dusun, dan seterusnya sampai seorang presiden, sebagai kepala pemerintah dalam suatu Negara, maka tanggung jawabnya adalah meliputi seluruh Negara. Begitu pula seorang suami bertanggung jawab ats keluarganya dan seterusnya.
            Sudah semestinya bagi pemimpin rumah tangga untuk memelihara keluarganya dari hal-hal yang membahayakan mereka, baik urusan dunia apalagi akhiratnya. Terlebih pada saat kerusakan dan kemaksiatan tersebat dimana-mana. Sebagaimana setiap orang tentu akan berusaha menjaga hartanya ketika dia mendengar bahwa pencurian dan semisalnya tengah merajalela. Namun sebetulnya, menjaga keluarga dan anak-anaknya dari kerusakan yang ada disekitarnya semestinya lebih diutamakan dari menjaga harta. Karena melalaikan kewajiban ini akan menyebabkan munculnya generasi mendatang yang akan berbuat kerusakan di muka bumi ini. Juga karena setiap orang tua tentunya tidak menginginkan dirinya masuk ke dalam surge sementara anak-anaknya di adzab di api neraka. Oleh karena itu, semestinya kita berusaha menjaga amanah ini, sehingga mudah-mudahan Allah SWT menyelamatkan kita semua dan keluarga kita dari siksa api neraka.
            Sedangkan Muhammad Abduh, membagi tingkatan amanah menjadi tiga yaitu :
1.     Amanah hamba kepada Allah, yaitu menepati janji mereka untuk menaati semua perintah Allah dan meninggalkan laranganNya. Seorang hamba, yang amanah kepada Sang Khaliq, akan menggunakan hati nurani dan anggota tubuhnya untuk hal-hal yang bermanfaat baginya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, baginya, maksiat dan dosa adalah pengkhianatan terhadap Allah SWT.
2.     Amanah hamba kepada sesamanya, yaitu, menjaga sesuatu yang diterima dan menyampaikan kepada yang berhak menerima. Orang yang dititipi barang atau pinjaman wajib menyerahkan kembali kepada pemiliknya dalam keadaan seperti semula. Bahkan pada sat ia diamanati sesuatu rahasia maka wajib menjaga rahasia itu dari kebocoran. Amanah semacam ini juga, menurut Imam A-Razi. Mencakup kejujuran para penguasa dan ulama dalam membimbing masyarakat.
3.     Amanah hamba kepada dirinya sendiri. Allah SWT membekali manusia dengan anugerah akal untuk membedakan antara yang hak dan yang batil. Oleh sebab itulah manusia menjadi mahkluk Allah yang paling mulia. Ia tidak boleh memilih sesuatu untuk dirinya, kecuali yang paling bermanfaat menurut agama serta kemanfaatan dunia.
Saudara pendengar, termasuk juga bersifat amanah adalah orang yang menjaga dirinya dari sebab-sebab kematian yang ditimbulkan oleh penyakit ataupun bencana alam. Kehidupan ini adalah amanah yang Allah titiipkan kepada kita agar kita merawatnya dengan sebaik mungkin. Sebab lalai dalam menyikapi nikmat sama artinya mengkhianati amanah llah SWT. Pengaruh kualitas amanah juga amat penting dalam menegakkan hokum di kancah social. Allah SWT dalam Surat An Nisa’ ayat 58 , memerintahkan hambaNya untuk menunaikan amanah, karena merupakan sumber keadilan dalam menetapkan suatu hukum. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hokum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
            Ayat ini mencakup seluruh jenis amanah. Diantara yang terpenting adalah tugas, pekerjaan dan jabatan. Siapa yang menunaikan kewajiban yang Allah bebankan pada tugas dan jabatan tersebutdan merealisasikannya kemaslahatan kaum muslimin, maka ia telah menunaikan amanah dan berbuat kebaikan untuk akhiratnya, dan yang tidak menunaikannya dengan baik serta menyia-nyiakan jabatan dan kedudukan yang diamanahkan kepada kita, apapun bentuknya, maka ia telah mengkhianati amanah dan mendapatkan bencana dan siksaan Allah SWT di akhirat nanti. Oleh karena itu, menjaga dan menyampaikan amanat adalah fitrah manusia. Jika amanah terjaga, manusia tidak perlu menuntut keadilan. Mari kita budayakan sifat amanah dan tegakkan hukum seadil-adilnya dalam setiap sendi kehidupan.
            Demikian juga amanah yang dititipkan orang kepada kita, kita wajib menunaikannya sebagaimana mestinya  dan jangan berkhianat walaupun orang lain mengkhianati kita. Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat, kuran dan lebihnya mohon maaf, Sekali lagi, semoga kita diberikan kekuatan lahir dan batin oleh Allah SWT untuk dapat menjaga dan menjalankan amanah yang diberikan kepada kita, dengan sebaik-baiknya, sehingga kita akan mendapatkan kebahagiaan didunia dan diakhirat. Amin ya rabbal ‘alamin.
Billahit taufiq wal hidayah, wassalamu ‘alaikum wr. Wb.

Senin, 14 Mei 2012

MASYARAKAT MADANI YANG KITA INGINKAN


                                    MASYARAKAT MADANI YANG KITA INGINKAN
   ( Satu Harapan Masyarakat Kecil )

                                               Oleh : Anis Purwanto                                               

Ungkapan jawa yang sering kita dengar , dan sekaligus sebagai harapan masyarakat kita, adalah “Gemah ripah loh jinawi , tata tentrem karta raharja, murah kang sarwa tinuku, subur kang sarwa tinandur” , merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh msyarakat dinegeri ini. Memang dalam ungkapan yang lebih nasionalis masyarakat adil dan makmur ini sering disebut dengan masyarakat madani. Sebetulnya istilah masyarakat madani tidak timbul begitu saja, akan tetapi mempunyai kaitan yang erat dengan sejarah Islam. Bahkan mempunyai akar sejarah yang cukup jauh yakni 15 abad yang lalu, tepatnya masyarakat Madinah yang dibangun oleh Rasulullah SAW setelah beliau berhijrah dari kota Makkah. Asalnya Madinah disebut dengan Yatsrip, Namun atas saran Rasulullah dan atas kesepakatan bersama nama Yatsrip diganti dengan Madinah yang berarti kota.

Di kota baru inilah Nabi Muhammad SAW membangun masyarakat idial, yaitu masyarakat yang adil dan makmur serta berfikiran maju. Atas usaha Nabi bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan berperadapan yang tinggi. Bahkan menjadi ikon keberhasilan umat Islam kala itu. Wilayah kekuasaan negeri ini terbentang meliputi wilayah Timur Tengah, Asia, Afrika dan Eropa Timur, serta menjadi negara adi daya selama kurang lebih 12 abad lamanya. Kemajuan bangsa yang dibagun oleh Rasulullah kini masih terlihat dan tetap menjadi barometer umat Islam di seluruh dunia. Oleh karenanya mengapa konsep masyarakat madani ini yang menjadi model masyarakat kita. Sebab masyarakat madani merupakan bentuk masyarakat yang paling ideal. Idial dalam keadilan, kemajuan dan kemakmurannya. Yakni masyarakat yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, “Sebuah negeri yang baik dan (mendapat ampunan) Tuhan Yang Maha Pengampun” (QS. Saba’:15).

Demikian pula masyarakat madani yang dicita-citakan bangsa Indonesia ialah sebuah masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan setara dengan masa kejayaan Islam. Akan tetapi bentuk dari masyarakat adil makmur yang dicita-citakan lebih bersifat modern, sesuai dengan perkembangan zaman. Bahkan pesatnya ilmu pengetahuan dan tehnologi canggih kerap mewarnai konsepsi pembangunan , meskipun corak keIndonesiaannya masih terasa kental. Memang masyarakat kita masih memegang teguh adab ketimuran yang religius, bahkan “Islamis”, sehingga perkembangan dan perubahan yang dialami bangsa kita diharapkan perkembangan yang  mempunyai ruh atau nilai.

Kita mengetahui bahwa mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang modern ala Indonesia, tidaklah mudah semudah membalikkan telapak tangan atau “sim salabim”, tetapi perlu kerja keras dari semua lapiran masyarakat, yang didukung oleh dana yang sangat besar.  Perangkat lunakpun dipersiapkan agar dapat mendukung pola kerja aparat pelaksana pembangunan. Proses menuju harapan itupun sebetulnya telah dimulai sejak Indonesia diproklamirkan kemerdekaannya oleh Sang Dwi Proklamator kita, akan tetapi perjalanan panjang pembangunan bangsa ini tidak akan berhenti sampai jangka waktu yang tak terhingga. Indonesia memang telah berdiri sejajar dengan negara-negara maju di dunia. Dalam bidang apapapun kita tidak mau tertinggal dengan masyarakat dunia, bahkan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi kita sudah mencapai kawasan “ samawi”.  

Harapan kita akan terwujudnya masyarakat madani yang modern sebagaimana model masyarakat  madani di jaman keemasan Islam  memang sangat berat. Sebab masyarakat yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur harus memalui ujian dan prasarat yang harus terpenui. Paling tidak Pertama, Harus  tegaknya ukhuwah Islamiyah. Ukhuwah Islamiyah merupakan pilar utama, sebab dengan persatuan dan kesatuan akan melahirkan satu kekuatan yang luar biasa, yang mampu menghancurkan setiap halangan , rintangan dan tantangan. Model ukhuwah di zaman Rasulullah, yang dapat kita tiru adalah model persaudaraan kaum Muhajirin dan kaum Anshor dan persaudaraan antar sesama muslim, malahan persaudaraan antar umat kala itupun telah dikembangkan dengan sangat manis. Persaudaraan itu tergambarkan dan diikat dalam satu kesepakatan bersama antara penduduk Madinah. Kesepakatan itu kemudian lebih kita kenal dengan istilah “Piagam Madinah”. Sebab persaudaraan itu terjalin sangat kokoh, bagaikan sebuah bangunan yang amat kuat yang saling memperkuat antara satu komponen bangunan dengan komponen lain. Dasar utama yang memperkokoh ukhuwah itu adalah aqidah yang kuat, yaitu keimanan yang mendalam kepada Allah SWT. Sehingga semua komponen bangsa tunduk sepenuhnya kepada aturan Allah SWT dan memiliki tujuan yang sama, “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” (QS. Ali Imran:103)

Kedua, Terbentuknya masyarakat yang adil makmur ialah dipilihnya pemimpin yang adil. Baik pemimpin yang paling tinggi sampai pemimpin ditingkat bawah. Sebab pemimpin yang adillah yang akan membela kebenaran. Kebenaran yang datang dari Allah SWT merupakan kebenaran mutlak, yang akan membawa  kepada keperpihakan kepada masyarakat yang dipimpin. Sifat adil yang menurut bahasa orang awam berarti sama dalam hak dan kewajiban. “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa” (QS. Al Maidah:8). Berlaku adil kepada masyarakat yang dipimpin  juga tercermin kepada tegaknya supremasi hukum. Selain pemerintah yang menetapkan hukum secara adil, masyarakat juga memiliki kesadaran hukum yang sangat kuat. Penerapan hukum yang adil, yang tidak membeda-bedakan antara umat manusia. Hukum harus berlaku untuk semua warga negara, yang didalam penegakannya tidak “pandang bulu” atau “tebang pilih”. Sebab bila penegakan hukum menggnakan istilah pandang bulu, maka yang berbulu lebatlah yang tidak akan dapat tersentuh oleh hukum.

Hukum yang harus ditegakkan itu, tentunya hukum yang berpihak kepada semua lapisan masyarakat. Karena masyarakat kita mayoritas kaum muslim, maka hukum itu harus juga mempertimbangkan dan berdasar kepada hukum-hukum Allah SWT, yang termaktup dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Keduanya menjadi landasan pokok didalam hidup dan kehidupan mumat manusia. Maka, jika bangsa ini ingin tegak , tidak ada jalan lain kecuali harus memasyarakatkan Al-Qur’an dan hukumnya, hingga masyarakat sadar akan hukum Al-Qur’an, “Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim”. (QS. Al-Maidah:45).

Pilihan tepat yang Allah SWT berikan ini menjadi keharusan bagi umat Islam. Karenanya pemasyarakatan akan hukum Allah itu menjadi tugas utama umat Islam, sejak zaman dahulu sampai sekarang. Upaya yang tak terputus-putus itu dilakukan dengan berbagai cara dan media, mulai lewat jalur pendidikan dipondok pesantren sampai kepada kegiatan kepenyuluhan, yang banyak dilakukan oleh penyuluh agama Islam kita. Misalnya lewat kegiatan-kegiatan TPA/TPQ ataupun kegiatan majelis taklim/ di kelompok “Yasinan” di malam Jum’at.

Tegaknya supremasi hukum ditengah-tengah masyarakat akan terwujudnya masyarakat yang menjujung tinggi azaz kebersamaan (musawah). aman dan damai . Semua lapisan masyarakat mempunyai hak yang sama, baik soal ekonomi, keadilan, beragama, maupun perlakuan hukum. Oleh karenanya perlakuan sama bagi seluruh masyarakat didalam segala hal itu, yang akan memberikan jaminan terwujudnya keinginan besar tersebut. Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi di era globalisasi ini sebetulnya justru akan memberikan keuntungan bagi masyarakat. Sehingga kue pembangunan tidak hanya dapat dinikmati oleh elite ditingkat pusat saja, akan tetapi dapat juga dirasakan oleh masyarakat dipelosok desa sekalipun.

Sebenarnya yang masyarakat kecil inginkan terhadap negeri ini tidak muluk-muluk sampai kawasan samawi, namun yang kita harapkan sebenarnya sangat sederhana saja, misalnya tersedianya kebutuhan pokok, murah sandang pangan (sembako), mudah mencari pekerjaan bagi anak cucunya, bahan bakar tersedia dan terjangkau harganya, tarif dasar listrik dan telepon murah, infra truktur baik.. Tapi nyatanya selama ini masyarakat seperti dibohongi dengan janji-janji. Masyarakat yang hidup di negara yang “loh jinawi toto tentrem karta raharjo” ini, sebagian masyarakatnya masih hidup sengsara. Zaman sekarang ini tidak “kurang pangan” tapi “larang pangan”. Malah diakhir-akhir ini kita semua terpusingkan dengan naiknya harga semua kebutuhan pokok. Ditambah sering  terjadinya bencana alam, seperti banjir, tanah longsong, gempa bumi, lumpur “lapindo” dan lain-lain,  membuat semakin beratnya beban kehidupan masyarakat. Kita menyadari bahwa memenuhi hajat hidup berjuta-juta masyarakat Indonesia memang berat, apalagi ditambah beratnya dampak dari krisis moneter serta naiknya harga minyak dunia. Sehingga dampak dari keadaan tersebut, banyak kasus kelaparan, balita gisi buruk, dan lain-lain. Kondisi seperti ini membuat sebagian masyarakat mengambil jalan “nekat” untuk mencari kesempatan dalam kesempitan meskipun jalan yang dia tempuh itu sangat merugikan negara atau orang lain , seperti koropsi, illegal loging,  pembajakan hak cipta, kejahatan yang dapat merugikan harta dan jiwa. orang lain.

Keadaan ini memang tidak boleh berlarut-larut, masyarakat harus segera mendapat kemudahan dalam pemenuhan hajat hidupnya, dalam segala hal. Kita inginkan terwujudnya masyarakat madani yang berorientasi kepada “wong cilik” , yakni masyarakat yang adil makmur dibawah ridho Allah SWT. Meskipun yang kita rasakan selama ini masyarakat kecil baru sebagai obyek dari proses pembangunan. Namun proses menuju tatanan masyarakat madani yang diinginkan harus terus berjalan.  Wallahu A’lam.



Jumat, 04 Mei 2012

ADOPSI ANAK


ADOPSI ANAK
Ed : Anis Purwanto

                Anak merupakan anugerah terindah yang tidak tergantikan dalam sebuah keluarga. Setiap orang yang berumah tangga sangat menginginkan akan hadirnya seorang anak. Anak dapat memberikan hiburan tersendiri kepada orang tua dikala mereka penat dengan kegiatan sehari-hari. Selain itu anak juga merupakan penerus keturunan dalam keluarga.
                Sayangnya, tidak semua keluarga memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki anak kandung. Banyak hal yang menyebabkan hal ini. Bisa jadi karenan alasan medis, usia, atau karena memang belum “dipercaya” untuk memiliki anak oleh Tuhan.
                Bagi orang yang tidak mempunyai anak, adopsi merupakan jalan yang tepat. Banyak keluarga yang mengadiopsi anak sebagai “pancingan” agar cepat dikaruniai anak kandung. Namun ada yang mengadopsi anak untuk meringankan beban orang tua kandung si anak, terlebih lagi jika orang tua kandung anak tersebut berasal dari keluarga yang tidak mampu. Dalam Islam mengadopsi anak dinamakan tabbani artinya pengangkatan anak atau adopsi.  Rasulullah SAW juga pernah mengadopsi anak yaitu ketika beliau mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anaknya.
                Tabbani secara harfiah artinya seseorang yang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Hal ini untuk memberikan kasih sayang, nafkah, pendidikan dan keperluan lainnya. Maka itu, sangat baik jika mengambil anak orang lain yang kurang mampu (yatim piatu) , hukum anak itu bukanlah anaknya.
                Di Indonesia, peraturan terkait pengangkatan anak terdapat pada UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Demikian pula dalam Kompilasi Hukum Islam juga turut memperhatikan aspek ini, seperti tertuang dalam Pasal 171 huruf h : “Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”. (Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Dep RI, 2001, hal 82).
                Kalangan MUI dalam fatwanya mengingatkan bahwa ketika mengadiopsi anak, jangan sampai si anak putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya. Sebab hal itu sangat bertentangan dengan syariat Islam.  Sebagai pertimbangan, sebagaimana salah satu hasil dari Rakernas MUI yang berlangsung pada bulan Maret 1984  MUI memandang bahwa Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, yaitu anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan).
                Dalam Al-Qur’an disebutkan  bahwa , “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar(*1) itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)” (Al-Ahzab : 4 ).
Juga disebutkan dalam Surat Al-Ahzab ayat 5 : “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu(*2). Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Keterangan :
(*1). Zhihar ialah perkataan seorang suami kepada istrinya : Punggungmu haram bagiku seperti punggung ibumu”.  Atau perkataan lain yang sama maksudnya.adalah menjadi adat kebiasaan bagi orang Arab Jahiliyah bahwa dia berkata demikian  kepada istrinya maka istrinya itu haram baginya untuk selama-lamanya. Tetapi setelah Islam dating, maka yang haram untuk selama-lamanya itu dihapuskan dan istri-istri itu kembali halal dengan membayar kafarat (denda).
(*2). Maula-maula ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seseorang yang telah dijadikan anak angkat, seperti Sali anak angkat Huzaifah,  dipanggil maula Huzaifah.
Dalam Surat Al-Ahzab ayat 40 disebutkan  bahwa :
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Nabi Muahmmad SAW bersabda : “Dan Abu Dzar RA sesungguhnya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda :”Tidak seorangpun mengakui (membangsakan diri) kepada bukan ayah yang sebenarnya, sedang ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur”. (HR Bukhari dan Muslim). Contohnya : Rasulullah SAW tetap mempertahankan nama ayah kandung Zaid, yakni Haritsah, dengan sebutan Zaid bin Haritsah bukan Zaid bin Muhammad. Karena pengangkatan anak tak bisa menjadikan anak itu sederajat dengan anak sendiri di dalam nasab, mahram maupun hak waris.
Menurut Islam, pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya. Namun demikian, terkadang terjadi dimana dalam mengangkat anak orang tua angkat merahasiakan kepada anak mengenai orang tua kandungnya dengan maksud agar anak akan menganggap orang tua kandungnya. Disamping itu bila anak tersebut nantinya menjadi anak yang sukses, misalnya dalam status ekonomi dan sosial (terkenal, kaya, artis dll), orang tua asli akan menuntut agar anaknya kembali kepadanya. Dan ini nantinya akan membawa implikasi hukum (kontra produktif). Karenanya, banyak kasus orang yang mengadopsi anak selalu merahasiakan alamatnya, bahkan ketika serah terima adopsi orang tuanya tidak boleh mengabadikan dengan foto si jabang bayi, dikawatirkan dia mengenang selalu wajah anaknya.
MUI menilai pengangkatan anak adalah merupakan perbuatan terpuji dan dianjurkan oleh agama serta diberi bahala. Nantinya, bagi ayah angkat, boleh mewasiatkan sebagian dari peninggalannya untuk anak angkatnya.  Pasal 12 (1) UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak berbunyi : “Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak”.
PP Nomor 7 Tahun 1977 tentang gaji PNS, memungkinkan PNS untuk mendapatkan tunjangan bagi anak yang diadopsi melalui penetapan pengadilan, mulai praktek adopsi dengan ketetapan pengadilan.
Juga diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 56 :
1.      Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 2.      Dalam hal orang tua tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan undang-undang ini maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Sejalan dengan Konvensi Hak Anak pada pasal 21 (a). Negara akan : Menjamin bahwa adopsi anak hanya disahkan oleh puasa yang berwenang yang menetapkan, sesuai hukum dan prosedur yang berlaku dan berdasarkan dengan semua informasi yang terkait dan terpercaya bahwa adopsi itu diperkenankan mengingat status anak sehubungan dengan keadaan orang tua, keluarga, walinya yang sah dan jika diisyaratkan, orang-orang yang berkepentingan telah memberi persetujuan mereka atas adopsi tersebut atau dasar nasehat yang mungkin diperlukan.
Hal tersebut diatas ternyata juga telah diakomodasikan di dalam RUU Perlindungan Anak pasal 39 :
1.      Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.      Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.
3.      Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.
4.      Pengangkatan anak oleh warga Negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
5.      Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Motivasi pengangkatan anak :
1.      Motivasi mengangkat anak, yang semata-mata berkaitan atau demi masa depan anak tersebut.
2.      Penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut di masa yang akan datang, lebih baik.
Akibat pengangkatan anak dari segi hukum.
            Setiap tindakan pasti akan menimbulkan akibat tertentu. Demikian juga dengan adopsi anak. Ada akibat yang harus diterima oleh anak maupun orang tua kandung dan orang tua angkat. Dari segi hukum, ada dua akibat yang akan berpengaruh pada kehidupan anak dimasa depan.
1.      Perwalian.
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orang tua kandungnya atau saudara sedarahnya.
2.      Waris.
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hokum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.
-          Hukum Adat.
Pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orang tua kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orang tua amgkatnya, dia juga tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya.
-          Hukum Islam
Pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya.
-          Peraturan Perundang-undangan.
Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hokum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut.
Perwalian Dalam Pernikahan.
Sebagai ilustrasi tentang bagaimana kelak si anak hasil adopsi bila sudah dewasa dan melaksanakan pernikahan. Maka yang harus dipikirkan adalah tentang wali nikah, karena prasyarat utama/syahnya nikah harus ada wali. Wali nikah ada dua macam, yakni wali nasab dan wali hakim.  Dalam Kompilasi Hukum Islam, Bagian Ketiga tentang wali Nikah diterangkan dalam beberapa pasal, yakni :
Pasal 19 :                                                                                                                                      Wali nikah dalamperkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkan.
Pasal 20 :
(1)   Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam  yakni muslim, aqil dan baligh.
(2)   Wali nikah terdiri dari :
a.       Wali nasab.
b.      Wali hakim.
 Pasal 21 :
(1)   Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
Pertama , kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua , kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.
(2)   Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3)   Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
(4)   Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tuadan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22 :
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
 Pasal 23 :
(1)   Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
(2)   Dalam hal wali dlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Karenanya, yang bertidak sebagai wali nikah kelak bila si anak hasil adopsi menikah adalah dengan menggunakan wali hakim, apabila wali nasab tidak ada atau tidak  mungkin menghadirkannya atau karena tidak diketahui tempat tinggalnya.
Kesimpulan:
1.      Dalam ajaran Islam tentang adopsi anak, jangan sampai si anak putus hubungan nasab dengan ayah dan ibu kandungnya. “Barang siapa mengaku orang lain sebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa orang tersebut bukan bapaknya, maka surga diharamkan terhadap dirinya”. (Hadits Nabi).
2.      Tidak diragukan lagi bahwa adopsi merupakan perbuatan yang terpuji dan dianjurkan oleh agama serta diberi pahala.
3.      Wali nikah terhadap anak hasil adopsi menggunakan wali hakim KHI pasal 23 ayat 1), karena wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya (gaib).
·         Sumber Bacaan :
-          Diambil dari beberapa tulisan tentang adopsi anak.
-          Al-Qur’an dan Tarjamahannya.
-          KHI di Indonesia, 2001.
-          UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
-          dll